10 - Hard Decision

16 9 0
                                    

"Menangislah Terry. Lepaskan semua kesedihanmu." Angelina meraih kepala Terry dan mendekap pada dadanya.

Sesampainya di rumah, Terry masih tidak bisa menutupi kesedihannya. Sesekali bulir-bulir bening berhasil lolos dari kelopak matanya yang langsung dia seka. Tatapannya mengadah ke langit yang malam itu sangat cerah, bintang-bintang begitu bertebaran dengan gemerlap cahayanya yang indah. Namun, itu semua tak cukup untuk menjadi pelipur laranya.

Berulang kali Angelina mengusap punggung lelaki itu, berusaha menghiburnya. Usapan lembut dari tangannya yang halus membuat Terry sedikit memejamkan mata, membiarkan Angelina terus mendekapnya.

"Dia memang seperti anak kecil. Tolong maafkan." Robert melempar selimut pada mereka yang tengah berada di balkon rumah.

"Thanks." Angelina membentangkan selimut menutupi badan Terry, tetapi lelaki itu sontak menyibakkannya. "Kau bisa masuk angin nanti."

Terry tak menjawab, hanya terus memasang tatapan sayu. Angelina sangat mengerti sakitnya dari sebuah kekalahan. Sepak bola memang unik, hasil akhir dari pertandingan bisa menentukan mood seseorang. Dia bisa terpukul, bersedih, dan malas melakukan apa pun. Bahkan kesedihannya bisa berlanjut untuk waktu yang lama.

"Maaf, aku telah menunjukkan sisi lemahku padamu," kata Terry tiba-tiba, dia berucap dengan sangat pelan.

Angelina mengusap lembut rambut lelaki yang sangat dia sayangi itu. "Tidak apa-apa. Aku tahu, pasti berat untukmu."

"Angel." Terry kembali berucap begitu pelan.

"Ya?"

"Berjanjilah kau akan selalu di sisiku," pinta Terry dengan suara agak serak.

"Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Jawab saja."

"Tentu, aku akan setia di sampingmu, Sayang. Tidak ada yang memisahkan kita."

Air mata Terry semakin mengalir deras. Kali ini bukan karena kekalahan yang diterimanya. Dia menyesali dirinya yang terus berbohong pada kekasihnya. Di saat Angelina begitu setia berada di sisinya dalam situasi apa pun.

***

Akhirnya, rasa sakit akan kekalahan itu terobati, semua berkat Angelina yang selalu setia berada di sisinya. Dia rela meninggalkan Milan untuk beberapa waktu dan tinggal bersama Terry. Wanita itu menepati janji untuk selalu berada di sisi Terry.

Malam itu, Terry berhasil membawa Atalanta menjuarai Coppa Italia. Dia mencetak satu-satunya goal di partai puncak, membawa klub tersebut berprestasi setelah sekian lama. Senyum kebahagiaan tercetak di wajahnya, setelah untuk beberapa waktu senyumannya itu memudar.

"Aku ikut senang Terry."

Angelina turun ke lapangan, turut merayakan euforia bersama para pemain Atalanta yang juga mengajak pasangannya. Terry mengambil piala yang tengah dibawa Ayala, lalu dia memeluk Angelina bersama piala itu, mengabadikan momen tersebut.

"Enak, ya. Kalian punya pasangan masing-masing." Ayala berjalan mendekat seraya menautkan tangan dan menyimpannya di belakang kepala.

Terry baru sadar, hanya Ayala yang tidak memiliki pasangan. Sedari tadi dia hanya berjalan-jalan, menggoda setiap anak dari para pemain. Meski begitu, dia tetap ceria, berbaur bersama dengan yang lain. Terry tak bisa membayangkan kalau dia berada di posisi itu.

"Lalu kenapa kau tidak mencari kekasih? Apa wanita Bergamo tidak sesuai seleramu?"

Ayala menyeringai sambil tertawa. "Tidak, hanya saja." Ayala menggantung kalimatnya, mengalihkan pandang pada supporter yang masih riuh merayakan kemenangan. "Entahlah, masih belum ada wanita yang cocok untukku."

The Two Colors of Fate in MilanWhere stories live. Discover now