BAB 11

39 7 39
                                    

“Jadi, kamu ngira kalau Satria dibunuh,” kata Rian setelah mendengar cerita Wahyu.

Dia dan Wahyu berasal dari lembaga negara yang berbeda, tapi tugas mereka tetap sama, menyelidiki segala kegiatan kriminal yang ada di masyarakat. Ya, Wahyu berasal dari BIN atau Badan Intelejen Negara. Biasanya, anggota BIN memiliki kemampuan yang sangat bagus dalam menyamar. Mereka bisa menyamar jadi apa saja, bahkan dia pernah menyamar ada intel laki-laki yang menyamar sebagai ibu-ibu tukang gosip demi mengumpulkan informasi. Biasanya, laporan-laporan dari intel ini disamarkan menjadi ‘laporan dari warga’.

“Iya, Pak Rian. Saya curiga kalau Satria dibunuh. Apalagi ketika saya mendengar penuturan adiknya, tentang bau bawang yang sangat kuat. Saya pikir itu arsenik,” tukas Wahyu, “dan saya khawatir akan ada korban selanjutnya.”

Rian menggabungkan kedua telapak tangannya, kemudian menempelkan kedua telunjuknya di keningnya. Dia berpikir sejenak. Mereka berdua sedang duduk di sebuah sofa panjang di salah satu kantor Polda Metro Jaya. Beberapa perwira polisi berlalu lalang di sekitar mereka, ada yang akan berangkat menyelidiki kasus, ada pula yang baru datang ke kantor lalu duduk mempelajari dokumen di meja mereka. Beberapa dari mereka juga tidak menggunakan seragam.

“Selama si pengedar narkoba belum berhasil diungkap, maka nyawa orang-orang yang mengetahuinya akan terancam. Mungkin saja alasannya bukan karena narkoba.”

“Iya, bisa jadi alasan dibunuhnya Satria bukan karena narkoba,” gumam Wahyu sambil mengerutkan keningnya.

“Kamu tadi sekilas cerita tentang Melati, bisa kamu ceritakan tentang dia,” ucap Rian mengalihkan topik pembicaraan.

“Melati … Melati, menurut saya dia itu seperti tokoh dalam sinetron yang terus mendapat cobaan. Yang saya dengar, dia hamil, tapi saya tidak berani berspekulasi siapa yang menghamilinya. Selain itu, dia bekerja di perusahaan yang sama dengan teman saya yang mengontrak bareng dengan saya.”

Rian menyeruput kopi pahitnya yang sudah dingin dan kemudian berkata, “Kau tadi sempat bercerita kalau Melati sempat mengatakan jika kebenaran akan tegak kalau dia dan Mustofa meninggal. Aku jadi curiga ….” Dia menjeda kalimatnya. “Oh iya, di warung Leni, kau bilang teriakan Satria sangat keras.”

“Ya, keras dan menggelegar. Mungkin, orang-orang yang berada di mobil Pak Adam juga mendengarnya.”

“Hmmm … sepertinya kasus ini akan rumit. Aku sebenarnya gatal ingin menyelidiki kasus ini, tapi bagaimana caranya? Adiknya juga belum melapor. Kita tidak bisa membongkar makam Satria begitu saja tanpa seizin adiknya.”

Dalam hati Rian berharap ada pembunuhan di sana agar dia bisa menyelidiki kematian Satria. Ya Tuhan, maafkan aku jika aku mengharapkan satu kematian lagi, batin Rian.

“Ah, ingin sekali aku menyamar sepertimu, Wahyu. Kalau saja saat menyelidiki kasus Herman Adiwijaya wajahku tidak terekpos ke publik.”

Tiba-tiba Rian mendapat ide ketika ajudannya masuk ke ruangan besar itu dengan membawa setumpuk kertas. “Bal, sini!” panggilnya pada polisi muda berkulit kecoklatan itu.

“Iya, Pak.” Sebelum menghampiri Rian, dia menaruh kertas-kertas itu di mejanya yang bersebelahan dengan meja Rian.

“Oh iya, ini Wahyu dari BIN.” Rian memperkenalnya Wahyu pada Iqbal.

“Iqbal Wicaksana,” kata Iqbal sambil mengulurkan tangannya pada Wahyu.

Wahyu berdiri lalu menjabat tangan Iqbal. “Wahyu Hasibuan.”

Setelah Wahyu dan ajudannya berkenalan, Rian menceritakan duduk perkaranya pada ajudannya itu.

“Jadi, Pak Rian menyuruh saya menyamar?” tanya Iqbal setelah mendengar penuturan Rian dan Wahyu.

“Iya, Bal. Biar Wahyu fokus sama si pengedar narkoba. Kamu diem-diem bisa mendekati Astri yang masih lajang itu dan mendekatinya. Lagipula, apa kamu nggak bosan sama pekerjaan administrasi itu. Sesekali menyamarlah supaya kamu tidak bosan,” papar Rian sambil menunjuk kertas-kertas di meja Iqbal. “Ayolah, siapa tahu kamu bisa dapet jodoh sambil menyamar,” goda Rian.

“Sambil menyelam minum air, ya, Pak,” timpal Iqbal sambil menyeringai.

***

Esti memulaskan bedak tipis-tipis ke kulitnya yang sudah mulai keriput. Sejenak, dia seperti melihat Dena yang menua dalam cermin. Ah Dena, kenapa kamu seperti Mama. Bukan hanya wajah, tapi kisahnya juga mirip. Dulu dia juga seperti itu, diam saja ketika suaminya bermain serong dan dia baru berani berbicara ketika nasi sudah menjadi bubur.

Setelah memakai bedak, dia memakai lipstik berwarna nude dan menyisir rambut lurusnya yang mulai beruban. Dirapikan setelan merah marunnya kemudian wanita itu membuka laci meja riasnya dan mengambil draf warisan yang telah dibuatnya. Dia harus segera mengesahkannya.

“Dena!” panggil Esti dari kamarnya.

Dena masuk tergopoh-gopoh ke kamar ibunya. “Iya, Ma.”

“Den, tolong pesankan Mama Taksi Blue Bird, ya!” perintah Esti pada anaknya.

Dena merogoh ponselnya pada saku dasternya. “Alamatnya, Ma?” tanya Dena.

“Kamu cukup pesan aja, Den. Telepon aja kantornya. Nggak usah pake aplikasi.”

“Iya, Ma.”

Dena menuruti perintah ibunya walaupun dalam hatinya dia curiga. Ibunya pasti akan mengurus soal warisan itu. Dia tidak masalah dengan hartanya, menurutnya harta tidak bisa memberinya kebahagiaan. Sejak kecil, dia sudah hidup bergelimang harta dan sekarang yang dibutuhkannya bukan harta. Yang dibutuhkannya sekarang adalah kebahagiaan. Hanya saja, mengapa Melati ada masuk dalam ahli waris? Sepanjang pengetahuannya, ibunya belum pernah membuat surat adopsi.

***

“Rika, di kosanmu ada kamar kosong?” tanya Melati tiba-tiba.

Diam-diam Melati terus kepikiran dengan kejadian tadi pagi. Dia harus segera pindah dari sana. Mungkin saja fitnah yang menyebar akan semakin parah. Apalagi tadi pagi dia berboncengan dengan Bambang dan bisa-bisa Bambang akan terkena getahnya. Dengan pindah dari Jalan Sukamaya, mungkin dia bisa menghindari Arga yang terus-menerus mengejarnya.

“Nanti aku cek lagi ya,” ucap Rika sebelum menyendok makanannya.

“Kalau bisa malem ini juga aku pindah.”

“Melati kenapa? Kok buru-buru banget,” tukas Rika dengan medoknya.

Dia tidak bisa bercerita di sini, di sini terlalu ramai oleh karyawan-karyawan yang sedang makan siang. Bisa-bisa mereka menggosipkannya yang tidak-tidak di pabrik. Dan sebenarnya, dia bingung harus menceritakan masalah ini pada siapa. Dia tidak bisa lagi menceritakan masalahnya pada Mustofa. Bukan masalah Mustofa akan membocorkan rahasianya, akan tetapi tentang fitnah yang sudah terlanjur menyebar.

Sebenarnya dia bisa menceritakan masalahnya pada Bambang. Tadi saat mereka berangkat bersama, Bambang menanyakan tentang masalahnya. Namun, dia hanya menceritakan kalau dirinya hamil. Pria yang saat itu menanyainya saat dia menjalani wawancara kerja itu mungkin bisa salah paham. Di sisi lain, dia yakin staf HRD itu bukanlah tukang gosip. Dia yakin pria itu akan mengkonfirmasi hal itu sampai tuntas sebelum dia menyampaikannya pada orang-orang.

“Pokoknya aku harus cepet-cepet pindah, Rika. Kalau bisa telepon ibu kosmu sekarang. Tanya apa di sana ada kamar kosong,” cecar Melati pada temannya.

The Dark Jasmine (On going) Where stories live. Discover now