CHAPTER DELAPAN

214 25 3
                                    

Suasana hening menyelimuti sepasang pemuda-pemudi yang sedang duduk di dalam mobil. Si pemuda yang fokus menatap ke depan karena sedang menyetir dan si gadis yang memilih menyibukan diri menatap ke pemandangan di luar dibandingkan terlibat obrolan dengan orang di sebelahnya.

Reza menoleh sekilas ke arah Larisa yang menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi dimana kedua matanya fokus menatap ke arah luar. Kekasihnya yang biasanya ceria itu, entah kenapa begitu murung pagi ini.

Dia ulurkan tangan kirinya ke arah samping, membuat Larisa tersentak saat telapak tangannya mendarat di puncak kepala gadis itu.

" Kamu melamun?" tanya Reza. Larisa menggeleng detik itu juga.

" Nggak kok." Jawabnya.

" Masa? Tapi aku lihat kamu natap ke luar terus. Lesu lagi, gak ada semangat-semangatnya, padahal ini masih pagi-pagi, matahari aja belum bener-bener nongol."

Larisa mendengus, tidak heran mendapati pemuda yang sudah dia pacari selama dua tahun ini menyadari suasana hatinya yang buruk pagi ini.

Sebenarnya Larisa sudah merasa tidak nyaman dengan hatinya sejak kejadian kemarin. Dimana dia pulang ke rumahnya dan dengan terpaksa harus membohongi ayah serta pacarnya saat mereka bertanya alasan dirinya pulang terlambat.

Perlakuan manis Reza semalam membuat suasana hatinya bukannya berbunga-bunga, justru semakin memburuk. Dia merasa bersalah, untuk pertama kalinya dia membohongi pacarnya tersebut.

" Udah dibaca belum novelnya?" Reza kembali bertanya. Larisa membalas hanya dengan gelengan kepala.

" Tumben. Biasanya kalau punya novel baru langsung dibaca malam itu juga, ampe kamu rela begadang. Gak peduli mata kamu jadi kayak panda gara-gara kurang tidur."

Larisa kembali mendengus, mendelik tak suka pada Reza yang sedang menertawakannya.

" Gak suka sama ceritanya?"

" Belum juga dibaca, aku kan belum tahu ceritanya kayak gimana."

Reza mengangguk-anggukan kepalanya.

" Kamu sakit?" tanyanya lagi. Larisa lagi-lagi menggeleng.

" Aku sehat kok. Seratus persen sehat."

" Oh bagus deh kalau gitu. Aku kirain kamu terkena kanker." Larisa kembali mendelik tak suka pada Reza, kali ini dia mendaratkan pukulan pelan di bahu pemuda itu.

" Jahat banget sih kamu doain aku sakit kanker." Rajuknya, benar-benar tersinggung mendengar ucapan Reza tadi.

" Kanker maksudnya kantong kering. Ya siapa tahu aja Om Anton ngurangin jatah uang jajan kamu makanya kamu ngambek. Kalau beneran kayak gitu, aku sih niatnya ngasih uang jajan tambahan buat kamu biar kantongnya gak kering lagi."

" Isssshhhh ... gak lucu tahu!" teriak Larisa sembari kembali memukuli bahu Reza. Pemuda itu hanya tertawa menanggapi perbuatannya membuat Larisa merajuk.

Larisa bersedekap dada setelahnya, kembali memalingkan tatapannya ke arah luar.

" Terus kamu kenapa sebenarnya, kok lesu amat sih pagi ini? Aku ada salah ya sama kamu?" Larisa memutar lehernya, menatap gamang pada Reza yang fokus menatap ke depan namun mulutnya tak bisa berhenti bicara.

" Ada omongan aku yang salah ya semalam makanya kamu ngambek?"

" Nggak kok. Kamu kok bisa mikir kayak gitu?"

Larisa tersentak hingga nyaris terjengkang ke depan jika saja sealbelt yang dia kenakan tidak menahan tubuhnya tetap diam di tempat, tatkala Reza tiba-tiba mengerem mobilnya.

LARISA WISHМесто, где живут истории. Откройте их для себя