BAB 17

11 4 16
                                    

Meskipun ada polisi di sana dan satu anggota BIN, transaksi narkoba di Jalan Sukamaya tetap berjalan lancar. Orang itu mengedarkan narkoba tanpa membuat orang-orang curiga. Sebenarnya sang pengedar begitu jelas dan begitu mudahnya membaur dalam masyarakat. Barang haram tersebut dibungkus dengan sangat rapi sehingga tidak akan ada orang yang akan menyangka di dalamnya terselip narkoba.

Hari masih pagi, dengan santainya dia mengedarkan narkoba tanpa takut kedoknya terbongkar. Dengan mudahnya, barang haram itu didistribusikan dan merusak tubuh para pemakainya.
***

"Sepertinya kasus ini akan rumit, Bal. Ibaratnya nggak punya barang bukti. Walaupun ada bukti racun, rasanya sulit banget untuk mencari siapa pelakunya," gumam Rian sambil berjalan menuju kontrakan Wahyu dan Bambang.

"Bisa dibilang, kita seperti mengejar mahluk tak kasat mata, ya, Pak."

"Iya, Bal," sanggah Rian mengiyakan. "Rasanya aku seperti Hercule Poirot*. Mendengarkan keterangan dari orang-orang dan berpikir menggunakan sel-sel kelabu. Apalagi sekarang, segala sesuatu bisa dibeli online ternasuk racun."

Mereka tidak memerlukan waktu lama untuk sampai ke sana karena mereka hanya tinggal menyebrang saja dari rumah Esti.

Kedua pemuda yang berada di rumah itu tampaknya belum siap dengan kedatangan Rian dan Iqbal.

"Eh ada tamu," sambut Wahyu seakan-akan tidak mengenali Rian dan Iqbal saat dia membuka pintu. Pemuda berperut buncit itu masih mengenakan kaos singlet berwarna biru tua dengan celana pendek selutut.

Bambang yang beralis tebal itu juga terlihat sangat ramah. "Mari masuk, maaf berantakan rumahnya," ucap Bambang ramah pada kedua perwira itu. Bambang terlihat santai juga, bedanya, dia mengenakan kaus hitam berlengan pendek bergambar band lawas tahun 90-an.

Mata Iqbal sebenarnya cukup terganggu melihat pemandangan di ruang tamu yang merangkap sebagai ruang santai itu. Di depan meja tamu sederhana itu, matanya lansung tertuju pada TV berukuran 24 inchi. Charger HP atau apalah itu tergeletak begitu saja di samping televisi. Beberapa buku dan majalah berserakan di lantai di antara meja tamu dan meja TV. Dia juga bisa melihat sarung berwarna cokelat, meskipun terlipat rapi, tapi benda itu tergetak di kursi tamu yang berada di sisi kiri meja. Di meja yang terbuat dari kayu kualitas rendah itu saja masih ada dua gelas bekas kopi dan piring berisi gorengan yang tinggal dua. Rasanya ruangan ini butuh sentuhan tangan seorang wanita.
Wahyu dan Bambang cepat-cepat membereskan ruangan itu. Wahyu membawa barang pecah belah itu ke dapur sedangkan Bambang membawa buku-buku dan majalah ke kamarnya yang terletak di dekat pintu masuk. Wahyu muncul lagi ke ruang tamu dan mengambil sarung yang ada di kursi, masuk ke kamarnya yang terletak di sebelah kamar Bambang, kemudian keluar lagi menggunakan kaus pendek berwana abu-abu. Dia duduk di sebelah Bambang.

"Baiklah, Saudara Bambang dan Saudara Wahyu. Saya Rian dan ini ajudan saya, Iqbal." Rian memperkenalkan dirinya dan ajudannya pada kedua pemuda itu.

"Ini ada kaitan sama meninggalnya Ustad Mustofa," tebak Bambang hati-hati.

Rian mengangguk dan berkata, "Kami boleh mewawancarai kalian secara terpisah?"

"Tentu saja," ucap Wahyu. Dia paham apa maksud Rian. Rian dan Iqbal bisa saja mengintrogasi dirinya dan Bambang bersamaan.

"Mulai dari siapa dulu, Pak Rian?" tanya Bambang.

"Dari Anda dulu juga boleh," jawab Rian.

Wahyu bangkit dari duduknya dan berkata, "Giliran saya nanti, ya. Saya bisa bikin bakso dulu."

"Anda sudah lama tinggal di sini?"

"Lumayan lama, Pak sudah lima tahun sejak saya pertama kali bekerja di Jakarta. Saya ngontrak di sini karena cukup dekat dan Pak RT yang punya kontrakan juga orangnya enak, Pak."

The Dark Jasmine (On going) Where stories live. Discover now