Part 1

644 22 0
                                    

"Wita gak mau nikah sama Om Arief, Ma." Aku menatap tajam ke arah Mama.

"Kenapa sih? Dia ganteng, baik, posisi kerjanya bagus, soleh. Kurang apalagi coba?"

"Kurang muda! Umurnya 33 tahun. Aku baru 19 tahun, Ma." Rajukku seperti anak kecil meminta permen.

"Umur segitu masih muda, Wita."

"Gak mau. Wita masih mau kuliah."

"Kuliah tetap lanjut, tapi sambil nikah."

"Gak mau!"

"Wita, nurut coba sama orang tua! Kamu itu anak manja. Dulu pas kamu bilang pengen kuliah di luar kota, Mama dan Papa deg-degan."

"Sekarang udah dua tahun jalan, ya enggak manja lagi dong, Ma."

"Tetep aja, ah. Kalo kamu jadi nikah. Mama dan Papa lebih tenang ngelepas kamu, ada yang jagain."

"Tapi dia Om-om, Mama …."

"Hush. Kamu ketemu aja belom kan? Nanti kalo ketemu jatuh cinta deh."

"Sekali gak mau tetap gak mau. MERDEKA!"

"Wita, dia sopan banget. Dia anak Pak Budi, teman bisnis Papa dulu. Pak Budi sangat baik. Menolong kita saat kita miskin. Inget gak boneka beruang besar punyamu? Itu pemberian Pak Budi."

Aku terdiam sesaat.

Aku pasti ingat boneka beruang kesayanganku. Sejak aku berumur lima tahun itu boneka itu ada sampai sekarang. Boneka pertama yang kusayang.

Dulu Mama sering menangis karena tak punya uang. Nakalnya aku, malah menangis berguling-guling di depan toko boneka. Beberapa hari mogok makan. Merajuk minta boneka itu. Selang beberapa hari Papa pulang membawa boneka yang aku mau. Katanya dari bos Papa.

"Iya, Wita ingat. Apa untuk membayar boneka itu harus dengan menikah sama anaknya, Ma?"

"Ya enggak atuh, ih. Ngaco kamu mah. Pak Budi ikhlas kok ngasih boneka itu. Dia memang sangat baik, tanpa pamrih. Kebaikannya tak akan terbayar sampai kapan pun."

"Ya, udah kalo gitu, Wita balikin bonekanya aja biar gak nikah sama si Om."

"Wita, coba kenalan dulu, Arief baik."

"Bukan baik, Mah. Tapi arif dan bijaksana, gemar membaca dan suka menabung."

"Wita, Mama serius. Pak Budi gak minta kamu jadi istrinya Arief. Tapi Papamu yang berinisiatif. Ingin mengikat tali silaturahim dengan keluarga mereka."

"Ya, udah. Nikahin aja Mbok Minah sama Om Arief. Akuur," ucapku sambil berlari ke kamar. Mbok Minah, janda enam puluh tahun yang sedang menyapu ruang tamu, terkekeh-kekeh mendengar ucapanku.

"Witaaa!" teriak Mama dari kejauhan.

Bodo amat, ah. Memangnya aku Siti Nurbaya yang rela dinikahkan demi membayar utang orang tuanya? Aku ini kembarannya Siti Nurhaliza, bukan yang lain. Catat.

***

"Wita, ya?" tanya seorang pria bertubuh tinggi tegap. Ia menghampiriku yang sedang duduk sambil memegang gawai.

"Iya. Om Arief?"

"Ssst. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Panggil Mas aja, malu dikira Om-om yang doyan abege."

Ya, Tuhan, aku baru sadar. Aku dan dia ada di restoran. Bisa-bisa aku dikira ayam kampus atau cewek panggilan lagi. Hiy.

"Baikah, Om eh Mas. Iya, aku Wita."

Kemudian pramusaji datang membawa daftar menu. Arief mengambilnya. Setelah membuka dan membacanya, ia pun berkata, "Spaghetti special satu, chocolate milkshake satu. Kamu pesen apa, Wit?

Nikah Tanpa HatiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon