BAB 6

60 14 71
                                    

Hari sudah mulai malam, bulan belum begitu tinggi, aktifitas warga di Jalan Sukamaya terlihat normal. Warung Leni masih terlihat ramai dan Bambang dengan setianya menjadi pelanggannya. Wahyu masih berada di kontrakannya dan bersiap berkeliling menjajakan baksonya seperti biasa. Melati keluar dari rumah itu berharap tidak ada yang memperhatikannya. Dia berjalan menuju rumah Esti.

Duh, kok rasanya lemes banget, kata Melati dalam hati. Jalannya agak sempoyongan. Saat dia akan naik tangga, tiba-tiba tubuhnya oleng. Seseorang  datang dengan menangkap tubuhnya agat tidak jatuh. Posisi mereka seperti orang yang sedang berpelukan.

"Mas Adam."

Melati yang otaknya sedang lambat tidak menyadari bahwa orang yang menolongnya adalah Adam.

"Mas Adam," panggil Dena lagi.

Sang Istri melihat kedua insan itu berpelukan. Suaminya berdiri satu tingkat lebih rendah dari Melati, tangan kanannya berpegangan pada sandaran tangga dan tangan kirinya yang kekar merengkuh tubuh Melati. Dena sempat tidak percaya dengan penglihatannya. Rasa cemburu membakar hatinya, namun semua itu tidak terucap.

"Eh, Dena." Pria itu melepaskan pelukan pada Melati dan Melati berusaha menyeimbangkan dirinya dengan memegang sandaran tangga.

Adam bersikap santai melihat istrinya yang cemburu. "Makanan udah siap, Den? Aku laper."

"Iya, Mas. Bentar. Aku masih goreng ikannya."

Hati dan gestur Dena tidak sinkron. Ingin dia berteriak pada suaminya. Entah apa yang terjadi pada dirinya, dia justru diam dan terus diam. Sampai kapan dia harus begini.

Melati memutuskan untuk naik ke kamarnya karena si tuan rumah belum menawarinya makan. Dia juga merasa terlalu lemas untuk membela diri walaupun dia tahu Dena pasti cemburu padanya. Dia naik ke kamarnya dengan susah payah.

Kenapa aku nyesel ya udah mutusin Mas Arga, pikirnya tiba-tiba setelah menutup pintu. Bukan masalah tanggung jawab Arga yang nantinya langsung menjadi ayah ketika anaknya lahir. Akan tetapi, dia lebih berpikir bagaimana sikap Arga nanti. Sebagai tetangga, Melati tahu betul bagaimana sifat pria yang diputuskannya tadi pagi. Dia menyesal ... menyesal. Tapi hatinya mengatakan dia tidak ingin kembali pada Arga.

Melati yang masih bersandar di daun pintu kamarnya berjalan menuju tempat tidur. Namun, tiba-tiba dia merasa lemas lagi. Tubuhnya jatuh ke lantai dan ... pingsan.

***

"Mustofa!"

Pria yang memakai baju koko berwarna biru muda dan celana longgar itu menoleh.

"Eh, Pak RT."

"Mus, gue mau bicara sama elo. Eh, gue lupa salam. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warohmatulloh," balas Mustofa.

"Elo mau ke mana?"

"Saya mau ke warungnya Leni, Pak RT."

"Oh, yaudah, kite sekalian bicara di sane aje."

Warung Leni terlihat sangat ramai. Bambang masih setia duduk di salah satu meja memandangi Leni yang sedang melayani Astri. Marta dan Nia nampaknya juga sedang mengantre untuk membeli lauk.

Kedua pria itu duduk di kursi panjang tanpa sandaran yang kosong menunggu giliran mereka.

"Nih, gue to the poin aje ye. Gue sama bini gue udah pesen tenda. Gue mau ngadain pengajian di RT ini dan elo, Mus, elo harus ngisi."

"Tapi Pak RT ...."

"Enggak ada tapi-tapian, elo harus ngisi, tenang aje. Enggak buru-buru kok, masih seminggu lagi ye."

"Iya, Pak," sahut Mustofa sambil mengangguk. Selama dia masih bisa menyebarkan kebaikan, mengapa tidak?

"Astri! Gue cari-cari ternyata lo di sini!" Teriakan Satria yang menggelegar, bahkan mungkin beberapa orang rumah di seberang lapangan bisa mendengar suaranya.

"Pak RT mau ngadain pengajian di sini! Yang bener aja? Beberapa orang di sini ngakunya sok suci! Tapi, Pak RT aja enggak bisa bongkar kebusukan di sini!" teriak Satria yang sempat mendengar obrolan antara Sunaryo dan Mustofa.

"Bang, ayo pulang!" ajak Astri sambil menarik tangan kakaknya.

"Mending kita pulang aja!" teriaknya pada Astri, "sebel gue liat orang sok suci!"

Marta yang biasanya ceriwis hanya bisa diam seribu bahasa. Sedangkan Nia yang duduk di sampingnya memperhatikan mobil Adam yang melintas di depan warung. Ke mana Mas Adam? Bukannya nanti kita ada janji, batin Nia.

Leni menghampiri Astri yang berdiri di ambang pintu warung dan memberikan lauk yang tadi dipesan Astri.

"Makasih, Len," katanya pada Leni sambil memberikan selembar uanh sepuluh ribuan lalu menarik tangan kakaknya pergi dari warung Leni. Astri heran kenapa kakaknya begitu menurut dan ... dia tidak mencium bau alkohol dari mulut kakaknya.

***

Mata Melati perlahan terbuka. Bau antiseptik langsung menusuk hidungnya.

"Siapa yang bawa aku ke rumah sakit." Dia menoleh tirai warna hijau muda ada di sekelilingnya. "Aku masih di UGD?"

Dia mencoba bangun, akan tetapi tubuhnya terlalu lemas.

Bu Esti? Dena? Apa mereka tahu aku hamil? Apa kata mereka nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otak Melati.

***

Satria membaringkan tubuhnya. Malam ini pikirannya waras. Dia sedang mencoba mengurangi kecanduannya akan minuman keras. Ya ... dia harus bisa bangkit, demi adiknya. Dia harus bisa lepas dari minuman keras ... memulai lembaran baru dan hidup lebih baik. Dia ingin punya istri dan anak.

"Ya, aku harus bangkit," gumam Satria pada dirinya sendiri.

Dia mengingat hari itu. Usai makan bakso, dia minum-minum di ujung jalan. Di bawah pohon besar di dekat rumah Nia. Lampu jalan di dekat pohon mati dan dirinya menjadi tidak terlihat.

Malam itu dia melihat jelas transaksi narkoba itu. Ya ... dia melihatnya. Namun, jika dia mengatakan pada orang-orang di kampungnya, termasuk adiknya, mungkin tidak ada orang yang akan percaya padanya. Dia sudah dikenal sebagai pemabuk di kampungnya. Kemarin lusa dia berbicara dengan keras di warung Leni. Dia berharap Pak RT maupun Mustofa bisa membongkarnya.

"Ah, Wahyu pas itu Ronda, mungkin gue bisa bicara sama Wahyu."

Dia keluar dari kamarnya. Kamar di sebelahnya sudah gelap pertanda adiknya sudah tidur.

Tok ... tok ... tok ....

Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Pria itu cepat-cepat membukakan pintunya.

***

Keesokan harinya ....

Wanita itu menatap liang lahat. Dia masih tidak percaya orang yang disayanginya meninggal. Kakaknya terlalu banyak minuman keras. Dua hari yang lalu, kakaknya masih berteriak di warung Leni.

Tadi pagi, saat dia membangunkan kakaknya. Biasanya kakaknya akan menjawab walaupun dengan gumaman pelan. Tapi pagi tadi sama sekali tidak ada jawaban dari kakaknya. Dia tidak bisa menemukan embusan napas kakaknya dan tubuhnya terasa dingin. Dokter yang memeriksa mengatakan kakaknya meninggal karena komplikasi dalam tidurnya. Akan tetapi bau bawang putih yang kuat tercium dari mulut kakaknya. Astri mengesampingkan pikiran itu dan ya ... kakaknya telah tiada. Kini dia seperti Melati, sebatang kara di dunia yang luas ini.

****
Assalamu'alaikum.

Aroma misterinya mulai terasa ya. Kira-kira Melati keluar dari rumah siapa ya? Penasaran? Simak terus ceritanya ya.

Semoga tetep suka ya sama ceritanya.😍😍

The Dark Jasmine (On going) Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ