BAB 3

70 15 82
                                    

Dena mondar-mandir di kamarnya. Dia tidak bisa tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 02.40. Wanita yang memiliki wajah lembut tapi sendu itu mengingat-ingat mengapa dia bisa menikah dengan Adam 8 tahun yang lalu. Tentu saja dia bisa menikahinya. Ketika itu dia memang mencintainya. Adam adalah kakak kelasnya selama dia kuliah. Prestasi pria itu cemerlang walaupun dia terkenal sebagai playboy di kampusnya. Mereka berpacaran ketika kuliah. Saat mereka berpacaran, Adam kerap kali menyelingkuhinya. Akan tetapi, Adam selalu kembali ke sisinya. Setelah pria itu wisuda, dengan mudahnya Adam diterima bekerja di perusahaan asing dengan posisi yang cukup bagus. Adam melamarnya setelah dirinya wisuda. Dia tetap menikah dengan Adam walaupun ibunya tidak setuju.

Setahun, dua tahun pernikahan mereka, mereka sangat bahagia. Ketika itu dia begitu mencintai dan memuja Adam. Adam melarangnya bekerja dan suaminya sering memanjakannya. Lambat laun masalah momongan menjadi masalah. Suaminya memintanya memeriksakan diri bersama. Hasilnya sungguh membuat hatinya hancur. Dia mandul dan suaminya normal. Sejak saat itu, hubungannya dengan suaminya merenggang. Suaminya mulai selingkuh lagi. Pernah dia mengajukan cerai karena tidak tahan. Namun, Adam menolaknya dengan berkata, "Suatu hari, aku akan kembali lagi ke kamu dan akan terus setia di sisimu".

Sejujurnya Dena sedih, dia istri Adam, tapi hanya dibutuhkan ketika suaminya membutuhkannya. Dia seperti boneka yang menurut saja dengan kata-kata suaminya. Mungkin lebih baik dia bersabar. Hingga kini, suaminya memang masih menafkahinya. Harusnya dia bersyukur suaminya masih menafkahinya. Akan tetapi tak lebih dari itu. Suaminya tidak pernah mau mendengarkan keluh kesahnya.

Dia bersyukur saat ibunya memintanya untuk tinggal bersamanya. Enam bulan yang lalu, Dena diminta pindah karena asma ibunya yang sering kambuh. Awalnya Adam tidak setuju karena dia merasa gengsi. Suaminya itu merasa masih bisa menafkahinya. Namun, pada akhirnya Adam setuju karena rumah ibunya jauh lebih dekat dari kantornya. Dengan tinggal bersama ibunya, dia merasa tidak sendirian lagi di rumah.

Dena yang mengenakan gaun tidur tipis berwarna pink itu terus mondar-mandir di kamarnya yang cukup luas. Sejujurnya mala mini, hatinya remuk. Dia tahu malam ini suaminya menemui janda kembang yang dua bulan lalu pindah ke kampungnya. Usia si janda jauh lebih muda darinya. Bodohnya, dia masih mencintai suaminya.

'Ceklek!'

Dia tahu kalau suaminyalah yang masuk, namun dia mengabaikannya. Sebaliknya, suaminya juga mengabaikannya. Dia justru berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuh langsingnya. Suaminya tak lama kemudian tidur di sampingnya setelah mengganti bajunya dengan piyama. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Hatinya berdesir ketika suaminya ada di sisinya. Dia memiringkan tubuhnya dan menatap wajah pria tidur terlentang itu. Sejujurnya, dia senang melihat wajah suaminya yang tertidur. Wajah itu terlihat damai.

***

Nia menatap wajahnya di cermin. Dia baru saja selesai membersihkan make-up yang menempel di wajahnya. Ditatapnya wajahnya di cermin, dia merasa dirinya cukup cantik walaupun tanpa make-up. Dahinya yang cukup lebar dia tutupi dengan poni. Pipinya yang cukup tembam dihiasi oleh hidung mancung. Rambut panjangnya dikeriting dan dicat pirang. Kulit pucatnya cocok dengan warna rambutnya sekarang. Lensa kontak berwarna biru yang belum dilepasnya membuatnya terlihat seperti bule.

Kini, di usianya yang keduapuluh dua, dia sudah menjadi janda. Harun-suaminya meninggal karena kecelakaan tunggal ketika dia berangkat kerja lima bulan yang lalu. Sebelum pindah ke Jalan Sukamaya, dia tinggal bersama mertuanya. Akan tetapi lama-lama dia tidak nyaman tinggal dengan mertuanya sendirian, sedangkan kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Dia tidak tahan tatapan sinis mertuanya akan penampilannya dan profesinya sebagai pemandu lagu di salah satu tempat karaoke di Jakarta.

Baru dua bulan tinggal di sini, dia sudah bisa menggaet pria mapan. Walaupun pria itu telah beristri, tapi dia senang karena ada pria yang mengisi kesendiriannya. Sekarang, dia belum mencintai pria itu. Untuk selanjutnya siapa tahu ....

***

Mustofa bangun seperti biasanya, jam 3 pagi. Pria itu memulai harinya dengan berwudhu. Dia melaksanakan sholat malam di rumahnya dilanjutkan dengan dzikir, mendoakan kedua orangtuanya yang telah tiada, lalu membaca Al-Quran hingga menjelang subuh. Suara baritonnya dengan merdunya membaca ayat-ayat dari kitab yang diturunkan Nabi Muhammad itu. Saat fajar mulai menyingsing, dia segera menuju ke masjid yang ada di sebelah rumahnya.

Dia agak kaget melihat Melati ada di depan pintu rumahnya.

"Assalamualaikum."

"Wa'aikumussalam warohmatullah. Ada apa Dik Melati?"

"Anu, Pak Ustad, ada yang mau saya bicarakan sama Pak Ustad."

"Kapan?" tanya pria yang berusia akhir tiga puluh itu.

"Sekarang bisa, Pak?"

"Bisa, tapi saya nggak bisa lama-lama karena saya harus siap-siap buat azan subuh."

Wajah Melati terlihat gelisah. Selama beberapa detik dia terdiam dan berpikir. "Kalau begitu, nanti saja bagaimana, Pak?"

"Ya, terserah Dik Melati."

"Kalau begitu saya pamit dulu, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warohmatullah."

Dia melihat Melati berlalu dan berjalan menuju rumah Esti. Dia merapikan sarungnya sebentar kemudian berjalan menuju masjid.

***

"Duh, gimana ini?" keluh Melati pada dirinya sendiri.

Dengan susah payah dikancingkannya kemeja yang sedang dipakainya. Seragam kerjanya mulai sempit. Akan tetapi tidak bisa. Tubuhnya memang kurus, tapi perutnya sudah mulai membuncit. Bagaimana ini? Bagaimana jika orang-orang melihat tubuhnya yang membuncit? Bagaimana tanggapan Arga dan orang tuanya? Dia memang belum menceritakan apa-apa pada Arga.

Dia melepaskan kemeja yang ada logo perusahaan tempatnya berkerja itu dengan kasar. Dia menggigit bibirnya dengan bingung. Apa yang harus dia pakai? Dia mengobrak-abrik lemarinya.

"Arrgghh!!" Tanpa sadar dia mulai mengerang keras. Tangis mulai berderai di pipinya.

Dia terus mengaduk-aduk baju yang ada di lemari cokelat itu dengan putus asa. Dia tidak bisa pergi bekerja tanpa menggunakan seragam itu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.

"Mel, kenapa?" Terdengar suara alto Dena bertanya padanya dari balik pintu.

Dia menyeka air matanya lalu memilih blus biru yang agak longgar dengan rok plisket hitam dan segera memakainya. Dibukanya pintu kamarnya.

"Kenapa, Mel? Kamu habis nangis?"

"Gak papa, Mba," elak Melati.

"Kalau ada apa-apa cerita aja, ya. Jangan sungkan-sungkan, anggap aku dan ibu kaya keluargamu sendiri."

"Iya, Mba."

"Eh, sebelum kamu berangkat kerja, sarapan dulu, ya. Aku tadi masak sop ayam."

"Iya, Mba," ulang Melati. "Sebentar lagi aku turun."

"Ya udah, aku tunggu ya di meja makan."

"Iya, Mba," ulang Melati untuk yang ketiga kalinya pada wanita berambut sepundak itu.

Melati menutup pintu kamarnya setelah Dena berlalu. Dia menjatuhkan dirinya ke kasur dengan putus asa. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggugurkan kandunganku?

Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di tempat tidur, lalu mengirimkan pesan pada Arga. Setelah itu, dia mengambil jaketnya yang longgar, memakainya, dan menuju meja makan.

The Dark Jasmine (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang