CHAPTER DUABELAS

219 23 1
                                    

Larisa masih senyum-senyum sendiri di dalam taksi, mengingat kejadian barusan dimana untuk pertama kalinya Arvan mengucapkan terima kasih dan tidak bersikap jutek padanya sungguh membuat gadis itu senang tiada tara. Berpikir akhirnya sedikit demi sedikit dia mulai bisa menaklukan pemuda dingin itu.

Senyuman Larisa pudar ketika merasakan getaran di dalam tasnya. Dia terenyak, tentu saja benda yang menimbulkan getaran yang sukses membuatnya terkejut itu tidak lain merupakan ponselnya.

Dia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengan kirinya sejenak. " Mati gue, udah jam segini ternyata." Gerutunya sembari menepuk jidatnya sendiri, tak menyangka waktu hampir menunjukan pukul 6 sore. Pantas saja langit mulai menghitam di atas sana.

Larisa bergegas mengambil ponselnya, terbelalak mendapati ada 49 panggilan tak terjawab dari Reza dan 16 panggilan tak terjawab dari Pretty.

" Duuh ... gue lupa ngasih tahu mereka. Pasti gue diomelin nih bentar lagi."

Larisa tersentak kaget hingga nyaris melempar ponsel di tangannya tatkala ponsel itu kembali bergetar. Ada nama Reza yang terpampang di layar kini tengah meneleponnya.

" Amsyong dah nih, cowok gue nelepon lagi." umpatnya dan kali ini dia mengangkat telepon itu, meski jantungnya berdebar cepat karena takut dimarahi sang pujaan hati.

" H ... Hallo ..." sapa Larisa begitu telepon itu tersambung.

" Kamu dimana?" suara berat bernada datar dari pemuda yang menelepon di seberang sana tanpa sadar membuat Larisa meneguk ludahnya. Benar dugaannya, Reza pasti marah besar dirinya belum tiba di rumah jam segini.

" A ... aku lagi jalan mau pulang kok sayang. Bentar lagi nyampe rumah." Jawab Larisa.

" Kamu dimana?" Reza mengulang pertanyaannya.

" Hmm ... aku lagi di taksi. Bentar lagi nyampe rumah kok. Kamu lagi ada di rumah aku ya?"

" Kamu dimana?"

Larisa berdecak jengkel, kenapa pacarnya ini terus menanyakan hal yang sama meski dirinya sudah menjelaskan?

" Aku.lagi.di.jalan.sayang." Jawabnya sengaja penuh penekanan agar Reza mengerti. Mencoba berpikir positif mungkin suaranya tak terdengar jelas di telinga Reza.

" Aku jemput kamu. Sekarang kamu dimana?"

" Gak usah jemput segala, aku beneran kok udah deket ke rumah."

" Aku tanya kamu dimana sekarang? cukup jawab aja jangan bertele-tele!" Larisa menggeram kali ini, pacarnya benar-benar aneh, tak seperti biasanya. Bahkan barusan pemuda itu membentaknya, padahal sebelumnya semarah apa pun Reza padanya, tak pernah sekalipun sampai membentak Larisa.

" Aku di daerah Monas." Akhirnya Larisa memilih menjawab dengan jujur, toh memang taksi yang dia tumpangi sedang melintas di daerah Monas.

" Turun kamu dari taksi. Aku jemput kamu ke sana sekarang."

" Aku bilang gak usah, aku ..." Larisa mengernyitkan dahi, sambungan telepon itu terputus begitu saja. Tentu saja pasti karena Reza memutuskan secara sepihak.

Larisa menggerutu pada layar ponselnya yang tak berdosa, tak hentinya melontarkan kata-kata umpatan pada benda mati tersebut. Sudah jelas kan Rezalah yang sedang dia marahi, naasnya karena Reza tak ada di hadapannya, ponsel malang itu dijadikan pelampiasan amarah Larisa.

" Pak, tolong berhenti di dekat kursi itu ya." pinta Larisa pada sang sopir taksi agar menurunkannya di pinggir jalan dimana ada kursi panjang yang diletakan di trotoar dekat pagar menuju area Monas.

LARISA WISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang