01 - Tiny Secret With a Large Meaning

132 26 14
                                    

Menyembunyikan suatu hal kecil yang akan berdampak besar, kadang cukup sulit dilakukan. Seperti yang dirasakan Sebastiano Terry, pria berdarah campuran Italia dan Inggris itu saat ini tengah merahasiakan hal kecil, tetapi bermakna besar untuk kekasihnya. Ia tak ingin bila wanita itu sampai tahu, sebab, bisa saja hubungan mereka berakhir karenanya.

Malam itu, saat hari terakhirnya di London, Terry berada di taman kota dengan memakai jaket tebal juga syal berlogo Chelsea. Dia berjalan menuju salah satu bangku taman tempat temannya menunggu seraya mengeratkan tangan menahan udara dingin yang dirasakannya.

"Coffee?" Barbara menyodorkan segelas kopi ketika Terry mendatanginya.

Terry meraih gelas itu serta menghempaskan pantat di kursi, diteguknya minuman hangat itu sambil menyandarkan kepala, sedikit merasakan salju yang menerpa wajahnya. Dia berdehem kala cairan kopi itu terasa nikmat melewati kerongkongannya.

"Kau yakin tak perlu kutemani besok?" Barbara kembali berbicara.

"Tak usah, aku tak mau sampai dipukul kekasihmu," sahut Terry malas.

Barbara menggeleng pelan sembari melepas tawa. "Kau pasti senang sekarang, akhirnya impianmu terwujud."

Bibir Terry sedikit terangkat. "Begitulah, Anna. Walau belum bermain untuk Inter. Akhirnya aku memulai karier di Italia."

Terry, pesepak bola muda yang namanya cukup melambung akhir-akhir ini. Media Inggris meyakini dirinya akan menjadi pemain bintang suatu hari nanti. Usianya baru 20 tahun, tetapi Terry beberapa kali dipercaya memperkuat timnas senior Italia. Atas permainannya yang atraktif, dia dibeli oleh klub Italia asal Bergamo, Atalanta, dengan biaya transfer yang cukup besar, sebesar 25 juta euro.

"Bagaimana Angelina?"

Seketika senyum Terry memudar, dia sedikit menekuk wajah sembari menatap kosong ke langit yang malam itu cukup gelap. Tiba-tiba angannya melayang membayangkan Angelina. Wanita asal Milan yang fanatik pada sepak bola, terutama AC Milan. Kekasihnya itu selalu membicarakan Milan setiap mereka bertemu. Dia bahkan memiliki butik yang menjual segala sesuatu tentang klub tersebut.

Oleh karena itu, Terry tak pernah membicarakan klub impiannya pada siapa pun. Hanya keluarga, Barbara, serta Mark Hurlton, agennya yang mengetahui akan hal itu.

"Biar kutebak, kau pasti masih merahasiakan impianmu darinya, 'kan?" lanjut Barbara lagi ketika dilihatnya Terry hanya diam.

Embusan napas berat keluar dari mulut Terry dengan tatapan mata yang sayu. Dia membenarkan posisi duduknya sedikit lebih tegak sambil memandang lurus. "Aku tak ingin dia menjauh kalau tahu yang sebenarnya."

"Tak perlu takut jika kalian saling mencintai. Semua akan baik-baik saja jika kalian menghadapinya bersama."

Terry diam tak menanggapi, hanya cengengesan kecil yang dia tampilkan. Mereka lantas mengubah topik pembicaraan, menikmati kebersamaan terakhirnya. Setelah bertahun-tahun bersama, kini mereka harus berpisah setelah Terry memutuskan untuk pergi ke Italia mengejar impiannya.

Tak terasa kopi yang menjadi teman mereka mengobrol telah habis, disusul udara yang semakin membuat tubuh menggigil. Barbara melirik arloji di pergelangan tangan, lalu beranjak dari duduknya. Wanita berambut pirang itu memeluk Terry erat, seolah-olah melepas salam perpisahan padanya. Dia melepas pelukannya dengan senyum yang terukir di wajah sambil mengepalkan tangan dan memberi semangat untuk Terry.

"Good luck in Italia, My Friend."

***

Besoknya, Terry bersama ayah, adik, serta agennya telah siap berangkat menuju Bergamo dari London. Dengan memakai jet pribadi milik Mark, mereka memulai perjalanan. Di Bergamo, dia akan menempati sebuah rumah di area Citta Alta bersama adiknya yang akan melanjutkan kuliah di sana.

The Two Colors of Fate in MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang