CHAPTER SEPULUH

224 20 4
                                    

Di hari ketiga Larisa harus berangkat sekolah pagi karena mengikuti Reza yang tengah mengikuti kegiatan ospek di kampusnya, seperti biasanya Larisa memasang wajah sumringah saat dirinya berjalan menyusuri lorong sekolah. Sebentar lagi dia akan tiba di kelasnya, dan dia yakin sekali seperti dua hari kemarin, Arvan pasti sudah datang lebih dulu darinya.

' Tuh kan bener perkiraan gue, dia pasti udah dateng.' Gumamnya dalam hati, saat melihat sosok Arvan seperti biasa tengah duduk dengan sebuah buku di tangannya.

Dengan perlahan dan tanpa menimbulkan suara berisik, dia melangkah masuk. Lantas mendudukan dirinya tepat di depan bangku Arvan. Gadis itu tak mengatakan apa pun, tidak sepeti dirinya yang biasanya memberondong Arvan dengan berbagai pertanyaannya.

Arvan yang menyadari kehadiran seseorang, mengintip dari balik bukunya. Mendengus pelan tatkala mendapati Larisa lah yang datang. Tapi ada kejanggalan yang dia rasakan pagi ini, tumben sekali gadis berisik itu tidak cerewet seperti biasanya. Menyiksa Arvan dengan berbagai pertanyaan tak penting.

Mengabaikan keanehan itu, Arvan kembali memusatkan atensinya pada buku di tangan.

Namun, saat sebuah suara gebrakan merasuki gendang telinganya, pemuda itu seketika menoleh pada sumber suara. Satu alisnya naik saat melihat tumpukan buku kini terpampang tepat di depan matanya, di atas mejanya lebih tepatnya.

" Apa-apaan nih?" tanyanya meminta penjelasan, namun mendapati reaksi Larisa hanya menyengir lebar tak ayal menyulut emosi Arvan mulai naik ke permukaan.

" Lo tuli ya? ini maksudnya apa naro tumpukan buku di meja gue?!" kali ini dia sedikit membentak.

" Lo kan suka baca buku tentang hukum. Kebetulan papa gue punya banyak buku tentang hukum, makanya gue bawain buat lo." Larisa menggeser tumpukan buku itu semakin mendekat pada Arvan. " Nih gue pinjemin bukunya sama lo. Santai aja bacanya, gak usah buru-buru."

" Gue gak butuh buku-buku ini." Tolak Arvan mentah-mentah, lantas dia dorong tumpukan buku itu agar menjauh darinya.

" Gue bermaksud baik, Arvan. Lo kenapa sih sinis banget sama gue?"

Arvan berdecak sembari mengurut pangkal hidungnya yang mulai berdenyut.

" Lo beneran gak ngerti kata-kata gue ya?" katanya. " Gue kan jelas-jelas bilang, jangan ganggu gue. Masa lo gak ngerti sih?"

" Gue gak gangguin lo kok. Gue cuma berniat baik ngasih minjem buku."

Tak kuasa lagi menahan kekesalannya pada Larisa, pemuda itu pun bangkit berdiri dari duduknya. Lantas berjalan pergi begitu saja.

" Van, lo mau kemana? Kok lo tiba-tiba pergi sih?"

Larisa ikut beranjak bangun, berlari guna mengejar langkah Arvan yang terlampau cepat.

" Van, tungguin dong!!" teriak Larisa, membuat beberapa siswa yang berjalan di sekitar mereka, menoleh padanya.

" Van, lo tuli ya? gue bilang tunggu!!"

Larisa yang tengah berlari kencang itu seketika meringis kesakitan ketika ujung hidung mancungnya menabrak punggung Arvan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

" Issshhhh ... jangan berhenti mendadak dong. Sakit nih hidung gue." Larisa mengusap-usap ujung hidungnya yang berdenyut sakit karena berbenturan dengan punggung keras nan tegap Arvan.

" Lo ngapain ngikutin gue?"

" Habisnya lo pergi gitu aja, gak ngehargain banget kebaikan gue."

" Gue gak minta lo baik sama gue kok."

" Ya, tapi bukan berarti lo gak ngehargain orang yang baik sama lo kan? Harusnya lo bersyukur masih ada orang yang baik sama lo. Padahal lo ini nyebelin. Dasar Mr kutub." Katanya, tiada henti mengumpati Arvan. Tak peduli meski pemuda itu melayangkan tatapan tajam bak siap menerkam si gadis.

LARISA WISHWhere stories live. Discover now