CHAPTER EMPATBELAS

271 26 3
                                    

Setibanya di Kantin, Larisa menggulirkan mata guna mencari keberadaan Arvan. Suasana kantin cukup ramai pagi ini, membuat Larisa cukup kesulitan menemukan pemuda itu. Hingga ketika tatapan matanya tertuju ke area pojok kantin, dia menemukan pemuda itu sedang duduk sendirian di sana, tengah menyantap makanan yang sudah dia pesan. Larisa memperlebar langkahnya untuk menghampiri.

" Waduh ... enak banget ya makan duluan." Sindirnya saat melihat Arvan tengah asyik menyantap bubur ayam. " Punya gue mana? Kok gak dipesenin juga?"

Arvan yang tengah fokus menunduk pada bubur di mangkok pun seketika mendongak, dia mendengus kasar. " Pesen aja sendiri. Lo punya mulut kan?" sahutnya.

Larisa memberengut tak suka. Dirinya jadi teringat pada kekasihnya, dulu saat Reza masih sekolah di sana, hampir setiap pagi mereka sarapan bersama di kantin ini. Keseringan mereka menjadikan bubur ayam sebagai menu sarapan. Dan setiap mereka makan selalu Reza yang memesankan makanan untuk Larisa. Pemuda itu sudah hafal betul selera makanan yang disukai Larisa. Mengingat hal ini seketika membuat Larisa termenung, pertengkarannya dengan Reza kembali terngiang di kepalanya.

" Kok malah ngelamun sih? Udah sana pesen, nanti keburu bel masuk."

Larisa tersentak dari lamunannya. " I ... iya gue pesen, bawel banget sih jadi cowok." Katanya seraya berjalan cepat menuju penjual bubur ayam. Dia memesan satu porsi bubur ayam bersama teh hangat manis yang dia pilih sebagai minumannya. Setelahnya dia kembali menghampiri Arvan di mejanya. Pemuda itu rupanya sudah menyelesaikan sarapannya, Larisa kembali cemberut. Artinya dia akan makan sendirian nanti jika bubur yang dipesannya sudah diantarkan ke meja.

" Cowok makannya emang cepet ya." ujarnya tiba-tiba, Arvan mengangkat satu alisnya heran. Wajah Larisa saat mengatakan ini tampak begitu murung. Arvan tak tahu Larisa refleks mengatakan ini karena lagi-lagi teringat pada Reza. Saat mereka makan bersama memang pemuda itu selalu mendahului menghabiskan makanannya.

Larisa yang tengah menerawang kosong, mengerjap beberapa kali saat tangan Arvan dikibas-kibaskan tepat di depan wajahnya.

" Issshhh ... kenapa sih Van? Bikin kaget aja." Gerutu Larisa sembari menepis tangan Arvan.

" Lo aneh ya pagi ini, keseringan ngelamun. Ngeri gue."

" Ngeri kenapa?"

" Ngeri lo kesambet setan kantin."

" Huuh ... gak bakalan kali. Setan-setan di sekolah ini udah kenal sama gue, gak mungkin mereka berani gangguin."

" Jangan sembarangan ngomong loh, ntar beneran didatengin setan baru tahu rasa."

Larisa membekap mulutnya, baru sadar dirinya takabur tadi, tak seharusnya berujar menyombongkan diri, apalagi mengenai masalah hantu penghuni sekolahnya.

" Lo sih ngebahas hantu mulu jadinya kan gue keceplosan. Amit-amit dah digangguin setan, jangan ampe."

Arvan terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala. " Nah gitu dong bawel. Mulut lo yang gak bisa diem itu kan ciri khas lo."

Larisa tertegun mendengar ucapan Arvan, tak menyangka Arvan sengaja mengatakan semua itu agar dirinya kembali ceria. Diam-diam dia mengulum senyum. Bersamaan dengan itu, bubur pesanannya mendarat di mejanya. Larisa menyantapnya rakus perutnya memang sudah meraung-raung minta diisi.

" Pelan-pelan kali makannya, udah kaya gembel gak makan seminggu aja lo." ledek Arvan, Larisa mendengus.

" Gue laper tahu. Biasanya gue makan roti makanya gak laper. Ini gue belum makan apa-apa."

" Lagian tumben lo gak bawa roti pagi ini? Biasanya lo bawa tiap hari, ampe nawarin gue segala."

" Iya soalnya ..." Larisa nyaris menceritakan alasan dirinya tak membawa roti pagi ini, roti yang selalu dibelikan Reza. Namun, dia urung bercerita, mulutnya kembali dia katupkan rapat.

LARISA WISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang