BAB 8

58 12 68
                                    

Awan mendung menghiasi malam. Beberapa warga di jalan Sukamaya masih berada di luar. Ada yang makan, ada yang pacaran, dan ada juga yang sedang main bola di lapangan seperti Arga dan Bambang. Arga menggiring bola dengan kedua kakinya. Bambang mengejar Arga seperti tidak ada niat main bola.

"Ga, itu gossip bener? Melati hamil?"

Arga terus menggiring bolanya tanpa arah. "Tanya sendiri langsung sama orangnya!" jawab Arga ketus.

"Kamu kenapa, Ga? Nggak biasanya gini," sahut Bambang sambil berlari di belakang Arga.

"Kamu kan temen kerjanya!"

"Iya, aku rekan kerjanya, tapi kamu kan pacarnya. Aku nggak enak nanya langsung ke Melati."

Kaki lincah Arga terus menggiring bola. Sejenak tampak pria dua puluh enam tahun itu sedang meluapkan emosinya dengan cara bermain bola. Kalau ditonton, Arga-lah yang bermain bola sedangkan Bambang hanya berlari.

"Aku kira kamu naksir sama Leni! Kenapa nanya-nanya soal Melati ke aku?!"

Bambang memutar bola matanya. Biasanya Arga ramah dan senang jika membicarakan Melati. "Ga, kamu nggak ada masalah, kan sama Melati?" tanya Bambang was-was.

"Bukan urusan kamu, Mas Bambang!" teriak Arga, "lagian kenapa si, peduli banget sama Melati?" Kakinya masih terus menggiring bola sedangkan Bambang sudah berhenti mengejarnya. Ditendangnya bola itu dengan kasar dari tengah lapangan dan bola masuk dengan mulusnya ke gawang.

Bambang mencoba sabar menghadapi Arga seperti dia sedang menghadapi anak kecil yang sedang merajuk. "Arga, denger, aku ini mau nggak mau bertanggung jawab sama sesama rekan kerjaku dan perusahaan. Kalau gossip-gosip nggak jelas nyebar di perusahaan, citra perusahaan bisa jelek, Ga, walaupun cuma karyawannya." Bambang berusaha memberi penjelasan.

***

Marta bolak-balik seperti setrikaan di ruang tamu sedangkan suaminya hanya diam saja membaca koran. Mereka sudah dengar gossip tentang Melati dan sepertinya Melati memutuskan Arga, tetapi Arga masih berkeinginan untuk menikahi Melati.

"Pak, ini gimana? Kok jadi gini ya. Melati hamil, udah 4 bulan katanya. Duh, ini nggak mungkin anak kita nikah sama Melati. Kasihan si, tapi gimana? Ibu si setuju-setuju aja Melati sama Arga. Tapi ibu mikir Melati. Kalau saja Arga bisa bertanggung jawab, maksud ibu itu bertanggung jawab untuk menghidupi Melati. Anak kita aja buat bensin saja masih minta. Anaknya Melati lahir sekitar lima bulan lagi. Sukur-sukur kalau Arga udah punya penghasilan sendiri. Kalau belum, kasihan Melati, kan, Pak? Kalau misalnya anaknya Melati lahirnya prematur? Berarti Arga dari sekarang harus udah punya penghasilan. Aduh, ke mana ya anak itu sekarang. Kadang kelakuannya masih kaya bocah. Ibu kadang-kadang bingung gimana mau ngebilangin si Arga. Dibentak salah karena dia udah dewasa, dicereweti juga enggak mempan."

"Iya, Bu," kata Yosep singkat sambil membalik halaman korannya.

"Ibu sebenarnya lebih kasihan ke Arga kalau udah nikah sama Melati. Kita kan gak bisa terus-terusan kasih uang ke Arga. Biarin Arga mandiri. Kasihan Arga kalau dia belum kerja atau belum punya penghasilan. Belum lagi kalau ada omongan tetangga yang usil. Ya gimana? Kita hidup di kampung di mana orang-orangnya suka nggosip. Ibu takutnya Arga nggak kuat mental denger kata-kata tetangga. Kalau Melati sama Arga setuju mau nikah, kita mungkin adain diam-diam, jangan sampai ada yang tau terus kita suruh mereka pergi jauh dari sini. Tapi kayaknya Melati yang nggak setuju. Kalau ibu jadi Melati, ibu juga enggak mau nikah sama Arga kalau Arga belum punya penghasilan. Laki-laki itu harus bertanggung jawab sama keluarganya. Iya, nggak, Pak?"

"Iya, Bu," jawab pria berkumis tipis berusia 57 tahun itu.

Tiba-tiba pintu ruang tamu terbuka dan Arga masuk sambil membawa bolanya. Marta memandangi anaknya dengan sebal dan berkata, "Arga sini dulu, kita rapat dulu ... kamu ini gimana sama Melati? Hubungan kalian sekarang gimana? Mau serius nikahin Melati? Kalau serius, kapan kamu cari uang?" Sepertinya ini adalah dialog terpendek yang penah diucapkan Marta. Suara cemprengnya memberikan banyak pertanyaan untuk anak semata wayangnya.

"Iya, Bu. pokoknya aku harus nikah sama Melati."

"Terus mana usaha kamu? Harusnya kalau kamu serius, mulai cari uang sana! Jangan malah malam-malam main bola. Mulai usaha? Anak-istrimu mau makan apa? Kamu juga harus mulai mikir biaya persalinan yang nggak murah. Intinya kamu itu harus cari nafkah. Besok, kalau ibu liat kamu santai-santai di rumah! Ibu akan paksa kamu untuk jahit. Eh ... kamu mau jahit baju juga nggak papa. Sekarang juga banyak penjahit cowok. Desainer baju juga banyak yang cowok. Jangan gengsi sama ijazahmu. Intinya kamu harus cari uang demi anak-istrimu. Mau jungkir-jempalit cari uangnya nggak masalah asal bukan hasil mencuri, begal, rampok, pokoknya pekerjaan-pekerjaan yang haram harus kamu hindari. Lagipula belum tentu setelah melahirkan Melati sehat dan bisa cari uang. Sekarang, kamu nikah enggaknya sama Melati juga tergantung kamu. Kalau kamunya nggak kerja atau nggak punya penghasilan, mana mau Melati nikah sama kamu. Ngerti, Ga?"

***

"Astri, malam ini aku temenin kamu, ya."

Gadis itu menoleh pada Dena. Wanita itu sungguh baik. "Iya, Mba. Makasih"

Dia masih terpukul dengan kematian kakaknya yang tiba-tiba. Dia tidak membayangkan mengapa kakaknya bisa meninggal secepat itu. Andai saja dia tidak pergi ... andai saja dia tidak pernah pergi dari rumah. Mungkin kakaknya sekarang masih hidup. Air mata mengalir di pipinya, dia masih tidak terima kakaknya meninggal.

"Mba Dena, Mba Dena pernah tau nggak kenapa ada mayat yang bau bawang, maksudku bau bawang putih," kata Astri pada Dena tiba-tiba.

"Eh, maksudnya?"

"Tadi pagi, pas aku nemukan mayat Bang Satria, bau bawang nyengat banget di mulutnya. Apa iya kakakku meninggal karena kebanyakan makan bawang?"

"Eh," hanya itu yang terucap dari bibir Dena. Dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi pertanyaan tetangganya itu.

"Ini baksonya Neng Astri," kata Wahyu yang tiba-tiba muncul di ruang tamu rumah Astri. Ruang tamu sederhana dengan catnya yang berwarna putih tulang dipadu dengan korden berwarna biru.

"Eh, saya nggak pesan bakso Bang Wahyu," balas Astri.

"Ini Neng, gak papa, gratis. Soalnya saya perhatiin dari tadi kayaknya Neng Astri belum makan ...."

"Iya, Astri. Makan, jangan sampe sakit. Mau aku temenin makannya?"

Astri mengangkat wajahnya, matanya bergantian memandangi Wahyu dan Dena. Dia memang belum makan seharian tapi, dia tidak merasa lapar. Nafsu makannya hilang.

"Astri kamu harus makan. Mau aku suapin?" tanya Dena pada Astri.

Sontak gadis itu menggeleng. "Ja ... jangan, Mba."

"Ya udah, dimakan mumpung masih anget. Wahyu, aku pesen satu ya."

"Siap, Mba Dena," kata Wahyu.

Wahyu keluar dari ruang tamu menuju ke gerobaknya dan membuat bakso pesanan Dena. Diam-diam otaknya memikirkan dengan kata-kata Astri yang tidak sengaja didengarnya. Bawang putih? Jangan-jangan Satria? Harusnya dia melindungi Satria. Kemarin malam dia menanyakan apa maksud ucapan Satria pada saat di warung Leni. Kemarin malam dia mendesak Satria untuk mengatakan siapa yang dimaksud Satria? Wahyu bahkan sudah membongkar identitasnya pada Satria kalau Wahyu sebenarnya adalah intel yang ditugaskan untuk memata-matai kasus narkoba di Jalan Sukamaya. Apakah yang dimaksud Satria adalah tentang pengedar narkoba? Pasti itu, pasti Satria dibunuh karena sang pengedar narkoba merasa terusik. Tapi bagaimana caranya dia memberi tahu warga? Dia mengesampingkan gosip tentang Melati dan Mustofa. Dia sendiri belum sebulan tinggal di sana. Dia tidak boleh membongkar penyamarannya sebelum kasus narkoba ini terungkap.

Dia cepat-cepat menyelesaikan bakso untuk Dena dan cepat-cepat mengantarkannya ke Dena. Dia harus menghubungi seseorang.

The Dark Jasmine (On going) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن