Part 9

7.3K 995 30
                                    

Setelah kepulangan Kenneth, Briella kembali ke kediaman Calvin. Wanita ini harus pergi untuk sementara waktu agar Kenneth tidak mencurigai apapun.

"Kenapa kita harus menyembunyikan hubungan kita dari Ken? Cepat atau lambat ia akan mengetahui tentang hubungan kita." Briella merasa tidak senang karena harus menyembunyikan hubungannya di depan Calvin. Ia dan Calvin memang tidak akan menunjukan hubungan mereka di depan umum karena masalah nama baik mereka. Namun, jika di depan keluarga seharusnya itu tidak masalah. Lagipula ayah dan ibu Calvin sudah tahu tentang hubungan mereka.

"Aku adalah kakak yang sempurna bagi, Ken. Dan aku tidak ingin merusak itu. Tahan saja, Ken tidak akan setiap hari ke sini. Papa dan Mama tidak akan memberitahu Ken, jika memang mereka akan melakukannya maka mereka akan memberitahu Ken sejak mereka tahu kita masih berhubungan." Calvin melangkah menuju ke sofa.

"Kenapa kau selalu memikirkan citramu? Kau tidak memikirkan perasaanku? Aku harus terus mencari alasan untuk mengunjungimu dan Meisie di depan Kenneth." Briella tidak terima.

"Aku lelah, Briella. Jangan merundungku dengan masalah sepele seperti ini." Calvin memijit pelipisnya pelan. Ia sudah lelah bekerja seharian, haruskah Briella membuatnya pusing sekarang?

Brielle menahan bibirnya agar tidak terbuka lagi. Baiklah, ia akan mengalah sekali lagi.

"Baiklah. Maafkan aku karena terlalu banyak menuntut." Briella melangkah ke belakang sofa lalu memijat kepala Calvin.

Di depan pintu kamar Calvin, kaki Qyra membeku. Jadi, selama ini orangtua Calvin mengetahui tentang hubungan Calvin dan Briella. Dan mereka tidak memberitahunya, membiarkan ia menjadi wanita bodoh selama bertahun-tahun.

Dada Qyra terasa sangat sesak. Ia mengasihi orangtua Calvin seperti ia mengasihi orangtuanya sendiri, bagaimana teganya mereka melakukan ini padanya? Bagaimana bisa?

Airmata Qyra menetes begitu saja. Lagi-lagi pengkhianatan dilakukan oleh orang terdekatnya. Ia dikelilingi oleh orang-orang munafik.  Mereka seperti ular yang licik.

"Bibi!" Suara Meisie membuat Qyra sedikit tersentak. Ia segera melangkah meninggalkan pintu kamar Calvin. Tangannya menghapus jejak air mata yang membasahi pipi. Ia memasang senyuman dan menemui Meisie yang mencarinya.

"Ada apa, Sayang?" Qyra mengelus kepala Meisie pelan. Mungkin di dunia ini, hanya Meisie yang mencintainya dengan tulus selain orangtuanya.

"Tidak apa-apa, Bi. Aku pikir Bibi pergi." Meisie menggenggam jemari Qyra erat.

"Bibi tidak akan pergi, Sayang. Ayo, Bibi temani tidur." Qyra menggendong Meisie, membawa gadis kecil itu kembali ke kamarnya.

Setelah dibacakan dongeng oleh Qyra, Meisie kini terlelap. Mata Qyra menatap Meisie teduh.

"Mama tidak akan pergi sebelum Mama melihat Papamu dan Briella hancur. Dan kalaupun Mama pergi, Mama pasti akan membawamu serta." Qyra mengelus kepala Meisie lembut.

Setelah memastikan Meisie tidak akan terjaga lagi, Qyra keluar dari kamar Meisie. Ia pergi ke gudang, tempat di mana semua barang-barangnya disimpan. Ckck, bahkan tak ada satupun barangnya tersisa di kamar utama. Foto-fotonya pun sudah lenyap. Calvin dan Briella, tampaknya benar-benar sudah menantikan hari di mana mereka bisa meletakan barang-barangnya ke gudang.

Mereka terlalu cepat ingin melupakan kematiannya. Namun, ia tidak akan membiarkan hal itu berlangsung lama. Satu minggu saja sudah cukup bagi mereka untuk hidup tenang. Sudah saatnya mereka dihantui oleh kematiannya.

Qyra sampai di gudang. Ia mengambil pakaian terakhir yang ia kenakan ketika tenggelam di laut. Mata Qyra terlihat begitu dingin, menusuk tajam dan mampu membuat orang yang melihatnya menggigil takut.

Another Life : Revenge and LoveWhere stories live. Discover now