EPISODE 12

3.2K 241 15
                                    

MERASA

Ridwan terus menatap ke arah rantang makanan yang di bawanya dari rumah hari ini. Ia berpikir keras, tentang mengapa Rinjani masih mau mengurus keluarga ini, meskipun gadis itu sudah tahu bahwa Ibunya tersiksa selama bertahun-tahun akibat dari perbuatan anggota keluarganya sendiri.

Jam makan siang hampir berakhir, dan Ridwan belum menyentuh sedikit pun makanan itu.

"Pak Ridwan nggak makan?," tanya Asep, Cleaning Service di kantor itu.

Ridwan tersenyum ke arahnya.

"Saya baru saja mau makan Mang," jawabnya.

"Tumben Pak tidak makan di luar seperti biasanya?."

"Hari ini, orang di rumah mengemas bekal untuk saya Mang."

"Alhamdulillah kalau Isteri Pak Ridwan mengemas bekal untuk Bapak, itu tandanya Isteri Bapak sangat perhatian dan tidak mau Bapak makan yang tidak higienis," ujar Asep.

Ridwan hanya tersenyum. Asep pun berlalu dari ruang makan kantor meninggalkan Ridwan sendirian.

"Isteri??? Memangnya Rinjani mau jadi Isteriku??? Mustahil..., yang ada dia akan membunuhku kalau tahu bahwa aku adalah penyebab kehancuran keluarganya," batin Ridwan.

* * *

Karto mengetuk pintu rumah, Rinjani membuka pintunya tak lama kemudian. Mereka berdua terdiam beberapa saat dan saling menatap dengan pikiran yang berbeda.

"Ada apa Pak Karto?," tanya Rinjani, akhirnya.

"Saya diperintahkan oleh Tuan Besar agar kamu membungkuskan makan siang untuk Beliau," jawab Karto, datar.

Rinjani membuka pintu lebar-lebar.

"Tunggu sebentar, saya ke dapur dulu" balas Rinjani.

Karto tak menjawab, Pria tua itu hanya berdiam diri dan masuk ke dalam rumah. Ia mengamati situasi di rumah itu, di mana tak ada seorang pun yang muncul setelah ia mengetuk pintu tadi - selain Rinjani.

Ia pun mengendap-endap berjalan menuju kamar Aisyah, yang ia pikir tak terkunci karena Rinjani berada di luar kamar. Ia berpikir untuk segera melenyapkan Aisyah, agar Wanita sok alim itu tidak lagi menjadi beban dalam hidupnya.

Karto memegang tuas pintu dan memutarnya perlahan agar tak menimbulkan suara ketika pintu terbuka. Namun siapa sangka, pintu itu ternyata terkunci, sehingga membuat Karto kebingungan.

"Pak Karto sedang apa?!," tanya Rinjani, yang entah sejak kapan berada tiga meter di belakangnya.

Karto pun berbalik setelah menyembunyikan pisau yang ada di tangannya tadi. Ia menatap Rinjani.

"Pintu itu saya kunci, dan akan selalu terkunci meskipun saya berada di luar kamar. Pak Karto ada perlu apa sehingga beniat membuka pintu itu?," cecar Rinjani.

Karto berusaha menetralkan debaran jantungnya yang meningkat, karena perbuatannya hampir ketahuan oleh Rinjani.

"Tadi ada suara dari dalam kamar, saya pikir Mbak Ai butuh sesuatu dan berusaha memanggil kamu," jawab Karto.

Rinjani tersenyum mengejek dari balik niqob-nya. Karto merasa heran dengan hal tersebut.

"Wah..., Pak Karto belajar akting di mana?," tanya Rinjani, mengejek.

"Apa maksudmu? Kamu mau menuduh saya berbohong?," balas Karto, sengit.

"Karena Pak Karto memang berbohong! Tidak mungkin ada suara di dalam kamar itu..., karena Nyonya Ai ada di dapur bersama saya sejak tadi, karena saya harus memasak makanan untuk makan malam!," ujar Rinjani.

Karto melihat ke arah pintu dapur, di mana Aisyah benar-benar ada di sana dengan kursi rodanya. Wajah Karto memucat seketika.

"Berikan rantang itu..., saya akan bawakan makan siang itu untuk Tuan besar!," Karto mencoba mengalihkan

"Tidak perlu! Saya sendiri yang akan mengantarnya pada Romo Besar!," tegas Rinjani.

"Lalu siapa yang akan menjaga Mbak Ai?," tanya Karto.

Bi Inah keluar dari kamarnya, meski belum sehat betul.

"Nanti saya yang akan menjaga Mbak Ai," ujar Bi Inah, yang sejak tadi mendengar perdebatan itu.

Karto menatapnya sengit, ia kembali menatap Rinjani.

"Menurutmu, saya mau mengantarmu untuk membawa rantang itu pada Tuan Besar???," ejek Karto.

Rinjani menunjukkan ponselnya, yang ternyata sejak tadi sudah terhubung pada Ridwan. Karto kembali memucat.

"Pak Karto! Biar Rinjani yang mengantar rantang itu pada Romo Kakung! Jangan buat saya melapor pada Polisi atas tindakan Pak Karto yang waktu itu hendak mengintip kamar Bibi Ai dan Rinjani!," ancam Ridwan, yang terdengar melalui loudspeaker.

"Ba..., baik Den," jawab Karto, terpaksa.

Rinjani pun menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku baju gamisnya. Ia berjalan mendekat ke arah Karto.

"Mari Pak Karto..., antar saya pada Romo Besar," ejek Rinjani, seraya tersenyum menang di balik niqob-nya.

* * *

Ridwan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia ingin pulang lebih awal, perasaannya tak tenang setelah mendengar telepon dari Rinjani tadi.

Ia benar-benar tak menduga kalau Karto akan senekat itu hingga ingin masuk ke kamar Bibinya tanpa izin. Pria tua itu bahkan berani berdebat dengan Rinjani.

Kalau saja Rinjani tak meneleponnya, mungkin Ridwan takkan pernah tahu tentang apa yang terjadi. Tapi gadis itu memang pintar, dia sangat tahu bagaimana caranya meminta bantuan pada orang lain dan juga tahu bagaimana caranya agar kata-katanya dapat dipercaya.

Yang tidak dapat Ridwan mengerti adalah Karto. Ada apa dengan Pria tua itu, sehingga ingin sekali masuk ke dalam kamar Bibinya? Apa tujuannya sehingga harus melakukan kebohongan ketika dipergoki oleh Rinjani? Apakah dia berkaitan dengan yang terjadi delapan tahun lalu?

Semua mulai terasa memusingkan bagi Ridwan.

* * *

Rinjani turun dari mobil jeep yang ditumpanginya bersama Karto. Heru melihat kedatangan mereka berdua dan segera berjalan menuju ke arah gazebo.

"Kenapa kamu ikut mengantar makanan ke sini?," tanya Heru.

"Pak Karto yang meminta saya untuk ikut, agar bisa membantu Romo Besar untuk menyiapkan makan siang di sini," jawab Rinjani, seraya menatap Karto.

Karto pun balas menatapnya, ia tak bisa membalas Rinjani saat itu karena kartu as terletak pada Ridwan yang tahu perbuatannya.

"Kalau begitu..., ayo siapkan makan siangnya," pinta Heru, seraya terkekeh senang.

Rinjani pun segera membuka rantang yang ia bawa, lalu menyerahkan piring pada Heru yang sudah berisi nasi. Heru terlihat sangat menikmati makan siangnya hari itu, Karto menatap hal itu dari kejauhan dan merasa sangat tak suka.

'Tunggu saja..., akan ada saatnya di mana kamu akan mengemis di kakiku!.'

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang