9. Exactly

694 140 14
                                    

Matahari sudah tinggi ketika aku bangun keesokan harinya. Aku ingin menganggap kejadian semalam hanya mimpi absurd saja, sayangnya tidak bisa. Jelas-jelas dompet itu masih berada di tanganku. Dompet itu tidak mungkin tiba-tiba loncat dari alam mimpi. Situasi ini memaksa moral ku untuk memilih; mengembalikan dompet itu, atau menyimpannya saja. Menyimpan? Sementara benakku sempat mengkhayal godaan terindah sepanjang masa, untuk menghamburkan lembaran uang dan kartu uang yang banyak di dalamnya itu. Bahkan aku mempunyai khayalan terindah, baru sekarang ini. Maksudnya, khayalan yang sangat dekat dengan kenyataan. Khayalan paling megah dan sangat mungkin untuk diwujudkan. Pertarungan hebat tidak hanya berkecamuk di kepala, juga di hati kecil ku.

Disatu sisi, aku ingin lari ke Mall terdekat dan membeli apa saja yang selama ini tidak mampu ku beli. Jangan bayangkan gaun-gaun indah ya, sama sekali tidak pernah masuk dalam daftar keinginanku. Buat apa aku pakai baju bagus-bagus? Lingkar pertemananku kaum kere juga.

Jangan bayangkan juga aku membeli sesuatu agar bisa dipamerkan demi menaikan gengsi. Aku saja merasa kurang suka melihat beberapa teman yang kukenal; menyulam alisnya dan mewarnai rambutnya dengan warna merah, pirang dan warna terang lainnya, sementara dia tinggal di rumah ilegal pinggir kali misalnya, Atau mempunyai ibu yang berjualan pecel di pinggir rel, demi menghidupimu. Bukan apa-apa, geli saja lihat style mutahir, tapi keluar dari pinggir kali. Atau mempunyai penampilan terkini, tapi mampir minta ongkos ibunya di pinggir rel. Menyulam alis dan mewarnai rambut bukan ongkos yang murah. Agak, tidak pas, bagaimana gitu. Tapi teman model begitu, ada! Penampilan mutahir akan kelihatan pas kalau kamu keluar dari mobil atau rumah mewah. Lebih mantap lagi jika kamu sudah tinggal sendiri dan mandiri, bukan numpang sama orang tua — masih minta ongkos lagi.

Aku tidak tertarik yang model begitu-begitu. Aku merasa cukup nyaman dengan penampilan yang biasa-biasa saja, dan tidak mengundang perhatian orang. Tidak suka dipandangi terlalu lama oleh siapa pun. Sesuatu yang mengundang perhatian, menurutku berbanding lurus dengan mengundang bahaya.

Satu hal prinsip paling mendasar karena aku tidak akan memberi ruang cowok-cowok bersenang-senang dengan standar penilaian "luar" yang mereka pegang. Aku tidak suka menjadi bagian dari itu. Cewek lain, sih, bodo amat. Terserah. Tapi ini tubuh ku, wajah ku, dan aku berhak berdiri di mana saja aku mau, tanpa  standar "nilai" orang lain. Aku punya standar sendiri. Aku ingin suatu saat menemukan cowok  yang bisa menemukan dan melihat nilai yang aku punya sendiri. Naif? Ya tak apa dibilang begitu. Sejak hubunganku kandas, justru aku menemukan "nilai" ini. Trauma? Iya, memang. Berita baiknya, trauma inilah yang membuat aku menemukan "nilai"ku sendiri. Aku berterima kasih karenanya.

Satu-satunya ke-mutahir-an yang bisa ditolerir mungkin hanya berlaku untuk kuku-kukuku. Aku suka mengoleskan warna dan menghiasi kuku dan mengganti model dan warnanya secara periodik. Bukan buat genit-genitan. Tapi untuk menghindar dari kebiasaan buruk, menggigit kuku-kuku ku sampai 'bujel'. Kutek mampu mengalihkan kebiasaan jelek itu. Percaya tidak percaya.

Oke, mau tahu list angan-anganku? Aku ingin punya sepatu teplek baru, setidaknya dua pasang yang nyaman di kaki. Dan yang nyaman itu mahal. Aku pernah cek. Kedua, aku ingin punya headphone mahal, Shure SRH1840. Headphone yang tidak hanya sangat kedap, tapi juga aman andai kanan kiri tetangga kamar ku, sedang "menggila". Selain itu, tentu saja bisa menunjang hobiku membuat scoring musik film.

Jaman sekarang, keterbatasan untuk memiliki alat/instrumen musik, lumayan bisa terbantu dengan instrumen-instrumen virtual. Dan detil bunyi yang aku aransemen akan sangat terbantu jika aku memiliki headphone yang mumpuni. Tujuh juta, coy! Syukur-syukur bisa sekalian memiliki Analog Synthesizers, sebagai list angan ketiga, haha. Aku bisa eksplore lebih gila lagi dengan alat yang keren itu. Totalnya bisa belasan juta ... enam belas juta, lah.

Dengan alat memadai itu, aku bisa membuat demo musik dengan kualitas audio yang mumpuni – merasa pede kalau harus mengajukan ke nama-nama besar industri perfilman di tanah air, bahkan aku berani mengajukannya sampai ke Hongkong sana. Selama ini, aku baru dapat receh dari para indie movie maker saja, sudah senang, apalagi sampai dilirik nama-nama besar itu. Bangke! Khayalan ini makin bikin dadaku berdebar, juga gemetaran memegangi dompet di tanganku ini.

Tapi masalahnya, Om Harunza terlanjur mengenaliku sebagai pramu sajo di toko coklat. Bagaimana mungkin aku bisa nekat mengeruk isi dompet ini, salah-salah, aku bisa diperkarakan ke polisi. Cilaka dua belas namanya itu.

Akhirnya dengan perasan lunglai, kuraih hape, juga kartu nama Om Harunza. Keputusan akhir, adalah mengembalikannya. Ketika nada panggil itu tengah berdering. Tiap detiknya adalah memudarnya segala khayalan yang megah-megah itu, satu per satu. Dua pasang sepatu teplek buyar ... Lalu headphone lenyap ... Lalu Analog Synthesizers memuai.

Hallo.

"Selamat siang Pak, eng ... Saya anu .. saya yang dititipin dompet Bapak." Aku merasa gugup juga ternyata.

Aaahhh ya .. ya .. sudah saya duga, kamu orang yang bisa dipercaya, feeling saya tepat!

Serunya antusias dari seberang sana.

"Enng .. iya Pak, jadi mau saya antar ke mana?"

Uhm .. dua jam lagi saya akan berada di seputar daerah Kemang, terlalu jauh tidak kalau kamu ke situ?

"Tidak, tidak terlalu jauh kok. Kira-kira tepatnya ke mana saya antar, ya?" kataku. Dia diam. Mungkin sedang menentukan tempat.

Izinkan saya traktir makan siang di

Ia menyebut sebuah restoran mewah yang terkenal. 

Sebagai rasa terimakasih saya, mohon jangan di tolak ya.

Aku sempat diam, karena kebingungan masuk tempat begitu,  harus pakai baju apa? Ah bodo amat, kayaknya jeans dengan kemeja sudah paling aman.

Bagaimana, saya share loc ya?

"Tidak usah, saya tahu tempat itu, kok, Pak," jawabku cepat.

Good .. sampai ketemu jam dua belasan, lah.

Sedetik setelah telepon ditutup, aku tersadar sesuatu. Ih kenapa aku tidak minta jam dua-an saja, aku, kan, masuk kerja toko jam tiga. Ah, ini Jakarta biar dari Kemang ke toko tidak jauh, macet bisa saja terjadi. Tidak ada salahnya memajukan waktu satu, atau dua jam. Kalau datang lebih awal, aku malah bisa sempat wifi-an dan leluasa berburu sound-sound di internet.

*
Om Harunza menyambutku dengan ramah. Ia juga membantu ku memilih menu yang cocok, ketika aku kebingungan dengan istilah-istilah makanan yang aneh-aneh itu. Dia membuatku nyaman tanpa memberi ruang sedikit pun untuk merasa jadi orang udik.  He ia really gentleman.

"Pak, kita pernah ketemu sebelum ini, loh, di toko Coklat, pas Valentine day, ingat?"

Alisnya bertaut dengan pandangan mengingat-ingat. Tak lama menungggu, matanya lantas membesar, seiring garis bibirnya membentuk senyum yang lebar.

"Ya, saya ingat sekarang. Pantas saja malam itu, saya rasanya pernah melihat kamu di mana, gitu."

Setelah selesai makan dan berbasa-basi sebentar, aku pun pamit. Sebelum aku benar-benar pergi, Om Harunza memintaku menerima tanda terima kasih dalam bentuk lain, selain tentu saja, makan mewah yang baru saja ku kecap. Di sini lah, aku benar-benar tercengang. Sampai jantung ini rasanya berhenti berdetak beberapa detik. Sungguh.

"Kamu musisi kan?"

Bukan tebakan jitunya itu yang membuat aku kaget. Kalau itu, bisa saja karena dia perhatikan work sheetku ( buku berisi coretan not not yang aku compose ) menyembul dari tas cangklong ku, apalagi cover bukunya sudah sobek. Otomatis dia liat coretan not-not di situ. Ini yang bikin aku tercengang. Dia bilang:

"Musisi seperti kamu butuh alat penting, kan?"

Lalu dia menulis sejumlah rupiah di sebuah cek, dan menyodorkannya kepadaku. Tanganku gemetaran begitu melihat angka yang tertera. Angka yang persis sama dengan apa yang ku hitung sebelumnya untuk membeli tiga buah benda. Yaitu, dua pasang sepatu teplek, Headphone dan Analog Synthesizers.  Pokoknya nilainya persis sama dengan yang ada di kepalaku. Persis! Sis! Sis! Enam belas juta.

***
Eng ing eng ..

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now