04 - A Place You've Always Dream of

29 13 1
                                    

"Kau yakin tak mau ikut?"

Robert mengusap lembut kucing peliharaan Angelina yang bermain-main di dekatnya, lalu menatap Terry malas. "Kemarin kita sudah ke sana, 'kan? Belum puas?"

Terry ingin melihat lebih dekat stadion Giuseppe Meazza dengan melakukan tour stadion. Setelah berhasil mengajak Angelina untuk menemani, kini dia mencoba membujuk adiknya. Namun, mendengar jawaban dari lelaki itu membuatnya tidak terlalu memaksa. Robert memang pemalas, lebih senang menghabiskan waktu di rumah, dan mengurung diri di kamar. Bisa mengajak Robert jalan-jalan seharian mungkin suatu keajaiban.

"Kami pergi dulu, ya. Aku titipkan Victor padamu." Angelina mengusap kucingnya lembut.

"Pergilah."

Terry sontak menjitak kepala Robert saat mendengar jawaban dingin serta wajah tak peduli adiknya itu. Robert mengusap kepalanya yang cukup nyeri. Angelina hanya tertawa melihatnya, lalu menyambar long coats merah tua kebanggaannya dan membawa tas berisi cemilan. Dia menggamit lengan Terry lalu melangkah keluar.

Musim dingin di Italia sudah dimulai beberapa hari yang lalu, membuat cuaca hari itu cukup membuat tubuh menggigil. Terry memakai jaket tebal juga syal yang melingkar di lehernya, serta beanie berwarna biru. Dengan merapatkan tubuhnya pada Angelina, dia rasa sudah cukup untuk membuatnya hangat.

"Kapan, ya, aku bisa akrab dengan adikmu?" tutur Angelina dalam perjalanannya. "Apa aku pernah berbuat salah padanya? Dia sangat dingin."

Sialan, Robert. Terry merutuki adiknya dalam hati. "Tak usah kau pikirkan, dia memang sulit bergaul."

"But, he's really so look alike to you, isn't it?"

Terry terus melangkah sambil menggeleng heran kala mendengar perkataan Angelina yang menyebut Robert mirip dengannya. Lelaki itu sedikit terkekeh, entah dari mana kekasihnya itu melihat hal tersebut. Selama ini dia menganggap sifat juga perawakannya sangat bertolak belakang dengan adiknya.

Tak berselang lama, mereka telah sampai di stadion dan berjalan menuju konter penjualan tiket yang berada tepat di pintu masuk. Terry mengeluarkan beberapa lembar euro serta menyerahkannya pada petugas. Bersama beberapa pengunjung lain, tour stadion mereka pun dimulai.

Mereka berjalan melewati ruang konferensi pers sebelum akhirnya berada di lorong menuju ruang ganti AC Milan, di mana sangat kental sekali dengan nuansa Rossoneri. Di dalam ruangan terdapat banyak tempat duduk untuk setiap pemain. Terry menatap sekeliling sekilas, tidak terlalu antusias berada di ruangan itu, dia melangkah menuju salah satu tempat duduk dan meletakkan bokongnya. Perasaan nyaman dan empuk menjalar ke tubuhnya kala menduduki tempat itu.

"Suatu saat kau pasti akan menjadi bagian klub ini," kata Angelina yang berdiri di depannya sambil memandang logo AC Milan yang terdapat di sana.

Wanita itu menyerahkan kamera yang dibawanya pada Terry, lalu mengangkat kedua jarinya sambil tersenyum. Terry lantas memotret kekasihnya itu, kemudian dia beranjak dari duduknya kala Angelina berjalan menuju sisi lain.

Setelah dirasa puas, Angelina keluar dari locker room Milan dan berdiri mematung seraya menyimpan tangannya di dada. Dia lebih memilih menunggu di luar, enggan untuk memasuki ruang ganti Inter. Terry memanyunkan bibir dan merajuknya, tetapi kekasihnya tetap menolak. Terry mengembuskan napas, lalu menarik lengan Angelina sedikit keras membawanya masuk.

Mata Terry berbinar seketika kala berada di ruangan itu, tempat yang diimpikannya selama ini. Walau telah beberapa kali nonton di stadion, ini kali pertama baginya memasuki ruang ganti klub impiannya. Dia berjalan mendekati bangku panjang berbentuk lingkaran tanpa pembatas dan mendudukinya serta menatap lekat logo Inter dan foto pemain legenda yang ada di sana.

"Kenapa kau sampai speechless seperti itu?"

"Ah, tidak." Terry gelagapan, lantas mengubah ekspresi wajahnya. Sesaat kemudian, dia beranjak dari duduknya dan berdiri tegak sembari menyunggingkan senyum. "Angel, tolong foto aku di sini."

Seakan tak peduli jika kekasihnya bisa saja curiga, Terry ingin mengabadikan momen pertamanya di tempat ini. Meski sempat merasa heran, Angelina lantas memfoto Terry saat itu juga. Senyum pria itu begitu lepas, seolah senyuman termanis yang pernah ditunjukkannya selama ini.

***

Bagi Terry dan Angelina, tempat paling romantis untuk berkencan bukanlah sebuah kebun bunga, atau menikmati sunset di Venesia. Berada di Giuseppe Meazza bagi mereka ialah kencan paling romantis.

Saat itu mereka berjalan melewati lorong yang biasa dilalui para pemain sebelum memasuki lapangan. Lalu, stadion yang dipuja-puja oleh Interisti dan Milanisti itu terlihat sangat megah. Mereka mengelilingi tribune dibareng obrolan ringan sembari sesekali mengabadikan momen lewat jepretan kamera.

Suasana stadion yang hening saat tidak ada pertandingan, terasa lebih tenteram dan luas dari biasanya. Mereka melangkah menuju salah satu bangku dan mengistirahatkan tubuhnya setelah puas berkeliling. Angelina mengeluarkan cemilan dari tasnya dan menyodorkannya pada Terry, lelaki itu menggeleng pelan tak menerimanya.

"Terry, kau belum pernah cerita padaku tentang masa kecilmu." Angelina membuka percakapan. "Seperti apa, sih, kisah pemain 25 juta euro ini?"

Terry yang ketika itu tengah mengunyah permen karet hanya tersenyum kikuk. Tidak mungkin baginya untuk menceritakan masa lalu. Di mana dia hanya seorang bocah yang selalu bermimpi bermain di Inter Milan.

"Tak ada yang spesial untuk diceritakan."

"Terry, bagiku tidak ada kisah paling indah selain mendengar ceritamu."

Suara lembut yang keluar dari mulut Angelina sontak membuat Terry terdiam, wajahnya memerah, tersipu dengan perkataan kekasihnya. Dia lalu menunduk, berusaha tak bersitatap dengan Angelina.

"Selalu saja seperti ini. Ayolah, aku ingin tahu. Haruskah kutanya Robert?"

"Memangnya kau bisa?"

"Are you challenging me, huh?"

Angelina menyeringai sembari mengusap rambut depannya. Bagaimana pun dia ingin tahu seperti apa masa kecil Terry, hal apa saja yang pernah dia lalui, atau apa pun yang berkaitan dengan lelaki itu. Namun, selama ini Terry tak pernah mau bercerita dan hanya dia sendiri yang terus-terusan membeberkan kisahnya.

"Ada yang lebih penting dari cerita masa lalu." Angelina memandang Terry saat pria itu berkata demikian. "Sesuatu yang ... mmm ... lebih menyentuh."

"Apa?"

"Tentang masa depan kita," ucap Terry seraya mengembuskan napas. "Apa kau pernah terbayang? Suatu saat nanti, kau duduk di sini bersama Brian, Jullie—"

"Wait. Siapa Brian? Jullie?" Alis Angelina bertaut.

"Nama anak kita nanti."

Tawa Angelina meledak seketika kala Terry mengatakan itu, lalu dia menutup mulutnya dengan tangan sembari berujar, "Oke, oke, teruskan."

"Aku akan bermain untuk kalian. Setiap goal yang kuciptakan, aku akan selalu melakukan seleberasi dengan menunjukkan lambang hati ke arah kalian. Indah bukan?"

Setidaknya, itulah yang Terry inginkan. Membangun sebuah keluarga kecil bersama wanita di sebelahnya. Meski dia tahu, jalan menuju semua itu tidak akan mudah. Apalagi dengan latar belakang mereka yang berbeda, juga rahasia kecil yang disembunyikannya.

"What do you think?"

Angelina tak lantas menjawab. Hanya tersenyum kecil kepada Terry, lalu mengalihkan pandangannya pada lapangan yang mulai dipenuhi salju. Wanita itu menyandarkan kepalanya pada pundak Terry, merasakan kenyamanan yang selalu menghangatkan hatinya kala bersama pria yang dia cintai.

"Yep, sounds cool," ucapnya pelan.

Angelina mengaitkan tangan pada jemari Terry dan menggenggamnya erat. Dia lalu mendekatkan wajahnya lebih dekat dengan Terry sambil berbisik pelan.

"Dan aku akan menunggusampai saat itu tiba."

*

Kalo bagi Terry dan Angelina tempat romantis itu di stadion. Kalau menurut kalian di mana nih? 😍

The Two Colors of Fate in MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang