Part 14

235 11 1
                                    

Setelah menempuh waktu berjam-jam, akhirnya kami tiba di rumah sakit. Langkah kami terburu-buru. Penasaran dengan kondisi Papa mertua tercinta.

"Papa," ucapku perlahan saat aku memasuki ruangan. Di samping ranjang, ada Mama Ira sedang menemani Papa Budi yang terlelap. Aku dan Raja Api menyalami Mama.

"Wita dan Arief, alhamdulillah kalian datang juga." Kutatap mata cantiknya yang sembab. Pasti menangis terus.

"Papa sekarang gimana, Ma?"

"Alhamdulillah sudah baikan. Sudah sepuluh menit tertidur."

"Alhamdulillah."

"Wita, Mama mau bicara sama  Arief dulu, ya."

"Iya, Ma," aku pun sedikit mundur. Mama berdiri dan menghampiri Arief yang ada di sebelahku.

Mereka berdua duduk di sofa dengan jarak agak jauh dari tempatku. Aku duduk di kursi bekas duduk Mama.

"Arief, klien kamu gila! Ngapain mau narik investnya, terus ngomporin investor yang lain biar gak invest ke kita?"

"Arief juga gak tau, Ma."

"Owner PT Hadikusuma itu kebangetan!

"Berharap masih bisa dinego."

"Iya, tolong ya, Rief. Papa stress, tensinya naik drastis. Sampe kemarin kena serangan jantung."

Aku terdiam. Gak ngerti mereka ngomong apa. Aku taunya jajan cilok aja. Mana tau masalah investasi dan bisnis.

Aku perhatikan wajah Papa Budi. Terlihat ia begitu tenang dalam tidurnya. Biar udah tua, Papa masih keliatan ganteng. Pantes anaknya juga ganteng. 

"Lay."

Aku melihat ke arah samping. Arief berdiri di sebelahku dan tengah menatapku. Sementara di ujung pintu, Mama Ira keluar ruangan. Seperti sedang menerima telepon penting.

"Iya, Om."

"Maaf kamu jadi repot. Baru sampe Bandung udah langsung ke Jakarta."

"Gak apa, Om."

"Aku harus secepatnya ngurus masalah ini. Kasian Papa."

"Iya."

"Maaf, ya, kalo nantinya kamu sering aku tinggal."

"Gak papa, Om. Di rumah ada Bi Munah."

"Eng, untuk beberapa hari ini, kita di Jakarta dulu. Sampe Papa pulang dari sini, ya."

"Iya, Om. Kasian Papa. Gak ada yang jagain."

"Kesel beneran sama owner Hadikusuma. Seenaknya ngelanggar perjanjian. Ngomporin investor yang lain."

"Kenapa Om gak ketemuan aja sama ownernya? Siapa tau ada kejelasan."

"Ide bagus, Lay. Tumben kamu cerdas!"

"Hahaha. Iya dong."

"Aku beresin dulu proyek yang lain, tinggal deal jalan. Sama ngurusin yang ini."

"Nah, gitu dong semangat."

"Karena kamu, Lay. Aku jadi semangat." Aku tatap mukanya. Kelihatannya yang dia bilang itu jujur. Gak bohong. Dia melihat ke arah Papa Budi.

"Lay, Papa bangun."

"Alhamdulillah." Aku berdiri dan mendekat ke Papa Budi.

"Arief, Wita. Alhamdulillah kalian ada di sini."

Nikah Tanpa HatiWhere stories live. Discover now