08 - A Moment

22 8 1
                                    

Pemberitaan Terry di media semakin menuai perhatian. Terlebih setelah dia berhasil membawa Atalanta ke semifinal Liga Champions, namanya semakin melambung. Kini, para scout dari tiap klub besar Eropa mulai menaruh perhatian lebih pada talenta muda tersebut. Hampir di setiap pertandingan, mereka selalu hadir di tribune demi melihat perkembangannya.

Lidah Terry menjulur-julur selepas latihan, rasa lelah, panas, dan haus bersamaan menyerangnya. Melihat Atalanta telah menjadi semifinalis, Antonini menambah menu latihannya menjadi lebih berat. Sambil mengontrol ritme napasnya, Terry mengambil sebotol air putih dan meneguknya sampai habis.

"Ini melelahkan sekali, si botak itu keterlaluan," komentar Ayala sambil merebahkan tubuhnya di atas tanah. "Baru sekarang kita berlatih sekeras ini."

"Kalau kau tak sanggup, pertandingan nanti diam saja di bangku cadangan," tanggap Almeida ketus. "Kita tidak boleh terlalu jumawa walau sudah sampai semifinal.

"Semifinal, ya? Aku tak menyangka kita bisa sejauh ini." Ayala tertawa sembari menatap langit yang cukup teduh dipandang.

Terry mengelap keringat di wajah dengan handuk kecil, serta menghela napas lelah. "Kau terlalu banyak bicara. Sudah kubilang kan, kita akan juara."

Ayala memalingkan pandang pada Terry sembari tersenyum padanya. Dia suka ketika telah berambisi dan bicara ceplas-ceplos seperti dirinya. Meski terkesan menganggap mudah, tetapi hal itu bisa mencairkan suasana bila telah dirasa kaku. Ayala lantas beringsut mendekati Terry. Dia merangkul bintang baru itu seraya berbisik.

"Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan wanita cantik itu?"

Seketika ekspresi wajah Terry mendadak lesu dibarengi helaan napasnya yang menandakan penyesalan. Setelah Ayala menangkap foto seorang wanita di ponsel Terry, dia terus berusaha mencari informasi tentangnya. Apalagi setelah mengetahui bahwa Angelina seorang Milanisti, juga Terry yang memiliki impian untuk membela Inter Milan. Membuat Ayala semakin penasaran dengan kisahnya.

"Seperti biasa," sahut Terry singkat.

"Jangan pelit seperti itu," kejar Ayala lagi, kali ini dia semakin mendekatkan kepalanya dengan Terry. "Aku tahu kau pasti kesulitan. Kau bisa cerita padaku." Ayala membentuk lambang hati dengan tangan dan menaruhnya di dada. "Kau tahu? Aku juga dikenal sebagai dokter cinta."

Terry menyemburkan air yang tengah diminumnya dan tepat mengenai wajah Ayala. Dia tak kuat menyembunyikan tawa demi mendengar perkataan setimnya itu. Ayala menyepah-nyepah, karena air buangan Terry yang sempat masuk ke mulutnya.

"Kau tak percaya?" Ayala menaikkan alis. "Kau tanya pada kapten kita, dia jadi pelanggan tetap," sambungnya lagi seraya menoleh pada Almeida. "Benar kan, Kapten?"

"Shut up!" Almeida menatap tajam Ayala yang disambut tawa lelaki itu.

"Mungkin lain kali." Tanpa berkata apa-apa lagi, Terry beranjak dari duduknya dan bergegas pulang, karena hari itu latihan telah berakhir.

***

Para pemain yang berada di locker room tampak begitu tegang. Terlihat sekali mereka seakan demam panggung dalam pertandingan ini. Wajar saja, mereka berhasil membawa klub kuda hitam lolos ke empat besar dan akan menghadapi salah satu tim terbaik dunia di hadapan pendukungnya sendiri.

Bermian di laga besar seperti semifinal Liga Champions tentu sedikit membuat mental mereka terganggu. Tak peduli sehebat apa pun penampilan mereka selama ini. Rasa gugup akan senantiasa menghampiri.

"Ingat! Target kita mencuri goal di pertandingan ini. Tetap tampilkan permainan menyerang. Berusahalah untuk menang!" ucap pelatih mencoba membakar semangat anak asuhnya saat memberi intruksi.

The Two Colors of Fate in MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang