BAB 5

56 14 37
                                    

“Eh, itu bukannya Melati,” ucap Asih saat rambut panjangnya sedang diolesi krim. Wanita itu dengan cermat memandangi Melati yang sedang berjalan melalui pantulan cermin.
Astri mengabaikan ucapan Asih, kedua tangannya dengan cekatan mengolesi krim dan memijat kepala wanita yang dipanggil Bu RT itu.

“Kayaknye Melati keliatan gemukan, ye?”

“Saya kira dia masih keliatan kurus, Bu RT.”

“Bajunye yang dipake sekarang aje kayaknya kedodoran. Biasanya juga Melati kalau pake baju ketat. Kok jadi curiga. Iya … sebelah situ … kepala aye pusing … ya … lebih keras lagi.” Mata Asih kemudian terpejam menikmati pijatan Astri.

Astri memijat kepala Asih sambil melamun. Pikirannya mundur ke masa-masa kakaknya masih normal. Saat itu kakaknya adalah kakak terbaik yang dia miliki. Sebenarnya apa yang membuat kakaknya menjadi pemabuk seperti itu? Sebagai adik, kadang Astri merasa orang tuanya berlebihan terhadap kakaknya. Ayahnya yang merupakan pensiunan Pertamina itu selalu menuntut agar kakaknya jauh lebih baik dari orang tuanya. Apapun yang dilakukan kakaknya selalu salah di mata ayahnya. Ibunya hanya mendukung ayahnya tanpa mempertimbangkan perasaan kakaknya. Saat SMA dan di perguruan tinggi, kakaknya memilih jurusan yang tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya. Setiap hari kakaknya disalahkan.

Puncaknya pada saat Astri kuliah. Mungkin saat itu emosi kakaknya benar-benar memuncak. Astri memutuskan pergi ke Malaysia menjadi TKI. Dia bukan marah karena kakaknya yang menyuruhnya keluar dari bangku kuliah. Dia tidak tahan lagi melihat kakaknya disalahkan makanya dia memilih untuk pergi. Harusnya dia tidak pergi. Harusnya dia berada di sisi kakaknya. Mungkin jika dia selalu berada di sisi kakaknya, kakaknya tidak akan mabuk-mabukan seperti ini.

Astri telah selesai memijat dan meninggalkan Asih sebentar untuk melihat kakaknya yang masih tidur.

***

Leni dengan takut-takut menatap wanita setengah baya itu. Kini, dia sedang duduk di ruang tamu bernuansa pastel. Meja kotak berwarna krem dengan sofa mewah berwarna senada dengan lampu hias  berbentuk bunga di atasnya. Leni merasa tidak pantas duduk di sana.

“Maaf, Bu Esti. Maksud kedatangan saya ke sini adalah … saya … saya mau pinjam uang lagi?”

“Berapa?” tanya Esti tanpa basa basi.

“Maaf, Bu sebelumnya. Utang saya yang sebelumnya masih belum lunas tapi saya pinjam uang lagi. Saya mau pinjam uang untuk mbenerin atap rumah dan warung yang bocor. Mungkin semuanya sekitar lima ratus ribu, Bu.”

“Gak papa, Len. Lagipula saya tidak menganggap kamu berutang ke saya. Lima ratus ribu, nggak kurang?”

“Tapi saya ngerasa nggak enak, Bu  Esti. Nanti saya kembalikan uangnya kalau saya ada rejeki. Enggak kurang, Bu segitu."

“Dena!” panggil Esti.

“Iya, Ma.” Dena datang memenuhi panggilan ibunya. Di tanganya ada nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sekaleng biskuit untuk tamunya. Si anak menaruh teh di depan Leni dan ibunya, sedangkan biskuitnya ditaruh di tengah-tengah meja. Sekilas Esti dan Dena terlihat seperti kakak adik.

“Ayo diminum,” kata Dena pada Leni.

“Eh, iya Mbak Dena.” Dengan malu-malu Leni mengambil cangkir berwarna putih hijau itu dan menyeruput teh tersebut. “Makasih Mbak Dena, tehnya enak banget.”

“Itu teh yang dipetik khusus dari kebun kami di Bandung. Oh iya Den, itu tolong ambilin amplop di laci meja rias Mama,” kata Esti.

“Iya, Ma.”

Dena meninggalkan ruang tamu, di dekat tangga Dena bertemu dengan Melati yang masuk lewat pintu samping.

“Loh, udah pulang Mel?” tanya Dena heran.

“Eh iya, Mba. Aku lagi nggak enak badan.” Melati mendahului Dena naik tangga dan Dena mengikutinya di belakangnya.
Dena masuk ke kamar ibunya yang berada di samping kamarnya. Dia membuka laci meja rias yang dimaksud ibunya akan tetapi, mata Dena terpaku pada draf surat wasiat yang dibuat ibunya. Kertas itu tergeletak begitu saja di atas meja. Dena cepat-cepat membacanya kemudian mengembalikannya seperti semula. Dia mengambil amplop dari meja rias itu kemudian turun kembali ke ruang tamu.

***

Arga masuk rumah dengan marah. Dia marah sekali pada Melati. Mengapa Melati memutuskannya? Apa karena dia seorang pengangguran. Dia melepas jaketnya dan melemparkannya dengan kesal ke kasur. Ditendangnya tempat tidurnya dengan kakinya.

“Argggh!” teriaknya.

Untung ibunya sedang membeli kain di pasar. Kalau tidak bisa-bisa dia diceramahi ibunya karena berteriak seperti itu.
Dia menghempaskan tubuh kurusnya ke tempat tidur. Mengapa dia bisa berpacaran dengan Melati? Semuanya berasal dari hubungan antar tetangga. Mereka adalah teman sepermainan walaupun Arga lebih tua 3 tahun. Hidup Melati yang gembira berubah menjadi kesedihan ketikan ibunya meninggal. Ya, Arga selalu menjadi teman dekat Melati hingga akhirnya rasa cintanya pada Melati tumbuh. Dia menyatakan cintanya ketika dia kuliah. Cinta itu bersambut. Tapi … sekarang, beraninya Melati memutuskannya. Dia tidak rela Melati memutuskannya.

Bagaimana bisa perempuan itu memperlakukannya seperti ini? Bagaimana bisa? Dia sudah terlanjur cinta pada Melati. Dia akan terus mengejar Melati. Ya, dia harus mendapatkan Melati lagi.

Ya, dia bertekad akan mengejar Melati. Namun, bila Melati terus menolaknya. Tidak bisa … tidak bisa! Bila dia tidak bisa mendapatkan perempuan itu lagi, maka perempuan itu harus menderita! Dia akan membuat Melati menderita.

***

Karyawan-karyawan di pabrik itu sedang mengantre di kantin. Rika, salah satu karyawan di pabrik tersebut menaruh piringnya di meja dan makan. Dia memakan makanannya tanpa minat. Dia hanya berpikir makan adalah kewajiban supaya dia tidak jatuh sakit. Akan repot jika dia sakit. Dia hidup sendiri di perantauan. Tidak ada yang akan mengurusnya jika dia jatuh sakit.

Tiba-tiba di depannya ada sebuah piring. Seorang pria duduk di depannya. Dia adalah Bambang dari Divisi HR. Dia adalah orang yang mewawancarainya ketika dia melamar di pabrik sebagai operator produksi.

“Loh, Melati nggak masuk ya?” tanya Bambang sambil menyendok nasi.

“Iya, tadi dia WA ke aku kalau dia izin,” jawab Rika dengan aksen Jawanya yang kental.

“Eh, Melati akhir-akhir ini aneh ya. Kamu sebagai teman dekatnya ngerasa nggak? Soalnya gimana ya, saya ngontrak di dekat tempat tinggal Melati. Rasa-rasanya dia kaya nyembunyiin sesuatu.”

“Saya si nggak tau, Pak Bambang tapi saya pikir dia nyembunyiin sesuatu. Dia rasanya gemukan. Gemukan tapi kok aneh ya. Kemarin aja dia bolak-balik minta digantiin, katanya mual.”

“Jangan-jangan dia ….” Bambang tidak meneruskan kata-katanya.
Rika mengedipkan matanya pada Bambang pertanda dia mengerti apa yang yang dimaksud Bambang.

The Dark Jasmine (On going) Where stories live. Discover now