BAB 9

43 10 32
                                    

Mentari masih belum terbit, namun Leni sudah disibukan dengan seabrek aktivitas di dapur. Tangannya dengan lihai memotong motong sayuran, daging, dan bahan-bahan lainnya lalu mengolahnya menjadi berbagai macam masakan. Ya, dia melakukan semua itu sorang diri. Orang tuanya? Jangan pernah tanyakan itu padanya. Dulu dia adalah anak yang dibesarkan di panti asuhan dan dia tidak pernah tahu cerita tentang orang tuanya. Suatu hari, ada seorang kakek yang mengadopsinya. Kala itu dia baru saja memakai seragam putih biru. Sang kakek meninggal lima tahun yang lalu, tepatnya saat dia berusia dua puluh tahun. Wajar jika sang kakek meninggal, waktu mengadopsinya saja usia sang kakek sudah 65 tahun.

Warung dan rumah ini diwarisi dari sang kakek. Dia bersyukur karena dia masih mempunyai tempat berteduh sekaligus tempat usaha. Ada yang bertanya mengapa dia tidak menyewa asisten? Jawabannya mudah, karena dia takut tidak bisa membayar si asisten.

Jika ditanya bosan atau tidak, tentu saja dia bosan. Dia ingin sekali bisa bersantai sehari saja. Dia libur jika dia sakit. Selebihnya, setiap hari dia harus bekerja seorang diri. Bersyukur dia mempunyai seorang tetangga yang baik, yang mau meminjaminya uang.

Tok … tok … tok ….

Siapa? tanya Leni dalam hati. Ini masih terlalu pagi. Leni meletakan pisaunya lalu berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Ternyata yang datang adalah Mustofa.

“Assalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh,” ucap Mustofa ketika pintu warung dibuka.

“Waalaikum salam,” balas Leni. “Kenapa Pak Ustad dateng pagi-pagi?” tanya Leni tanpa basa-basi.

Mustofa yang masih berdiri di ambang pintu warung Leni memikirkan sejenak apa yang ingin dikatakannya. Dia takut menyinggung perasaan Leni tapi mau tidak mau hal itu harus dia utarakan. “Sebelumnya saya minta maaf, Dik Leni ….”

Leni merasa hal buruklah yang akan diucapkan oleh pria yang berdiri di depannya. Ditatapnya pria itu dengan penuh selidik.

“Kenapa Pak Ustad harus minta maaf?” tanya Leni.

Mustofa membuka mulutnya lalu menutupnya kembali. Namun, pada akhirnya pria itu mengatakannya juga. “Saya ingin Dik Leni menutup warung Dik Leni ….”

“Eh, yang benar saja, Pak Ustad!” potong Leni sambil memandangi pria berdada bidang itu.

“Iya, saya serius. Nanti setiap hari saya akan memborong makanan dari warung Dik Leni dan akan saya sumbangkan untuk panti asuhan atau panti jompo. Saya meminta ini kepada Dik Leni karena supaya fitnah tidak menyebar semakin parah. Kasihan Dik Melati. Mungkin saya tidak bisa menghentikan finah yang telah menyebar tapi setidaknya kita berusaha.”

“Ya sudah, terserah Pak Ustad saja. Yang penting jangan lupa bayar,” sahut Leni judes.

“Iya, Dik Leni.”

***

Pagi masih belum subuh dan dari warung Leni, Mustofa memutuskan untuk berjalan-jalan. Dia berjalan-jalan sambil berpikir tentang Satria. Apa maksud Satria? Dia tidak mengerti apa maksudnya? Walaupun di sini dia dikenal sebagai seorang ustad, tetap saja dia adalah seorang manusia biasa yang bisa sakit hati. Ya, dia sejujurnya sakit hati dengan fitnah yang menyebar. Namun, dia berusaha ikhlas dan memaafkan siapapun yang menyebarkan fitnah itu.

Itu salahnya mengapa fitnah itu bisa menyebar. Harusnya dia menanyakan langsung apa maksud Satria. Ya, dia harusnya menanyakannya. Kini nasi sudah menjadi bubur. Yang terpenting sekarang dia harus mengatasinya.

Di ujung jalan, dia melihat dua orang, laki-laki dan perempuan. Mereka terlihat mencurigakan. Mereka terlihat berbisik-bisik. Apa yang mereka rahasiakan sehingga mereka harus berbisik? Tunggu, sepertinya dia mengenalnya. Eh, apa ini? tanya Mustofa dalam hati.

Dia ingin menegur mereka, akan tetapi, mereka sudah pergi. Si wanita belok kiri, sedangkan si laki-laki berjalan lurus masuk ke jalan di depan jalan Sukamaya.

***

Seusai sholat subuh, Mustofa mengetuk pintu rumah Sunaryo. Si tuan rumah membuka pintu itu sambil mengucek matanya tanda dia baru bangun tidur.

“Eh, elo Mustofa … ngapain pagi-pagi gini,” ucap Sunaryo di tengah kantuknya.

Sunaryo mempersilakan tamunya duduk di ruang tamunya yang cukup mewah. Tangannya menyuruh Mustofa duduk di sofa merah itu sebelum dirinya duduk.

“Ngape lo pagi-pagi ke mari?” tanya Sunaryo.

“Begini Pak RT, bagaimana kalau … kalau pengajiannya yang ngisi jangan saya.”

“Eh, kenape?” tanya Sunaryo sambil menguap. Sepertinya dia lupa akan gossip yang menyebar di kampungnya.

“Begini Pak RT, soalnya fitnah tentang saya sudah menyebar luas. Sebenernya saya sendiri nggak masalah, tapi saya kasihan sama Dik Melati.”

“Oh, soal itu. Ya udeh, lo nggak jadi ngisi nggak ape-ape, asalkan elo cari penggantinya ye. Sayang bini gue udah pesen makanan dan gue juga udeh pesen tenda,” ucap Sunaryo sambil menguap.

Mustofa hanya menggeleng melihat tingkah Sunaryo. Dia ingin menegur ketua RT-nya tapi dia menahannya karena dia tahu pria tersebut tidak bisa ditegur.

“Iya, Pak RT. Saya akan segera cari penggantinya.”

***

“Mas Adam, Mas Adam serius mau ngelamar aku tanpa ceraikan istrimu dulu?!” tanya Nia penuh emosi.

“Nia, jangan pernah suruh aku untuk menceraikan Dena. Lagipula, aku mampu menafkahi kamu maupun Dena dengan adil. Tenang aja, sayang,” kata Adam dengan menggoda.

Tubuh Nia bergetar mendengar perkataan Adam. Dia memang ingin dilamar oleh Adam, akan tetapi dia tidak mau dimadu. Dia tidak mau menjadi istri kedua.

“Terus pas itu kamu ke mana? Hah! Kamu ke mana? Bukannya hari itu kita udah janjian untuk pergi! Aku liat mobilmu lewat dari warung Mbak Leni,” cecar Nia pada pria yang duduk di ruang tamu kontrakannya.

“Aku pas itu nganterin Melati ke rumah sakit atas permintaan mama dan Dena.”

Janda muda itu bangkit dari duduknya lalu mondar-mandir di ruang tamunya yang sempit.

“Kamu nggak hamilin Melati, kan?” tanya Nia tiba-tiba.

Adam mendongakkan kepalanya. Dia kelihatan marah. Matanya membesar dan napasnya berubah menjadi cepat. “Astaga! Bicara apa kamu?! Selama kita jalan, apa aku pernah menggauli kamu! Belum pernah, kan?! Paling jauh kita cuma karaokean sampai pagi. Selama kita di hotel, kita cuma ngobrol aja!”

“Kamu kok sewot, padahal aku cuma nanya aja,” ucap Nia gusar.

“Udahlah, aku berangkat kerja dulu!” pamit Adam dengan penuh amarah.

***

Pagi itu, Arga berniat untuk menemui Melati lagi. Dia harus menemuinya, dia harus mendapatkan Melati kembali apa pun resikonya. Setelah mendapatkan Melati kembali, dia akan berusaha membersihkan nama Melati. Namun, ketika dia melewati rumah Mustofa, dia melihat Melati sedang duduk di sana.

Hati Arga geram melihatnya. Apa Melati kini ingin menjadi istri ustad? Ah, tidak bisa … tidak bisa. Dia tidak rela. Melati harus menjadi miliknya … Dia tidak rela Melati menjadi milik duda yang sudah lama bercerai dengan istrinya itu.

The Dark Jasmine (On going) Where stories live. Discover now