07 - The Purposes of a Defeat

19 8 0
                                    

LAHIRNYA PASANGAN EMAS

Senyum Angelina mengembang saat membaca headline news dari sebuah koran. Dengan mata berbinar, dia terus membaca berita tentang Terry yang dalam waktu singkat mampu menyihir penikmat bola Italia dengan magisnya di atas lapangan.

"Daddy, coba baca ini." Angelina menyodorkan koran pada Mascara yang sedang duduk di halaman rumah. "Bagaimana? Terry hebat, 'kan? Padahal baru pertama kali main di Serie A."

"Pelatih mereka memang jenius, tak heran dengan hasil yang mereka dapat," tutur Mascara seraya menyesap teh panasnya. "Kekasihmu juga luar biasa, dia bisa cepat beradaptasi di Italia yang secara permainan sangat berbeda dengan Inggris." Pria itu menoleh pada Angelina serta membetulkan letak kacamatanya. "Tapi Angel, apa kau tak menyadari sesuatu?"

Angelina menautkan alis serta mengedikkan bahu.

Mascara mengembuskan napas perlahan, mencari kalimat yang tepat untuk dia ucapkan pada putri kesayangannya. "Dia, seperti tidak memiliki keinginan untuk bermain di Milan," kata Mascara seraya menatap gambar Terry pada koran.

"Tidak mungkin, Terry janji akan bermain untuk Milan."

"Dan kau percaya begitu saja?" tembak Mascara seraya menatap manik Angelina lekat. "Ayah tahu bagaimana rasanya jika sudah berkata tentang klub impian. Ayah pasti akan langsung semangat dan berbicara tanpa henti tentang Milan." Mascara menyimpan koran yang dipegangnya. "Tapi, mata Terry tidak berkata seperti itu saat bertemu Ayah."

Angelina gemetar seketika dibarengi dengan debaran jantungnya yang mulai berdegup keras. Dia teringat pada reaksi Terry setelah pergi dari rumah Mascara. Dia pun tak bisa memungkiri, dia kadang merasa heran dengan perilaku Terry yang seperti menyembunyikan sesuatu.

"Dia pasti tak pernah bercerita tentang klub impiannya padamu kan, Angel?"

Perkataan Mascara terdengar sangat nyaring di telinganya dan langsung menusuk ulu hatinya. Angelina menggeleng berulang-ulang, mengusir pikiran negatifnya terhadap Terry.

***

Terik mentari yang seakan membakar kulit tak memengaruhi semangat Terry dan rekan-rekannya untuk berlatih. Di bawah komando sang pelatih, mereka begitu serius mengenyam menu latihan yang diberikan. Terry menggiring bola melewati beberapa rintangan yang telah disiapkan. Dengan keringat yang semakin membasahi wajahnya, dia menendang bola ke arah gawang setelah berhasil melewati area zig-zag.

Di pinggir lapangan, terlihat beberapa awak media yang tengah memantau kegiatan mereka. Terry dan Ayala yang kini menjadi target untuk diberitakan, karena kedua pemain itu yang dirasa aktor paling penting kedigdayaan Atalanta akhir-akhir ini. Mereka mampu membawa klub itu sampai ke babak delapan besar Liga Champions.

Tak bisa dimungkiri, semua itu juga berkat tangan dingin sang pelatih yang mampu mengeluarkan semua kemampuan Terry. Berkat kejeniusannya, dia mengubah pemain yang tidak diperhitungkan, kini menjadi super star.

"Tiga tahap lagi, ya, untuk sampai ke final," ujar Ayala di sela waktu istirahatnya. "Aku semakin berdebar-debar."

"Tidak hanya kau saja, aku pun begitu," timpal Nakano, penyerang asal Jepang.

"Kalian terlalu berlagak, fokus saja pada pertandingan selanjutnya." Almeida selaku kapten tim mengomentari tingkah rekannya yang selalu bahas Liga Champions.

Kompetisi tertinggi Eropa itu sangat menarik perhatian. Meski di hadapan awak media mereka selalu berkomentar untuk tetap fokus pada laga yang akan dihadapinya. Tetap saja saat latihan seperti ini mereka larut dalam euforia kemenangan.

"Jangan bicara seperti itu. Bukannya kau yang paling bahagia, Kapten?" Nakano kembali berbicara yang disambut kekehan Ayala. "Kau senang kan setelah sembilan tahun membela Atalanta. Baru sekarang bisa merasakan Liga Champions?"

Alis Almeida mengerut, lantas melempar bola yang dipegangnya pada Nakano. "Memangnya kenapa?"

Sambil memainkan bola yang diterimanya, Nakano hanya tertawa, tak menyahut perkataan Almeida.

"Kapten, laga melawan Lazio nanti menurutmu bagaimana?" Ayala mengalihkan pembicaraan sambil meneguk habis air putihnya.

"Bagaimana apanya menurutmu? Tentu harus menang!" komentarnya penuh ambisi. Lalu, dia memalingkan pada Terry. "Terry, bagaimana kondisimu sekarang?"

Di pertandingan terakhir, Terry digantikan pada babak kedua dan berjalan terpincang saat keluar lapangan. Banyak yang khawatir kalau dia kembali cedera. Saat ini, kontribusi Terry dalam tim sangat penting. Suatu masalah besar jika sampai kehilangannya.

Terry yang tengah men-juggling bola menoleh pada kerumunan itu sembari berujar, "Sempurna."

***

Akhir pekan menjadi waktu yang dinanti bagi warga Italia. Di mana mereka akan menikmati lanjutan kompetisi Serie A. Seperti Angelina dan Nora yang berada di sisi Mascara, dengan tatapannya terpaku pada televisi. Secangkir teh dan beberapa cemilan menemani malam mereka yang hangat.

Di tempat lain, Terry tengah menyiapkan diri untuk memulai pertandingan. Dia memakai kaus kakinya perlahan, lalu sedikit memijat betisnya pelan sebelum kakinya terbungkus sempurna oleh sepatu. Dia menyandar pada tembok di belakangnya sembari menghela napas.

"Kau yakin kakimu tidak apa-apa?" Almeida kembali menanyakan kondisi Terry.

"Tenang, dokter tim sudah memeriksa. Dia sudah sembuh," kata Antonini menenangkan. "Terry, kau akan jadi pemain inti. Bisa?"

"Tentu saja!" jawab Terry semangat.

"Kau hanya perlu memberi umpan cantik untuk penyerang kita." Ayala merangkul pundak Terry sambil cengengesan. "Aku sendiri cukup menghalau serangan mereka," sambungnya lagi sambil tertawa.

Antonini melempar bola yang dipegangnya tepat mengenai kepala Ayala. Lelaki itu memang kerap bercanda sesaat sebelum pertandingan, tujuannya untuk menghibur suasana. Meski kadang terkesan meremehkan lawan. Beruntung, Antonini cukup bisa diajak bergurau, walau tingkah Ayala selalu membuatnya marah.

"Jangan bertingkah! Ingat, lawan kita Lazio!"

"Maaf. Maaf." Ayala mengelus pelan keningnya merasa sedikit nyeri akan lemparan bola yang tepat mengenainya. "Sialan! Si botak itu cukup serius kali ini," bisiknya pelan pada Terry, sembari melirik geram pada pelatih.

***

Tetes keringat yang berjatuhan seakan menjadi tanda jatuhnya Atalanta untuk pertama kali sejak kedatangan Terry. Papan skor menunjukkan angka kemenangan untuk tim tamu diiringi suasana Gewiss Stadium yang mendadak sunyi. Terry menatap langit malam itu yang terlihat begitu gelap.

Tak kuasa menahan rasa kecewanya, Ayala terduduk lesu di lapangan sambil menyimpan kedua tangan di atas kepala. Terry berjalan mendekati Ayala dan menepuk pundak lelaki itu pelan. Tak berselang lama, dia menunduk seraya memejamkan mata, berusaha meredam kesedihan yang dirasakannya.

"Angkat kepalamu Terry." Perlahan kepala Terry kembali terangkat saat mendengar suara berat Almeida. Diliriknya kapten tim itu yang tengah memandang ke arah tribune penonton. "Apa kau tak malu membuat mereka menghiburmu?"

Mata Terry berkaca-kaca kala mendengar para penggemar meneriakkan namanya dan memberi semangat. Meski menerima kekalahan, mereka tetap berteriak melantunkan chant untuk mendukung tim. Tak ada teriakan yang menyalahkan para pemain. Mereka justru menghibur saat dilihatnya wajah punggawa tim terlihat sedih.

"Kau juga Ayala, mau sampai kapan berwajah murung seperti itu?" Almeida menarik tangan Ayala. "Kalian juga. Ayo, kita belum memberi penghormatan."

Terry mengusap wajahnyakasar, lalu menghirup udara sejenak dan mengembuskannya secara perlahan. Bersamarekan-rekan yang lain, dia berjalan mendekati Curva seraya bertepuk tangan. Sungguh, dia merasa bersalah telahmengecewakan para fans dengan kekalahan. Terry menepuk-nepuk logo Atalanta didadanya seraya melambaikan tangan. Dia merasa jatuh cinta pada tim ini setelahmelihat reaksi para supporter yangsangat baik terhadapnya.

The Two Colors of Fate in MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang