12 - Hard Times

10 8 0
                                    

Dalam sejarahnya, sepak bola Italia memiliki banyak duet maut dari masing-masing tim dan dikenal sampai sekarang sebagai legenda. Terry ingin menjadi seperti itu, memiliki teman seperjuangan yang akan dikenang sepanjang masa. Terry sudah menemukan kecocokan pada diri Ayala. Mereka sudah padu, dan menjadi duet lini tengah paling kreatif musim ini. Namun, kebersamaan mereka akan berakhir setelah Ayala membuat keputusan. Dia akan pergi menuju klub baru.

"Kalau kau memang ingin seperti itu. Kenapa tak ikut bersamaku?" Ayala menghela napas kasar. "Ayolah Terry, kau terlalu terobsesi dengan impianmu." Lelaki itu menyandarkan tubuh pada tembok pembatas di belakangnya. "Jika bukan karena itu, apa alasanmu menolak tawaran Milan? Ayolah, kau pemain profesional!"

Terry sangat tahu akan hal itu, dia memang tidak bisa bersikap layaknya seorang profesional. Dia menyisipkan perasaan pribadi dalam pekerjaannya. Namun, dia benar-benar tidak bisa melupakan impian yang telah dimilikinya sejak kecil. Hari-hari berat yang telah dia lewati, juga harapan dari ayahnya.

"Kenapa tidak kau saja yang bertahan bersamaku di Bergamo?"

"Ini kesempatan besar bagiku Terry." Ayala membalikkan badan, melihat pemandangan yang indah. "Ronaldinho, Kaka. Meski berasal dari negara berbeda, mereka bintang Amerika Selatan. Aku ingin bermain di klub yang pernah mereka bela."

"Seperti itulah yang kurasakan, mungkin kau akan mengerti."

"Biar kuperjelas, impianmu itu bermain untuk Inter, 'kan?" Ayala menaikan alis. "Tidak ada salahnya kau pergi ke Milan, sebelum nanti membela Inter. Benar?"

Terry membenarkan perkataan Ayala, dia bisa saja melakukan itu. Namun, semua tidak akan semudah yang dibayangkan. Apa jadinya jika dia meninggalkan Milan suatu hari nanti? Bisa-bisa keadaan malah lebih buruk.

Terry tahu benar dirinya begitu egois, dia menampik semua hal yang akan mengusik impiannya. Padahal, jalan hidup tidak selalu berjalan mulus. Akan ada rintangan, hambatan, dan hal lain yang memaksa untuk mengikuti arus. Terlebih Terry di hadapkan pada dua pilihan yang sulit.

"Pikirkan juga Angelina. Kau sudah banyak membohonginya Terry." Ayala kembali berbicara. "Aku tak ingin kau menyesal nanti. Kau tidak tahu dia sebenarnya—" Seketika Ayala menampar pipinya sendiri, teringat perkataan Angelina tempo hari yang masih dipikirkannya.

***

Pemberitaan di media semakin panas, mereka mulai membuat topik berita yang bisa mengangkat pamor. Tak peduli apa yang dibawakannya itu benar atau tidak. Yang penting, pamor mereka naik dan mendapat pundi-pundi keuntungan. Bahkan tak jarang mereka berani menuliskan hal yang tak berhubungan sama sekali dengan rumor yang ada.

Seperti itulah yang terjadi saat bursa transfer musim panas dibuka. Media berlomba-lomba membuat topik tentang segala rumor yang terjadi. Kadang, banyak pembaca begitu saja termakan rumor yang dibuat media dan menyesal dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diberitakan. Namun, di situlah keseruannya terjadi.

"Aku sama sekali tidak tahu." Mark beralasan saat ditemui awak media.

Mark berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di tepi jalan dengan wajah dongkol, dia paling kesal bila sudah diburu media seperti ini. Wartawan tidak mau kalah, mereka berjalan cepat bersisian dengan Mark seraya mengarahkan kamera dan mic.

"Ayolah beri kami sedikit informasi," pinta salah seorang wartawan. "Aku tahu kemarin kau bertemu dengan petinggi Milan."

"Aku bertemu mereka untuk makan malam," jawab Mark singkat.

"Oh, ya? Menarik sekali. Apa saja yang kau makan?" dengkus wartawan itu kesal, sudah beberapa kali dia tidak bisa mengorek informasi dari Mark.

"Yah, aku memakan omong kosong dari tulisanmu, enak sekali."

The Two Colors of Fate in MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang