14 - Loves That Makes You Suffer

9 8 0
                                    

Sejak pertemuannya dengan Angelina, nyatanya tidak membuat Terry tenteram. Malah menambah buruk. Setiap saat, seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Terasa begitu menyesakkan. Sejak awal, hubungan mereka baik-baik saja, tidak ada permasalahan yang berarti. Oleh karena itu, Terry cukup tertekan dengan apa yang dialaminya saat ini. Meskipun dia sudah memperkirakan akan seperti ini, tetapi tetap saja tidak menyangka rasanya akan sesakit ini.

Sejak pagi, Terry joging mengelilingi daerah sekitar, dilanjutkan dengan bermain bola sendiri di halaman rumah. Bermaksud mengembalikan mood-nya, tetapi percuma. Kekhawatiran pada Angelina tetap menggerogoti dirinya.

"Ada klub menawariku banyak uang, tapi itu bukanlah yang utama. Kamu harus mengejar impianmu, bukan materi."

Terry teringat pada perkataan pemain Inter Milan yang diidolainya. Saat sang pemain itu menolak pinangan klub lain. Ucapannya sangat membekas di hatinya, membuat dia belajar arti sebuah kesetiaan. Dia berjanji, jika bermain di Inter, bila bukan klub yang melepasnya--dia akan setia membela Inter sampai akhir karier profesionalnya. Setidaknya, itulah harapannya sekarang. Namun, dalam menggapai impiannya, dia sadar tidak semulus dengan apa yang dibayangkannya. Banyak hal yang membuatnya harus rela menerima kenyataan, akan sulitnya meraih mimpi.

Seiring berjalannya waktu, Terry bukan lagi anak kecil yang tergila-gila dengan sepak bola. Bukan seorang bocah yang memiliki ego tinggi. Juga bukan bocah yang merengek-rengek agar dituruti keinginannya. Terry sudah menjadi pria dewasa, menjadi seseorang yang harus mengerti kerasnya hidup. Juga merasakan cinta yang bisa menghadirkan berjuta rasa.

Cinta memang bisa mengubah segalanya. Kehadirannya menimbulkan kebahagiaan yang sulit dijelaskan, juga memberikan rasa sakit di waktu yang sama.

Cinta itu seperti angin. Meski tidak berwujud, tetapi kehadirannya begitu terasa. Kini, Terry seakan merasakan dua angin yang tengah menarik kedua tangannya. Yang membuatnya harus memilih salah satu arah angin yang akan diikutinya.

***

Angelina menjalani aktivitas seperti biasa. Walau kekecewaan terhadap Terry kerap menghantui pikirannya, dia berusaha mengalihkan fokus pada pekerjaan. Pagi itu, saat butik baru saja buka, beberapa pengunjung sudah berada di sana, melihat dari satu baju ke baju yang lain. Dan mencobanya di ruang ganti. Angelina duduk di kursi dekat pintu masuk sambil menikmati cemilan. Pagi yang tenang, tetapi tak mampu menetralkan perasaannya yang masih dilanda gelisah bercampur kekesalan. Ingin sekali dia memukul wajah kekasihnya itu, melampiaskan kegemasan yang terus dirasakannya.

"Permisi, Nona. Apa di sini menjual jersey Milan tahun 2007?"

Angelina tersenyum ramah saat pria paruh baya mendekatinya. Lalu dia berjalan mengambil jersey yang dimaksud. Akhir-akhir ini, banyak yang meminta seragam Milan tempo dulu, saat masih berada di masa kejayaan. Mungkin mereka rindu akan masa-masa itu, di mana Milan sekarang sangat jauh berbeda. Pria itu mengambil jersey tersebut dan mencobanya terlebih dahulu. Sementara Angelina kembali duduk menikmati cemilan yang tersisa sedikit lagi. Perhatiannya tertuju pada sebuah mobil yang melintas di depannya. Belakangan ini mobil BMW putih itu sering melewati daerah ini.

Setelah memarkirkan dan keluar dari kendaraannya, pemilik mobil itu berjalan tegap menuju Angelina. Pria dengan rambut mohawk dan memakai kemeja yang sengaja dirobeknya. Senyuman tengil yang khas itu selalu menghiasi wajahnya, terlihat sebagai orang yang menyenangkan.

"Selamat datang, Pangeran. Apa yang kau cari?" sambut Angelina ketika Ayala sudah berada di hadapannya.

"Off course seeing you." Ayala menarik kursi dan duduk di sebelah Angelina. "Got any plans to go out now?"

The Two Colors of Fate in MilanWhere stories live. Discover now