EPISODE 15

3.2K 224 6
                                    

SEBUAH KESALAHAN

Flashback On

Heru berlari-lari mengitari perkebunan dengan pesawat mainan di tangannya, ia baru saja mendapatkan itu sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke sembilan. Ayahnya - Baskoro Barata - tengah meninjau tanaman di perkebunan hari itu. Karto melihatnya dari balik gubug di area tengah perkebunan.

Heru mengehentikan langkahnya saat melihat sosok Karto yang berdiri di balik gubug tersebut. Dia tersenyum sombong.

"Bagaimana? Bagus kan mainanku?," tanya Heru, seraya memperlihatkan pesawat mainannya ke arah Karto.

Karto tersenyum, lalu mengangguk meng-iya-kan pertanyaan tersebut. Heru mendekat pelan-pelan.

"Ini hadiah untukku, jadi mainan ini sangat spesial. Kamu mau mencoba main?," tawarnya.

Karto menggeleng. Di dalam hatinya ia merasa takut untuk memainkan mainan milik anak Majikan Orang tuanya tersebut.

"Kenapa? Ayo main..., tidak akan ada yang marah kok," bujuk Heru.

Karto masih menggelengkan kepalanya lagi, ia tetap menolak. Heru pun semakin dekat padanya.

"Ayo..., cobalah," Heru meletakkan mainan itu di tangan Karto.

Karto pun akhirnya mencoba mainan itu dengan terpaksa, karena Heru terus memaksanya.

"Heru?!!," panggil Baskoro.

"Iya Romo!," jawab Heru sambil berlari ke arah Ayahnya.

Mereka kembali berjalan menuju area perkebunan bagian timur. Baskoro terus saja sibuk dengan apa yang dipantaunya hari itu. Bahkan Heru pun dibiarkan menikmati makan siang sendirian di sebuah gubug lain di perkebunan itu.

Kurangnya perhatian dari Baskoro, membuat Heru terkadang kesal dan mencoba mencari perhatian. Semua kebutuhannya dicukupi, apapun yang ia minta akan diberi tanpa menunda-nunda. Tapi ia merasa tak sama, apabila dibandingkan ketika dirinya menjadi pusat perhatian. Sehingga ia pun selalu berbuat sesuka hati untuk mendapat perhatian tersebut. Namun, ia tak pernah berpikir akan akibat dari perbuatan-perbuatannya.

Sore menjelang, Heru berjalan di belakang Ayahnya menuju ke arah mobil yang terparkir di pinggir perkebunan. Baskoro sudah hendak menaiki mobilnya, saat ia menyadari bahwa Heru tidak memegang mainan barunya.

"Loh? Mana mainanmu? Nanti Ibu marah kalau kamu menghilangkannya," tanya Baskoro.

Saat itulah, Heru merasa telah tiba waktunya untuk mencari perhatian dari Ayahnya.

"Aku tidak menghilangkannya Romo..., anaknya Pak Sahri yang mengambilnya dariku," jawab Heru, berbohong.

"Apa??? Anaknya Pak Sahri???," Baskoro ingin memastikan.

"Iya Romo..., tadi anaknya Pak Sahri mengambil paksa mainan itu dari tanganku. Aku takut dia memukulku, jadi kubiarkan saja dia mengambilnya," Heru pun mulai berpura-pura menangis.

Baskoro pun turun kembali dari mobilnya dengan perasaan emosi setelah mendengar apa yang Heru katakan. Pria itu langsung menemui Orangtua Karto dan marah besar pada mereka atas tindakan Puteranya.

Karto hanya bisa terdiam, ia merasa tubuhnya gemetar ketakutan. Pesawat mainan itu masih ada di tangannya, dan Baskoro pun melihat hal itu dengan jelas.

"Lihat ini!!! Ini pesawat mainan milik Heru!!! Anakmu ini kurang ajar sekali, berani-beraninya dia memaksa Heru memberikan mainannya dan hampir memukulnya!!! Apa kamu tidak mendidik dia dengan baik???," tanya Baskoro, murka.

Sahri pun berlutut di hadapan Baskoro, Heru menyaksikan semua itu dari balik jendela mobil.

"Ampun Tuan..., anak saya tidak sungguh-sungguh ingin berbuat begitu terhadap Den Heru Tuan..., tolong ampuni dia Tuan," mohon Sahri pada Heru.

Karto pun mulai menangis saat melihat Bapaknya memohon seperti itu, ia ingin sekali mengatakan bahwa Heru berbohong, tapi apakah ada yang akan percaya?

"Ampun katamu??? Kalau dia dibiarkan begitu saja, maka dia akan terus mengulangi perbuatannya di lain waktu!!!," bentak Baskoro.

"Ampun Tuan..., anak saya masih kecil, dia belum tahu apa-apa. Saya mohon Tuan, jangan hukum dia...," bujuk Sahri.

Baskoro mencoba mengatur nafasnya.

"Baiklah!!! Kalau dia tidak menerima hukuman atas perbuatannya, maka kamu lah yang akan menerima hukuman itu, karena kamu adalah Orangtuanya!!!," putus Baskoro.

Sahri pun membawa Karto ke dalam gubug, agar anak itu tidak melihat hukuman yang akan Baskoro berikan. Anak buah Baskoro yang ada di sekeliling perkebunan pun segera memegangi Sahri agar tidak berontak. Baskoro mengeluarkan kapak dari kotak alat perkakasnya.

Pria itu menatap Sahri yang sudah dipegangi oleh semua anak buahnya. Karto mengintip dari celah dinding yang ada di gubug. Tangan Sahri diletakkan di atas sebuah bonggol kayu yang sudah ditebang, Baskoro pun mengangkat tinggi-tinggi kapaknya lalu mengayunkannya tepat pada keempat jari di tangan kiri Sahri.

ARRRGGGHHHHH!!!

"BAPAKKK!!!."

Teriakan Sahri yang kehilangan jari-jarinya dan juga teriakan Karto yang ketakutan mengisyaratkan kepedihan hidup menjadi orang berkasta rendah.

"Tidak ada yang boleh mengobatinya!!! Biarkan saja darahnya mengalir seperti itu, agar anaknya mengerti apa kesalahan yang telah dia perbuat hari ini!!!," perintah Baskoro.

Semua orang meninggalkan Sahri yang sekarat karena kesakitan. Karto pun keluar dari dalam gubug dan memeluk tubuh Bapaknya dengan erat sambil terus menangis meraung-raung ketakutan.

Mobil yang di bawa oleh Baskoro pun menjauh dari perkebunan, Heru melihat ke jendela belakang dengan wajah tersenyum puas atas apa yang dilakukan Ayahnya pada Orangtua Karto.

Karto menatap wajah tersenyum itu dengan penuh kebencian. Akibat kebohongan dari mulut Heru, senja hari itu menjadi senja terakhir dirinya bisa melihat Bapaknya hidup.

Ya..., pendarahan yang tak berhenti akibat jari-jarinya dipotong oleh Baskoro, membuat Sahri harus kehilangan nyawanya malam itu dan membuat Karto hidup sebatang kara.

Di tengah duka cita yang Karto alami, Heru bersenang-senang dengan kehidupannya tanpa tahu apa yang terjadi setelah itu.

Flashback Off

* * *

AiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang