BAB 12

36 7 14
                                    

Pokoknya aku harus pindah secepatnya, batin Melati sambil menjejalkan bajunya ke dalam tas laundry besar. Dia membereskan seluruh barang-barangnya walaupun Rika belum mengabarinya lagi. Baginya, tidak ada salahnya mengikuti anjuran Mustofa untuk kos. Dia bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk membayar kosnya.

Mas Arga, batinnya. Mungkinkah pria itu yang menyebarkan fitnah itu. Pria itu terus mengejarnya. Apakah dia cinta pada Arga? Entahlah. Hatinya untuk pria itu telah membeku. Tidak! Dia tidak boleh mencintai pria itu lagi. Diam-diam dia kasihan pada kedua orang tua Arga. Dia tak ingin anaknya kelak seperti Arga.

Tiba-tiba pikirannya melayang pada bayi di kandungannya. Dia perlu biaya untuk persalinan yang mungkin tidak murah. Ah, ingin rasanya dia memaki dan berteriak pada orang yang telah menghamilinya, akan tetapi kini orang tersebut sudah mati.

Warisan. Seketika dia teringat ucapan Esti soal warisan. Mungkin dia bisa meminta warisannya lebih awal untuk membayar persalinannya.

Mengapa jalan hidupnya harus seperti ini? Anak ini akan lahir tanpa ayah dan di kemudian hari bisa menimbulkan fitnah. Orang-orang pasti akan bertanya-tanya asal usul anak itu walaupun dia mengaku janda. Bagaimana jika si anak bertanya-tanya tentang ayahnya? Dia bisa saja menitipkan si anak di panti asuhan.

Ah, kenapa aku udah pusing mikirin hal yang belum terjadi? keluh Melati dalam hati. Harusnya dia jalani saja kehidupannya seperti air mengalir. Bisa saja suatu keajaiban terjadi padanya. Dia yakin Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya. Dia yakin itu. Pasti akan ada jalannya untuk bahagia.

“Melati!”

Itu suara alto Dena. Untuk apa dia memanggilnya? Bukankah waktu makan malam masih lama.

“Iya, Mbak Dena.”

Melati menghentikan kegiatannya mengemasi barang-barang. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Dibukanya pintu dan dilihatnya Dena yang menggunakan daster bunga-bunga berwarna kuning. Daster itu membuat kulit Dena semakin pucat.

“Arga nyariin kamu lagi,” ucap Dena.

“Aku nggak ma ….” Kata-kata Melati terputus ketika dilihatnya pria berwajah tirus itu menerjang ke arahnya.

Dena menoleh pada Arga dan berkata, “Perasaan aku belum nyuruh kamu masuk.”

“Maaf, Mbak Dena. Tapi aku harus berbicara pada Melati.”

“Cukup, Mas Arga! Kita putus dan aku nggak mau nikah sama kamu! Aku nggak mau ketemu sama kamu!” ucap Melati pada Arga.

Arga mencengkeram lengan Melati kasar. “Apa ini ada hubungannya sama Ustad itu!”

Melati terperangah dengan ucapan Arga. “Kamu bilang apa, Mas?! Jangan-jangan kamu yang nyebarin fitnah itu!”

Mata Arga seakan keluar dari tempatnya. Wajahnya memerah. Tubuhnya bergetar karena emosi. Memang dia yang menyebar fitnah itu. Akan tetapi, dia tidak akan pernah mengakuinya. Biar wanita itu merasakan sakitnya diputus cinta oleh orang yang sangat dicintainya.

“Kalian mendingan selesaikan masalah kalian sebelum mama pulang,” ucap Dena sambil menyingkir dari kedua orang yang sedang terbakar emosi itu. Biar dia mengamatinya dari jauh saja. Saat dia melangkah, tiba-tiba tubuhnya menubruk tubuh suaminya yang baru saja pulang kerja.

***

Hari sudah hampir senja ketika Mustofa berjalan menyusuri jalan Sukamaya menuju rumahnya. Orang-orang juga nampaknya beraktivitas normal sore itu. Nia sedang telepon sambil mondar-mandir di teras kontrakannya. Samar-samar dilihatnya Arga yang membanting pintu dan langsung mendapatkan teriakan dari ibunya. Sang ayah baru saja memarkir mobil avanza hitamnya.

Dia terus berjalan, dia bisa melihat Leni sedang menyapu halaman rumahnya. Di lapangan, dia dapat melihat Sunaryo mengawasi tenda yang sedang didirikan untuk pengajian. Dia melintasi masjid kemudian berjalan menuju rumahnya. Dia akan mandi sebenarnya sebelum dia mengumandangkan adzan. Dilihatnya Wahyu sedang menyiapkan gerobak baksonya ditemani Bambang yang sedang mengobrol.

Dia baru saja selesai mengisi pengajian di tempat lain. Beberapa warga di sana sempat menolaknya karena dirinya terciprat fitnah. Untungnya, beberapa panitia tetap memaksanya untuk mengisi pengajian sehingga dia tetap bisa berbagi kebaikan.

Eh, kok bisa. Jangan-jangan aku lupa, batin Mustofa ketika dilihatnya pintu rumahnya agak terbuka. Ya, bisa saja dia lupa mengunci pintunya.

Mustofa berjalan ke dapur yang sederhana. Diambilnya sebuah gelas lalu diisinya gelas itu dengan air dari teko kecil yang terletak di meja makan bundar. Dia menarik kursi lalu duduk. Diminumnya air dalam gelas itu.

***

Esti melihat dokumen itu sambil bernapas lega. Akhirnya aku bisa menebus kesalahanku, kata Esti dalam hati. Sekarang masalahnya, bagaimana dia akan menyampaikannya pada Dena. Putrinya itu mungkin tidak mengharapkan hartanya. Dia tahu kalau yang dibutuhkan Dena sekarang hanyalah kebahagiaan. Meskipun begitu, dia takut menyinggung perasaan anaknya. Dia mudah saja menyampaikan hal itu pada Melati, tapi entah mengapa sangat sulit untuk menyampaikannya pada Dena?

Tiba-tiba napasnya terasa sesak? Sepertinya asmanya kambuh lagi. Diambilnya tabung oksigen kecil yang ada di meja riasnya. Dia pakai tempelkan masker itu di wajahnya kemudian ditekannya tombol di botol itu. Dia hirup pelan-pelan udara dalam masker itu. Mungkin hidupku tidak lama lagi, pikir Esti.

***

Yosep tahu sore itu Maghrib belum datang. Dia bergegas ke rumah Mustofa. Sebagai sekretaris RT, dia harus cepat-cepat membuat undangan pengajiannya. Sunaryo belum mengatakan apa-apa lagi mengenai siapa yang akan menjadi penceramah. Dia harus menanyakan langsung pada pemuka agama di kampungnya itu. Dia dan Mustofa memang berbeda keyakinan, akan tetapi itu tak menghampiri hubungan bertetangga mereka.

Tok … tok … tok ….

Diketuknya pintu rumah Mustofa yang agak terbuka itu. “Mus … Mus … Mustofa!” panggil Yosep.

Karena tidak ada jawaban, Yosep masuk ke rumah Mustofa. “Mus!” panggilannya lagi.

***

Iqbal sepertinya tidak perlu menyamar. Sehabis Maghrib, dia sudah sampai di Jalan Sukamaya bersama Rian.

Kepala sang mayat tersungkur di atas meja.  Wajahnya berwana keunguan, tangannya terkulai ke bawah. Kematian itu pasti terjadi dengan sangat cepat, pikir Iqbal. Dia menduga korban diracun dengan dosis yang sangat tinggi.

Sebuah gelas pecah berkeping-keping. Sepertinya gelas itu jatuh begitu saja dari tangannya. Pertanyaan, siapa yang mau meracuninya? Iqbal yakin dia adalah orang yang baik.

Sebaiknya dia mengambil buku catatannya dan mulai mencatat. Kelihatannya atasannya akan mulai mengintrogasi orang yang pertama kali menemukan mayat itu. Dipegangnya buku dengan tangan kanannya sedangkan pulpen di tangan kirinya.

The Dark Jasmine (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang