3. Shaking

806 159 25
                                    

Aku berdiri, dan mamutuskan untuk segera mematikan lampu balkon. Aku tidak mau ada orang lain melihatku tengah mengintai ke balkon apartemen itu. Ya memang, siapa juga yang mau memperhatikan. Orang-orang yang hidup di gedung menjulang mewah berlabel apartemen eksklusif itu, mana sempat memandang gedung kumuh dan kusam ini, meskipun gedung kami menjulang sama tinggi. Apa bagusnya pemandangan ke arah flat ini selain untuk melahirkan rasa bersyukur karena mereka tidak berada dan tinggal di flat ini. Atau, setidaknya  perasaan superior mereka akan muncul dan menolong mereka dari tekanan ambisi yang ingin mereka capai lebih tinggi lagi, dari posisinya saat ini. Manusia itu predator atas pikiran dan perasaanya sendiri.

Aku contohnya,  merasa lebih baik dari anak-anak seumuran yang tinggal di gubug-gubug pinggir kali yang bau. Merasa lebih beruntung dari orang-orang seumuranku yang tidak pernah sekolah dan hidup di bawah jembatan — gelut dengan hidup — menjadi kurir sabu, begal, pengamen, asongan sampai pengemis dan penipu kroco. Aku jelas lebih superior dari kelas mereka meskipun aku tinggal di flat jelek ini. Kadang kita sebut itu sebagai rasa syukur. Kita bersyukur merasa lebih beruntung dari mereka? Itu juga predator.

Disisi lain, aku tersiksa melihat anak seumuranku lainnya, anak-anak yang di antar jemput ke kampus mengendarai Alpard, makan, beli baju, beli tas atau sepatu di tempat mewah, punya pacar jelek tapi  kelihatan ganteng karena kaya, lulus cumlaude, lalu terbang ke universitas bergengsi di luar negri meneruskan sampai  gelar Master tanpa perlu ahli mengupas bawang, atau salak misalnya. Lihat ... hati kita merasa bersyukur menginjak level orang, sekaligus merasa marah kepala/level kita diinjak orang. Kita adalah predator! Entah karena hidup ini yang brengsek atau otak kita yang brengsek sebenarnya.

Lupakan. Pemandangan di apartement level sebelas lebih mendebarkan dari pada hidup ini. Gadun ganteng, kalau ini benar-benar ganteng, meskipun kaya. Meskipun aku hanya bertemu satu kali, tapi rasanya membekas. Ia sedang duduk di balkon apartement lantai sebelas. Berbalut kaos putih serta celana bermuda, pakaiannya jauh lebih santai dibanding waktu  bertemu di toko. Pakaian itu membuatnya tampak lebih muda, dan kelihatan segar. Kupikir ia pasti baru saja mandi. Rambutnya basah, dan semua cowok di dunia selalu terlihat lebih ganteng, ketika pas selesai mandi. Bentuk tubuhnya bukan macam olahan gym dengan segala rekayasa ototnya, tapi semua kelihatan pas di mataku. Tetap maskulin. Laki-laki kelihatan gagah, bukan dari otot yang menggumpal-gumpal kekar saja. Walaupun lekukan otot samar sekalipun, tapi jika bahasa dan gerak-gerik tubuhnya keren, ya, bikin goblog cewek juga. Aku sedang goblog sekarang karena menikmati tiap lekuk dan gerakan tubuhnya. Caranya menghisap rokok, atau cara bibirnya menyesap minuman di cangkir, serta matanya yang memandang ke arah terbatas, itu keren. Makin keren dia, makin goblog lah aku.

"Cong, dicari Coki nih!" Teriak Ayu dari dalam.

Cang, Cong, Cang, Cong, kayak aku tidak punya nama saja. Kebiasaan. Eh, apa, Coki? Ngapain dia, aduh gawat! Aku buru-buru hendak masuk ke dalam, tapi Coki sudah terlanjur sampai di pintu geser balkon.

"Ngapain kamu, gelap-gelapan di sini, lagi merenungi nasib ya?"

Bersamaan dengan itu di apartemen seberang, Sesil kulihat baru saja menghampiri si Gadun ganteng itu, duduk rapat di sofa balkonnya. Panik asli, aku takut Coki melihat pemandangan itu. Akhirnya, kutarik saja tangannya, dan memaksanya duduk di kursi bulat di dekat teralis. Di situ, posisi Coki akan membelakangi pemandangan di balkon itu.

"Apaan sih, nyuruh tamu duduk, nggak ada cara yang manis, gitu?"

"Halah bawel, gulaku lagi abis. Nggak ada acara manis-manisan,"kataku merasa lega setelah memastikan posisinya aman.

"Nyalain napa Cong, apa enaknya gelap-gelapan gini," protesnya.

"Napa jadi ikut-ikutan manggil Cong sih?"

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now