Part 8

237 6 2
                                    

[Udah siap buat nikah besok?] 

Chat dari Fitri membuatku kaget. Omaigat, besok aku nikah! Semoga aku gak pingsan atau stress lagi. Bisa-bisa jadi FTV berjudul: Calon Pengantin Wanita yang Mau Nikahnya Main-main, Masuk Rumah Sakit.

[Siap gak siap harus siap]

[Gak niat kabur, atau ganti pengantin perempuan?] 

Buset, nih anak kadang lemot, kadang jenius. Tergantung jenis makanannya. Otak ikan atau otak sapi, bisa menambah volume otaknya. 

Aku teringat film 3 Idiots, Amir Khan yang pengantin wanitanya kabur sama temannya. Masalahnya, kalo kabur, aku ngungsi ke mana? 

Di dalam negeri, lagi rame banjir. Susah ke mana-mana. Ke luar negeri, gak mungkin. Gak ada uang dan gak ada sodara di luar. Walau katanya sih, muka aku mirip selebriti luar. Luar angkasa maksudnya.

[Emang mau kabur ke mana? Lu mau gantiin gue jadi penganten? Enak aja, entar pas dapet amplop gede, lu bawa kabur!]

[Haha. Tau aja modus gue! Gak seru, ah!]

Lah ni anak. Sepintar-pintarnya Fitri, masih kalah sama Om Google. Kibas ponsel.

[Jangan lupa besok dateng ya. Pliiis. Jangan lupa bawa amplop isi uang. Gitu maksudnya]

[Hahaha. Gue pulangnya minta plastik gede, ya. Emak-emak netijen minta rendang!]

[Lu bikin pengumuman gue nikah di mana aja?]

[Di semua medsos gue juga WAG]

[Ebusyettt!]

[Ya udah, tenangin pikiran lu bae-bae. Jangan kangen sama dokter ganteng kemaren, sampe modus masuk RS lagi, ye. Itu jatah gue!]

[Iye, iye]

[Udah dulu ya, Wit. Gue mau maskeran. Biar besok glowing, gak kalah sama mobilnya Bang Gan!]

[Hehe. Oke siap. Tengkyuuu]

Aku pun menutup ponselku. Sebentar lagi setelah waktu sholat Ashar, di rumahku akan digelar pengajian ibu-ibu kompleks. Sebagai bentuk syukur dan doa kelancaran acara besok.

Kupandangi baju putih untuk akad nikahku besok. Semua ini rasanya mimpi. Dalam waktu sebulan setelah bertemu langsung menikah. Sifat, karakter, dan kegemaran orang yang akan menikah denganku pun, aku tak tahu. Hal yang paling penting, aku tidak ada perasaan suka sama dia. Malah yang aku ingat hanya sikapnya yang menyebalkan. Huft.

Tok tok tok. Pintu kamarku diketuk. Aku membukakan pintu. Papa.

"Sayang, muka kamu masih pucat. Sudah makan belum?"

"Sudah, Pa. Mungkin pucatnya efek sakit kemarin. Hehe."

"Papa mau ngobrol sama kamu." Ia pun duduk di tepi ranjang. Aku mengikutinya. Duduk di sebelahnya.

"Sayang, Papa ngerti. Sebulan terakhir ini kamu stres. Iya, kan?"

Aku mengangguk. Papa memang hebat. Ia bisa menerawang pikiranku. Jangan-jangan Papa muridnya Roy Kiyoshi.

"Papa mengerti. Papa mau tanya, tolong Wita jawab dengan jujur. Wita cinta enggak sama Arief?"

Deg. Jangankan cinta, Pa. Dekat dengan dia pun, aku tak sudi!

"Wita belum kenal orangnya, Pa. Gimana bisa cinta?"

"Terus sebulan ini, kalian gak ngobrol-ngobrol, gitu?"

"Ngobrol, sih. Dia cuma bilang jangan keluar rumah menjelang nikah. Alasannya takut ketabrak, takut jatuh, takut kena virus. Lah, taunya malah ke rumah sakit juga."

Nikah Tanpa HatiOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz