Ketika Rumah Bukan Lagi Tempat Ternyaman

186 17 0
                                    

Ketika Rumah Bukan Lagi Tempat Ternyaman

Bukan hal biasa kita sering menemukan orang-orang tanpa keluarga. Bukan mereka tak punya keluarga, hanya saja keluarga mereka tak tahu dimana dan tak tahu kemana. Rumah yang tadinya tempat untuk kembali dan menetralkan diri, malah sesuatu yang mereka benci. Seharunya rumah adalah tempat ternyaman dimana seseorang pulang, tapi kenapa sebaliknya? ada apa di dalamnya apakah hanya ada benda-benda mati dan suasana yang sunyi? lalu dimana para penghuninya? mungkin, sudah menemukan kebahagiaannya masing-masing dan hanya tinggal anak seorang diri, yang berteman dengan sepi.

Bagaimana dengan penghuninya lengkap, namun selalu tidak pernah merasa bahagia. Percekcokan terdengar di segala penjuru ruangan yang membuat stress kepala. Atau harus setiap hari melihat wajah dingin dan sangar, harus mendengar tangis sesak dan tak tahu cara memberhentikannya. Kadang, menjadi buta dan tuli diperlukan ketika situasi seperti ini. Hingga akhirnya rumah bukanlah tempat tinggal paling nyaman, dimana pelampiasan paling nyata adalah menyakiti diri sendiri. Mati rasa sudah pernah dirasakan, dan bangkit dari keterpurukan adalah sesuatu yang melelahkan. Beberapa kali menahan diri, rasa sakit tetap mendominasi hati, hingga menangis tanpa henti.

Sulit jika rumah bukan lagi tempat tinggal yang nyaman. Ketika merindukan kehangatan, pulang hanya mengingat kenangan yang dulu pernah dirasakan, lalu kini tiada. Air mata menetes beberapa kali sudah tidak lagi terasa. Kita harus menerima kenyataan kalau sekarang rumah bukan lagi tempat tinggal yang selalu dibutuhkan untuh berlindung.

Tidak ada yang baik-baik saja, ketika satu keluarga terbelah menjadi dua keluarga. Itu hanya akan menambah luka dan kesakitan yang mendalam pada seorang anak. Tak ada orang yang ingin merasakan kasih sayangnya terbagi sekalipun sama, rasanya akan tetap ada yang berbeda. Setiap anak menginginkan keluarga yang bahagia, harmonis, dan utuh. Namun, kita tak bisa menahan orang tua kita untuk tetap mempertahankan apa yang menurutnya sudah tidak bisa dipertahankan.

Barang kali, ia sudah merasa capek dengan semuanya, sudah merasa muak dengan semuanya, ia merasa sudah terlalu banyak kesakitan yang memang perlu disudahi secepatnya. Pada akhirnya memilih jalan yang tak diinginkan anak. Bukan tega atau tidak sayang pada anak, tapi ya mau bagaimana toh memang keduanya sudah tidak lagi sejalan dan sepemikiran.

Ada sebuah waktu dimana saya dan teman saya sedang saling bertukar pandang mengobrol ringan, lalu tiba-tiba dia bertanya di tengah obrolan kami.

"Kenapa orang tua ngak bisa mempertahankan pernikahannya, kenapa memilih bercerai? apa bercerai suatu jalan akhir yang paling baik?"

"Ya mungkin itu sudah keputusannya." Saya menjawab sepolos mungkin, karena memang pada saat itu sayapun masih belum cukup dewasa untuk menanggapi oblolan tersebut.

"Tapi menurutku, dengan bercerai bukanlah keputusan yang paling baik. Karena Allah membenci sebuah perceraian."

Deg.

Saya hanya diam tidak lagi menanggapi obrolan itu, lalu mengalihkannya pada topik lain. Tidak ada yang salah dari ucapannya, tapi sayapun bingung tidak bisa memihak siapapun dan tidak bisa menyalahkan kedua orang tuanya ataupun dia sebagai anaknya. Pada intinya sebuah perceraian memang tidak pernah disukai oleh anak bagaimanapun alasannya.

Mungkin, dalam sudut pandang anak orang tua kita egois. Lebih mementingkan kebahagiaannya dengan keluar dari jurang yang dalam, dan membiarkan anak begitu saja. Membiarkan dirinya sembuh dengan luka-luka yang dibuat olehnya, membiarkan semuanya membaik dengan sendirinya, dan membiarkan anak agar tumbuh dengan tanpa kasih sayang yang utuh.

Untuk anak di usia dini yang masih belum tahu dan mengerti apa itu perceraian, apa itu broken home mungkin its oke, but ... kita ngak pernah tahu jika dia sudah tumbuh menjadi dewasa, apa mereka siap di pertemukan dengan orang yang sudah meninggalkannya sejak kecil? apa mereka siap menerima bahwa dia adalah ibu atau bapak kandungnya sendiri, yang dengan mudahnya bertemu dan mengakui bahwa mereka anaknya, tapi tidak pernah merawatnya? bagaimana mereka bisa menerima? mungkin, untuk pertama kalinya mereka kaget dan kecewa tapi percayalah, dengan usia yang telah dewasa itu, pasti akan lebih tahu bagaimana cara menyikapinya dan mungkin telah berdamai dengan masa lalu dan keadaannya. Karena bagaimanapun orang tua tetap orang tua, tidak akan pernah bisa digantikan oleh apapun dan siapapun.

Tidak jauh beda dengan anak yang ditinggalkan orang tuanya ketika mereka tumbuh dewasa dengan segala ke-mengertian mereka, dengan segala rasa tahu mereka, emosi mereka. Mereka bisa saja marah semarah-marahnya, tapi tetap saja tidak bisa mengembalikan apa yang sudah diputuskan, dan memaafkan adalah cara agar terlihat dewasa.

1 hari, 2 hari sampai seminggu mungkin, masih bingung harus bagaimana, tapi ketika sudah terbiasa, semuanya akan baik-baik saja, meskipun terasa sangat sakit kala mengingatnya. Semakin dewasa, akan semakin jelas melihat berbagai macam masalah dan mencari jalan keluar yang paling baik, dengan cara membiarkan semuanya berjalan semestinya. Lebih memilih berorientasi pada masa depan, melakukan hal-hal positif, karena tidak akan ada orang yang menolong kita dari keadaan yang menyulitkan, kecuali diri kita sendiri.

Tidak ada yang tidak mungkin pula, jika seorang anak berhasil mendapatkan kebahagiaan yang mereka impikan, cita-cita mereka terwujudkan, dan semua keinginan terkabulkan. Padahal, sudah jelas masa lalu mereka begitu suram tapi mereka masih mampu untuk berjuang dan percaya bahwa setelah berbagai macam kepedihan hidup, akan terbalaskan dengan sesuatu yang lebih indah. Karena ia punya masa depan meski masa lalunya buruk.

Jangan pernah merasa bahwa cobaan hidupmu sangat berat kamu hadapi, karena diluar sana masih banyak orang yang lebih berat cobaannya. Karena mengeluh saja tidak akan membuat hidup berubah menjadi indah.





















#narasihati
Oke jangan lupa vote coment dannnn sharee yaaa. Terimakasih:)

Narasi Hati (Revisi)Where stories live. Discover now