BAB 10

38 10 35
                                    

“Pagi-pagi rapi amat, biasanya juga masih pake kaos, udah bikin bola-bola bakso,” ucap Bambang yang heran melihat Wahyu hari ini terlihat sangat rapi.

“Masa setiap hari aja kamu yang keliatan rapi … gini-gini aku juga ganteng loh … eh salah, maksudnya good looking, lah,” timpal Wahyu dengan narsisnya.

Alis tebal Bambang bertaut mendengar ucapan teman satu kontrakannya itu. Matanya menelusuri sosok Wahyu yang sedang menyeruput kopi hitam. Kulit wahyu kuning kecoklatan, tubuh Wahyu terlihat kekar walaupun perutnya agak buncit, wajahnya yang berbentuk kotak dipadu dengan hidung yang cukup mancung dan matanya yang berukuran sedang. Pria yang duduk di sampingnya itu sebenarnya cukup tampan dan sangat pantas untuk bekerja di kantor, tapi mengapa dia memilih berjualan bakso keliling? Sebagai staf HRD, Bambang akan langsung merekrut Wahyu apabila dia melamar kerja di perusahaannya. Dia dapat melihat bahwa pria itu adalah sosok pekerja keras dan sungguh-sungguh dalam bekerja walaupun kadang-kadang Wahyu suka bersikap konyol.

“Tumben banget kamu keliatan rapi. Apa mau ngapel ya?” tanya Bambang sambil tersenyum jahil.

Wahyu tersenyum mendengar pertanyaan Bambang, ya dia memang mau apel … apel dengan teman polisinya yang dedikasinya tidak dapat diragukan lagi.

“Mbang, aku nebeng ya sampe halte,” ujar Wahyu tiba-tiba.

“Boleh, tapi aku nyari sarapan dulu ya. Laper … tumben warungnya Leni nggak buka,” keluh Bambang sambil mencari kunci motornya.

****

Keluar dari Rumah Mustofa, Melati memutuskan untuk berangkat kerja lagi. Keadaan tubuhnya sudah membaik dan juga, dia sudah memermak sendiri bajunya dengan kain yang waktu itu dia beli di pasar. Seragam kerjanya sudah cukup lagi.

“Wah, nggak tau malu, dia keluar dari rumah Mustofa lagi.”

“Eh iya, pagi-pagi bener dia udah keluar dari rumah Mustofa.”

“Jangan-jangan bener nih Melati ada apa-apanya sama Mustofa.”

Gosip-gosip itu langsung membuat telinganya panas. “Ibu-ibu, kalau nggak tau apa-apa, jangan asal ngegosip!” teriak Melati tiba-tiba pada beberapa ibu-ibu yang berdiri tak jauh darinya.

“Lah, lagian, ngapain pagi-pagi udah bertamu ke rumah Mustofa. Bukannya Mustofa itu anti ya sama perempuan berduaan aja,” ucap salah seorang ibu-ibu berdaster sambil menenteng kresek berisi sayuran.

Astaghfirullohal'adzin. Ibu-ibu jangan salah paham ya. Saya bisa menjelaskan semua ini,” sergah Mustofa yang berdiri di belakang Melati.

“Belain aje terus. Bapaknye juga tukang mabuk!” ucap ibu-ibu berdaster lainnya yang rambutnya dikuncir asal-asalan.

“Terus, Pak Ustad juga cerai dari istrinya, pasti ada apa-apanya. Kalau nggak ada apa-apanya, istrinya nggak mungkin minta cerai!” timpal ibu-ibu yang lain.

“Ibu-ibu! Tolong mulutnya dijaga, ya. Sekarang, saya masih bisa sopan. Saya bisa menjelaskan semua ini,” kata Melati sambil menahan amarahnya.

Ibu-ibu berdaster yang memegang kresek berisi sayuran memiringkan bibirnya dan berkata, “Kita nggak butuh penjelasan, semuanya udah jelas!”

Hati Melati meradang, harusnya dia tidak perlu menanggapi penggosip-penggosip seperti ini. Dia sendiri dia apa-apa mendapatkan banyak fitnah. Semenjak ibunya meninggal, kebahagiaan belum pernah singgah di hatinya. Tak apa dia yang difitnah, tapi dia tidak rela Mustofa ikut difitnah. Bukannya dia cinta pada Mustofa. Namun, baginya Mustofa adalah sosok panutan yang tidak pantas mendapatkan fitnah keji seperti itu.

Wanita berkulit kuning langsat itu tak kuasa menahan amarahnya. Bibir tipisnya bergetar hebat. “Apa saya dan Pak Ustad, Pak Mustofa harus mati dulu supaya kebenaran bisa tegak!” Kemarahan Melati sudah tak tertahan lagi sedangkan bibir Mustofa hanya bisa beristighfar lirih.

Bambang yang sedang memanaskan motor bebeknya tiba-tiba geram melihat kejadian itu. “Wahyu, maaf banget. Aku mendingan ke kantornya bareng Melati aja. Kasihan dia.”

“Santai aja, Mbang. Ya, udah. Kalau gitu aku jalan duluan, ya,” kata Wahyu sambil berjalan meninggalkan pria beralis tebal itu.

“Iya, ati-ati, ya.”

Wahyu menoleh ke belakang dan berkata, “Sip, Mbang.” Seelah itu, dia berjalan melewati keributan di sekitarnya seakan-akan dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak mau memperkeruh suasana. Biarlah nanti kebenaran akan dijelaskan oleh temannya yang lebih berwenang.

Setelah dirasa motornya cukup panas, Bambang mengendarai motornya pelan dan menghentikan motornya di depan Melati dan berkata, “Melati ayo kita ke kantor bareng mumpung jalanan belum macet! Keburu telat! Kamu nggak maukan telat!” perintah Bambang ketus. Sejujurnya Bambang ingin berkata halus pada Melati, tapi entah mengapa dia justru berkata ketus padanya.

“Eh, Mas Bambang.” Hanya itu reaksi Melati. Dia terbengong-bengong melihat sikap Bambang.

“Cepetan naik! Ada yang mau saya bicarakan ke kamu juga!”

“Eh, iya, Mas.”

“Setelah kamu biarin bapak kamu ngajak kakakku mabuk-mabukkan, kamu berani bicara gitu, hah! Kalau bukan karena ulah bapakmu, kakakku pasti sekarang masih hidup!” teriakan Astri tiba-tiba terdengar.

Air mata Melati tiba-tiba membanjiri pipinya. Ucapan wanita berambut pendek itu sungguh membuatnya sakit hati.

“Beruntung, ya Bu Esti masih mau nampung kamu! Kalau enggak, kamu mungkin udah jadi gelandangan!” tambah Astri dengan wajah merah padam karena emosi memenuhi hatinya.

“Sudah … sudah Dik Melati … Dik Astri … istighfar,” ucap Mustofa mencoba melerai. Mustofa sebenarnya ingin marah mendengar semua itu.

Namun, hati Melati sudah terbakar emosi sehingga dia masih belum dapat menahan emosinya ketika mendengar perkataan Astri. “Mbak Astri kalau yang ngomong dijaga! Aku minta maaf kalau aku salah! Aku nggak bisa nahan ayahku! Lagi pula dia bukan ayahku!” Kata-kata itu terucap begitu saja dari bibir Melati.

Astri berkacak pinggang dan mata belonya membulat. “Kamu sekarang nggak mau ngakuin bapakmu sendiri, hah!”

Asih yang baru pulang belanja dari warung terkejut melihat apa yang terjadi di kampungnya itu. Dia cepat-cepat menahan tubuh Astri yang siap menerkam Melati. “Udeh … udeh … pagi pagi udeh pade ribut aje. Kerja, kerja! Kalau masih pade ribut, nanti aye sidang satu-satu!” Dalam hati kecil Asih, sebenarnya dia ingin bergosip. Namun, semua itu dia tahan demi citranya di depan masyarakat. “Bubar! Bubar sono! Ngapain pagi-pagi udeh ribut!” sambung Asih.

Dalam hati Melati dan Mustofa berterima kasih pada Asih. Kalau bukan karena Asih, mungkin keributan ini masih akan terus berlanjut.

“Melati! Buruan naik! Apa kamu mau bikin aku telat?!”

Mendengar kata-kata Bambang lagi Melati langsung menuruti perintah Bambang. Dia naik ke motor Bambang dan duduk di belakangnya. Dia berusaha membuat jarak agar tidak menyentuh tubuh Bambang.

Semoga gosipnya nggak nambah lagi, batin Melati ketika Bambang menjalankan motornya.

Tatapan-tatapan tajam mengiringi kepergian Bambang dan Melati yang akan berangkat kerja. Leni juga tidak ketinggalan melemparkan tatapan tajam ke mereka, khususnya Melati. Diam-diam rasa cemburu membakar hatinya. Dia saja belum pernah dibonceng Bambang, eh malah Melati yang diboncengnya. Gadis itu merasa selama ini Bambang menaruh perasaan padanya dan diam-diam dia juga menyukai Bambang.

“Ah, tidak bisa dibiarin,” gumam Leni pelan yang mengintip dari jendela warungnya.

The Dark Jasmine (On going) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن