Part 6

245 9 0
                                    

"Wita." Terdengar ada yang memanggil namaku. Suara pria di belakangku. 

Aku yang sedang duduk di perpustakaan pusat kota membalikkan badan. Tidak langsung membalas panggilannya. Katanya kalau ada yang manggil kita, jangan langsung membalas. Karena bisa jadi yang manggil kita itu manusia, bisa jadi makhluk halus. Bisa jadi juga makhluk halu sepertiku.

"Kak Ni-Nicko?"

Aku berusaha meyakinkan diri ini, bahwa yang berdiri di belakangku adalah Nicko. Kakak tingkat satu fakultas, tiga tahun di atasku. 

Kami berkenalan di kampus saat aku masuk kuliah. Harusnya tahun ini dia sudah lulus. Tapi entah mengapa dia menghilang saat aku naik tingkat dua. Sepertinya aku harus belajar ilmu menghilang darinya, untuk dipakai saat di dekat Raja Api.

"Ya, Neng." Ia menarik kursi di sebelahku. 

Jarak kami berdekatan. Aku merasa risih, sedikit aku tarik kursiku menjauhinya.

Neng. Kak Nicko masih ingat panggilan kesayangannya untukku. Duh, kenapa jadi deg-degan begini, ya? Perasaan tadi gak ada razia polisi. Biasanya kalo ada razia polisi aku suka deg-degan. Mungkin karena aku gak punya SIM. Baru inget. Jangankan SIM, motor atau mobil aku gak punya.

"Ya, ampun. Kakak. Udah mau setahun gak ketemu, pangling."

"Tambah ganteng, ya?" tanyanya menggodaku. Kami tertawa.

"Kakak sekarang kerja di mana? Gak pernah liat lagi di kampus."

"Kerja di pabrik luar kota, Neng. Cari sebongkah berlian buat ngelamar Eneng."

Deg. Ucapan Kak Nicko membuat pipiku bersemu merah. Padahal aku gak pake blush-on. Punya juga enggak.

"Ah, si Kakak becanda aja," jawabku sambil menetralkan perasaan yang ada.

Dulu, gak lama setelah kami berkenalan dan dekat, muncul gosip yang mengatakan kalau Kak Nicko suka sama aku. Tapi akunya cuek aja. Biasa kalau artis itu digosipin. Kasian, biar ada bahan berita gosip.

"Aku serius, Wit. Tau gak kenapa aku ada di sini? Aku lagi nyari alamat rumah kamu. Dapat info dari temen sekelas kamu, kamu tinggal di kota ini. Rencananya besok mau main ke rumahmu. Eh, hari ini ketemu di sini. Jodoh."

Deg. Kak Nicko seneng banget ngasih aku keju, sih. Kejutan.

"Terus kalo udah dapet rumah aku?" aku pura-pura gak tau. Pasang mode Fitri, biar terlihat gak ngerti apa-apa.

Baru inget, Fitri mana, ya? Siang ini aku janjian sama Fitri di sini. Fitri belom nongol, malah muncul Kak Nicko.

"Ya, mau kenalan gitu sama orang tua kamu. Siapa tau kalo udah kenal ngerestuin hubungan kita."

Mendadak aku butuhkan tabung oksigen. Kekurangan udara untuk bernapas. Badanku melayang ke kayangan, tanpa selendang Nawang Wulan.

Oh, Tuhan, aku lupa. Baru seminggu lalu aku lamaran. Otakku beneran jadi Fitri mode on nih. Sampe lupa udah lamaran dan dua minggu lagi mau nikah sama si Raja Api!

"Kuliah Kakak, gimana dong?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku harus banyak belajar sama jalur Sukabumi dekat Puncak. Karena sering dipake untuk pengalihan arus lalulintas dari Puncak, biar gak macet.

"Aku ambil cuti. Pengen mandiri aja. Itung-itung latihan buat jadi kepala rumah tangga nanti."

"Keren!"

"Lebih keren lagi kalo kamu jadi ibunya anak-anak aku."

"Huahaha. Ngaco kamu, Kak. Salah ngomong, kali." Hatiku bergetar hebat. Sepertinya dia menjadi pusat gempa di badanku.

Nikah Tanpa HatiWhere stories live. Discover now