BAB 2

90 18 27
                                    

Malam itu, bulan sudah meninggi di langit dihiasi kerlap-kerlip cahaya bintang. Angin bertiup sepoi-sepoi di Jalan Sukamaya yang asri. Di Pos Ronda RT 01/ RW 06 yang sempit, seorang pria setengah baya tidur terlentang dengan mulut terbuka di antara dua orang pemuda ditemani gelas-gelas kopi yang sudah kosong. Suara dengkuran nyaring yang menggema dari mulutnya. Tiba-tiba tubuhnya tersentak bangun. Tangan kanannya menggaruk telapak kakinya yang bentol dan memerah karena gigitan nyamuk.

"Kenape harus di telapak kaki!" gerutunya.

Dia melongok ke jam dinding lalu membangunkan kedua pria yang sedang tertidur pulas.

"Arga! Wahyu! Bangun!"

Wahyu menggeliat menarik sarung kotak-kotaknya untuk menutupi perutnya dan Arga sama sekali tidak bergerak.

"Woi, bangun! Ronda!" teriaknya lagi.

Kedua pria muda itu sama sekali tidak bergerak. Tiba-tiba timbul ide jahil di pikirannya. Diambilnya gelas berisi air putih lalu dicipratkan ke wajah kedua pemuda itu. Air perlahan-lahan membasahi kedua wajah mereka. Mata Arga mulai bergerak-gerak merasakan cipratan air.

"Hujan?" tanyanya lirih di tengah kantuknya. Perlahan-lahan matanya mulai terbuka dan memandangi pria setengah baya yang sedang memegang gelas berisi air sedangkan Wahyu mulai menggeliat lagi.

"Pak RT, kirain apaan," kata Arga kesal.

Sunaryo atau yang biasa dipanggil Pak RT tidak menghiraukan Arga karena masih berusaha membangunkan Wahyu. Cipratan air di wajahnya sepertinya tidak mempan. Akhirnya pria itu berteriak tepat di telinga pria yang tengah tertidur itu. "Gempa! Gempa!"

Sontak saja Wahyu langsung bangun terduduk lalu langsung berdiri. "Gempa?" tanyanya mengantuk.

Sunaryo dan Agra tertawa melihat reaksi Wahyu.

"Kok malah pada ketawa. Memangnya lucu apa teriak gempa padahal enggak gempa," ucap Wahyu jengkel sembari duduk bersila di lantai yang dingin.

"Ronda sana! Malah pada tidur, sana elo elo pada keliling, liat-liat siapa tau ada orang yang mau nyolong ayam," kata Sunaryo.

"Memangnya di kampung kita ada yang punya ayam, ya?" tanya Arga polos.

Sunaryo menggelengkan kepalanya yang berambut ikal. "Ck, ck, ck, kamu ini. Itu cuma umpamanya saja. Sana berangkat! Jangan banyak alasan! Kalau pemuda-pemuda di Indonesia kayak kalian, males ronda, kapan negara kite mau maju."

Wahyu membetulkan sarungnya lalu keluar dari ruangan sempit itu. "Ayo, Ga!" ajaknya, "Pak RT juga ayo!"

"Gue jaga di pos sambil ngopi, lo elo aje yang keliling," kata Sunaryo.

Berangkatlah Arga dan Wahyu melaksanakan tugas demi mengamankan kampungnya. Setelah dilihatnya kedua pemuda itu menjauh, dia kembali merebahkan tubuhnya ke lantai dan tak lama kemudian dengkuran nyaring kembali bergema.

***

Arga dan Wahyu berjalan menebus malam melintasi jalanan kampung mereka. Perjalanan mereka dimulai dari rumah Esti yang didepannya merupakan kontrakan Wahyu dan Bambang. Di sebelah rumah Esti ada rumah Mustofa yang merupakan pemuka agama di kampungnya dan di seberangnya merupakan rumah Sunaryo. Di sebelah rumah Mustofa ada masjid yang cukup besar.

"Aduh," erang Arga.

"Kenapa, Ga?"

"Tiba-tiba perutku mules," jawabnya sambil memegangi perutnya.

"Tuh, di masjid ada kamar mandinya."

"Ah, aku ke rumah aja," tolak Arga. Arga berlari menuju ke rumahnya yang ada di ujung jalan tanpa menunggu tanggapan Wahyu.

"Jangan lupa lanjutin ronda, Ga!" teriak Wahyu.

Arga sama sekali tidak menoleh dan terus berlari. Wahyu cuek saja dan melanjutkan rondanya. Dia berjalan lagi menyusuri Jalan Sukamaya. Di depan masjid ada rumah Melati yang disita dan di sebelahnya merupakan Salon Astri yang merangkap sebagai tempat tinggal. Di sebelah Salon itu ada beberapa rumah kosong dengan spanduk bertuliskan 'dijual' di temboknya dan di seberangnya merupakan lapangan. Warung Leni terletak di sebelah lapangan.

"Tiga rumah lagi, tugasku selesai. Mana Arga? Kok nggak muncul-muncul?"

Pria dengan tinggi sekitar 175 cm itu berbicara sendiri sembari terus berjalan. Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya. Di ujung jalan, lebih tepatnya di depan kontrakan Nia, ada dua orang yang sepertinya sedang bercakap-cakap.

***

"Ini barangnya," kata si wanita lirih sambil menyerahkan bungkusan itu.

"Beda-beda ya?" tanya pria itu tak kalah lirih.

"Iya. Mana uangnya?"

Pria itu menaruh barang itu di dalam jaketnya lalu mengambil amplop yang sudah disiapkannya di saku celananya.

"Cepet!" perintah si wanita. "Ada yang lagi ronda," ucapnya lagi ketika melihat Wahyu mendekat.

Si pria cepat-cepat menyerahkan amplopnya dan berjalan keluar jalan. Dia belok ke kiri. Si wanita pun juga berjalan keluar dari jalan itu tapi dia berjalan menyebrang lalu berjalan lurus ke jalan yang ada di depannya.

***

Wahyu yang curiga berusaha mengejar tapi, dia bingung mau mengejar ke kanan atau lurus. Harus mengejar si pria atau wanita. Diam-diam dia sudah memotret kedua orang tua itu. Akan tetapi percuma saja. Si pria memunggunginya dan si wanita tertutup oleh tubuh pria yang cukup tinggi itu.

Wahyu memutuskan untuk kembali ke Pos Ronda. Tiba-tiba sebuah sinar menyinari tubuhnya. Dia segera minggir ke sisi kanan jalan. Dilihatnya mobil Pajero Sport putih milik Adam masuk ke Jalan Sukamaya dan melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah Esti.

Sekembalinya ke Pos Ronda, dilihatnya Pak RT yang tertidur pulas sambil geleng-geleng. "Dasar Pak RT."

Dia duduk di lantai ditemani dengkuran ketua di kampungnya itu dan berpikir. Dikeluarkannya ponselnya dan dilihatnya lagi fotonya. Siapa gerangan mereka? Jika mereka bersih, tentunya mereka tidak akan lari ketika ia mendekat. Dia mengirimkan pesan kepada seseorang yang berbunyi, 'Ndan, di sini positif ada transaksi.'

Arga tiba-tiba muncul di hadapannya dengan ngos-ngosan.

"Lama bener, Ga," protes Wahyu.

"Beneran, Bang, mules."

"Makanya tadi ambil sambelnya jangan banyak-banyak. Sekarang udah mendingan, kan?"

Arga mengangguk. "Ya, lumayan Bang."

"Sana lanjutin rondanya. Dari deretan rumah Bu Esti ke sono belum," ujar Wahyu sambil menunjuk arah yang berlawanan dari saat tadi dia meronda.

"Pak RT?"

"Alah, biarin."

Arga memakai sandal jepitnya lalu berjalan ke arah yang ditunjuk Wahyu. Dia mulai berjalan sambil melamun memikirkan masa depannya dan Melati.

************************************

Oh ya, ada yang penasaran nggak siapa Wahyu sebenarnya dan siapa dua orang yang melakukan transaksi itu?

The Dark Jasmine (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang