CHAPTER TUJUH

202 27 1
                                    

Larisa terperangah saat melihat orang pertama yang menyambutnya di depan rumahnya bukan ayahnya maupun asisten rumah tangga di rumahnya, melainkan seorang pria yang sejujurnya tidak ingin ditemui olehnya saat ini. Larisa meringis melihat wajah kekasihnya yang menatapnya serius di depan pintu sembari bersedekap.

" H ... hai ... kok kamu ada disini?" tanyanya pada Reza yang masih diam menatapnya.

" Harusnya aku yang nanya kayak gitu? Kok kamu baru pulang jam segini? Abis dari mana?"

Larisa meneguk ludahnya susah payah, otaknya berpikir keras untuk mencari alasan yang bagus. Tidak mungkin bukan dia mengatakan dengan jujur pada Reza bahwa dia baru saja pulang dari sebuah club?

" A ... aku ..."

" Oh ... kamu udah pulang Cha."

Larisa dan Reza menoleh bersamaan ke arah pintu, dimana Anton ... ayah Larisa menyembulkan kepalanya, menatap ke arah mereka berdua.

Larisa mengembuskan napas lega, kemunculan ayahnya telah menyelamatkannya dari interogasi seorang Reza.

" Ayo masuk ke dalam, udah mau magrib loh. Kita makan malam sama-sama."

Larisa mengangguk menyetujui ajakan ayahnya, bergegas dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, mengabaikan tatapan Reza yang mengikuti setiap pergerakannya.

" Aku ganti baju dulu ya pa."

" Ya udah sana cepetan. Kasihan nak Reza udah kelaperan, ya kan?" tanya Anton, menggoda Reza yang kini sedang menggaruk belakang kepalanya.

" Om tahu aja. Jadi malu." Sahutnya.

Kedua pria itu pun duduk melingkari meja yang sudah dipenuhi berbagai makanan yang sudah terhidang, tampak menggiurkan dipandang mata. Sedangkan Larisa berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya.

Ketika Larisa kembali ke lantai dasar setelah menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengganti pakaian. Dia menemukan ayahnya dan Reza sedang terlibat obrolan ringan. Suara tawa sesekali meluncur dari mulut keduanya.

Larisa mengulum senyum, hatinya lega melihat pemandangan itu. Hubungan Reza dan ayahnya terbilang cukup akrab. Dilihat sepintas pun Larisa tahu ayahnya begitu menyukai Reza.

" Ngapain berdiri disitu? Cepet ke sini!" Anton melambaikan tangannya, memberi isyarat pada putri bungsunya agar mendekat.

" Kamu gak tahu apa suara perut Reza kenceng banget? Udah kelaparan tuh pacar kamu."

Reza tak mengatakan apa pun, pemuda itu tertawa lantang mendengar candaan ayah kekasihnya.

" Kamu emang belum makan?" tanya Larisa saat dirinya menoleh ke arah Reza yang duduk di sampingnya.

" Gimana bisa makan kalau yang ada di pikiran aku cuma kamu? aku khawatir banget pas tahu kamu belum pulang."

Suara siulan terdengar dari arah depan, sepasang kekasih itu refleks menatap ke arah pria paruh baya yang kini tengah bersiul menggoda mereka.

" Duuh ... perhatian banget ya Reza sama kamu. Kamu beruntung dapetin pacar kayak dia, Cha. Papa juga jadi tenang karena punya calon mantu yang tulus cinta dan sayang sama kamu."

Wajah Reza memerah, sedikit malu karena calon mertuanya secara terang-terangan memujinya. Walaupun baginya pujian itu terdengar terlalu berlebihan.

" Oh iya Cha, kamu kenapa gak pulang bareng sama Reza? Biasanya kalian pulang bareng."

Larisa yang berniat mengambil nasi, seketika menghentikan gerakan tangannya. Dia menelan ludah, sempat berpikir dia akan bebas dari interogasi ini, nyatanya tidak. Justru ayahnya yang sekarang menanyainya. Padahal Larisa sedang mencoba menghindari pembahasan ini.

LARISA WISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang