BAB 13

36 6 14
                                    

Mungkin mulai hari ini, Rian tidak makan malam di rumah. Sebelum berangkat ke lokasi, dia sempat menelpon istrinya kalau dia tidak akan makan di rumah malam ini. Suara istrinya terdengar kecewa di telepon. Pria bertubuh besar itu yakin kalau istrinya pasti sudah masak untuknya. Memang sudah menjadi nasibnya, tiba-tiba dipanggil untuk mengurus orang mati. Suka tidak suka, itulah resiko menjadi Inspektur di Bareskrim Polda, khususnya untuk divisi pembunuhan. Setelah kasus ini selesai, aku pasti akan makan malam di rumah lagi, janji Rian dalam hati.

Rian menatap mayat di ruang makan sederhana itu tanpa ekspresi. Mayat itu terlihat menyedihkan. Dia sangat yakin, orang yang sudah meninggal itu adalah orang yang sangat baik dan taat terhadap agamanya. Hal itu terlihat jelas dari baju koko dan celana panjang lebar yang dipakainya. Sekilas, ini seperti bunuh diri. Tidak ... tidak, sudah pasti kasus ini bukanlah bunuh diri, batin Rian sambil menggelengkan kepalanya. Diliriknya Iqbal yang sudah siap mencatat, kemudian matanya beralih ke pria setengah baya bertubuh tegap itu dan berkata, “Mari kita berbicara di ruang tamu saja, Pak …?”

“Yosep. Nama saya Yosep Sianturi.”

Dari ruang makan, mereka berjalan ke ruang tamu yang terdiri dari tiga buah kursi kayu dan satu meja tamu yang juga terbuat dari kayu. Rian dan Iqbal duduk bersebelahan di kursi yang panjang sedangkan Yosep duduk di kursi dekat pintu.

“Baiklah, Pak Yosep, Anda yang pertama kali menemukannya?” Rian memulai sesi introgasinya.

“Iya,” jawab Yosep singkat.

“Jam berapa tepatnya?”

“Sekitar jam setengah enam lebih sedikit.”

“Anda bekerja di mana?”

“Saya bekerja di BKD.”

“Apa keperluan Anda menemui Pak Mustofa?”

“Saya ingin menanyakan siapa penceramah yang akan menggantikannya.”

“Lalu?”

“Lalu … lalu saya akan membuat undangan untuk pengajian. Posisi saya di sini adalah sebagai sekretaris RT.”

“Oh begitu, Pak Yosep,” Rian menjeda kata-katanya sebentar sebelun lanjut bertanya. “Mengapa Pak Mustofa digantikan?”

Pria berkumis tipis itu diam sebentar. Dia bukan tipe pria yang suka bergosip. Dia lebih baik diam dan mendengarkan, sebisa mungkin tidak ikut campur.

“Saya tadi melihatnya ketika saya memarkir mobil saya.” Yosep menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan Rian, tapi dia justru memberikan informasi lain pada Rian. “Setelah itu saya mandi sebentar, berbicara dengan istri saya sebentar, kemudian ke sini,” lanjut Yosep sebelum Rian membuka mulutnya.

Rian mengurungkan pertanyaannya tentang siapa pengganti Mustofa. Dia yakin orang tua itu tidak akan mengubah pendiriannya. Ini pasti ada hubungannya dengan yang diceritakan Wahyu tadi pagi. Tentang wanita yang bernama Melati, batin Rian.

Rian manggut-manggut dan bertanya lagi dengan wajah datarnya. “Jam berapa Anda sampai rumah?”

“Jam lima, lima lebih lima menit atau sepuluh menit. Saya tidak bisa mengira-ngira persisnya jam berapa.”

“Bagaimana kondisi rumah ini ketika Anda datang?”

“Pertama-tama saya ketuk dan saya panggil Mustofa. Dia tidak muncul-muncul. Saya perhatikan pintunya, pintunya agak terbuka. Kemudian saya masuk, ya … saya masuk sampai ruang makan. Di sana saya temukan Mustofa, sudah meninggal.”

“Bagaimana posisinya, Pak Yosep?”

“Sama seperti yang kalian lihat.”

“Anda sama sekali tidak menyentuhnya?”

The Dark Jasmine (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang