BAB 16

11 3 8
                                    

Wanita setengah baya yang duduk di depannya tampak sendu, mata kelamnya seakan menyimpan beban yang sangat berat.

"Bu Esti," sapa Rian.

"Iya, Pak Rian," sahut Esti.

"Bagaimana pendapat Anda tentang kematian Almarhun Mustofa?"

Mata Esti menatap mata Rian. "Menurut saya, menurut saya  orang sebaik dia tidak layak dibunuh."

"Baiklah, kemarin, Anda di mana?" Rian memutuskan untuk tidak menanyakan jam lagi karena racun itu bisa ditaruh kapan saja.

"Saya  saya kemarin pergi ke kantor pengacara saya."

"Seharian?"

"Tidak juga, saya sambil mampir ke salah satu perusahaan saya." Esti menyebut nama perusahaannya dan Iqbal mencatatnya.

"Ya, saya pernah mendengar Anda memiliki beberapa perusahaan dan hotel warisan dari suami Anda."

"Ya, bisa  bisa dibilang seperti itu. Saya mengawasi kerja para direktur dari rumah, seperti kita punya sawah di kampung, mengawasi saja, setelah itu ada bagi hasil."

Rian mengangguk. "Berarti saya bisa mengecek alibi Anda di perusahaan tersebut?"

"Tentu saja bisa. Lagi pula untuk apa saya membunuh Mustofa. Apa motif saya membunuh orang sebaik itu?"

Kadang-kadang motif seorang pembunuh itu tidak terduga, bahkan orang yang paling tidak dicurigai justru pembunuhnya, batin Rian.

"Bisa saja Anda memiliki motif," ucap Rian datar.

"Apa maksud Anda?" tanya Esti gusar, "Apa Anda mencurigai saya?"

"Ya, untuk saat ini saya mencurigai semua orang."

"Saya tidak bersalah, saya bahkan tidak tahu apa-apa."

Rian tidak berusaha mendebatnya, percuma saja mendebatnya tanpa ada barang bukti. Belum tentu juga wanita yang duduk di depannya bersalah.

"Hari Selasa malam, apa yang Anda lakukan?"

"Selasa malam? Sebentar  saya ingat-ingat lagi," ujar Esti.

Rian dan Iqbal diam sementara menunggu Esti berbicara. Diam-diam Iqbal memandangi tembok ruang kerja sang janda. Melati, batin Iqbal.

"Hari Selasa, Melati pingsan dan kami semua bawa dia ke rumah sakit."

"Melati pingsan?" tanya Rian ingin tahu.
"Iya, dia hamil dan hamilnya nggak sehat," ucap Esti khawatir.

Rian menatap Esti lurus-lurus dan bertanya, "Kenapa Bu Esti mau menampung Melati?"

"Eh!" Esti agak kaget karena tiba-tiba ditanyai seperti itu. "Maksudnya? Maksudnya kenapa tanya seperti itu?"

"Aneh bukan? Anda orang yang terpandang dan Anda mau menampung seseorang yang bisa menjatuhkan reputasi Anda," papar Rian.

"Oh, saya merasa kasihan saja dengan Melati. Dia juga tidak punya tempat tinggal, rumahnya disita."

"Benar hanya karena kasihan?" tanya pria bermata hitam kelam itu memastikan.

"Iya," jawab Esti agak sewot.

"Jangan coba-coba sembunyikan sesuatu dari kami Bu Esti karena cepat atau lambat kami akan mengetahui semuanya."

Esti hanya terdiam mendengar pernyataan itu.

"Kenapa Bu Esti memilih tinggal di kampung?" tanya Rian sambil memperhatikan ekspresi wanita setengah baya itu.

"Pertanyaan apa ini?"

"Saya agak heran, orang-orang seperti Bu Esti biasanya tinggal di kompleks perumahan elit."

The Dark Jasmine (On going) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora