13. Hurt

581 124 25
                                    

Keesokan harinya, Coki datang ke tempat ku seperti janjinya. Ia membawa martabak telor, bukan cakwe. Ia ikut menikmati martabaknya dengan memakannya bersama nasi yang kami punya. Aku, Lisna dan Ayu hampir setiap hari memasak nasi dari beras yang kita beli secara patungan. Prinsip kita, pokoknya nasi selalu tersedia, lauknya bisa dibeli masing-masing. Biasalah prinsip ekonomi ... ngirit. Tapi martabak telor pakai nasi, kok agak aneh, ya.

"Apanya yang aneh, ini, kan sama aja telur dadar, bedanya ditambahin daging cincang dan daun bawang, terus dilapisi tepung krispi, selama dominan telur berarti bisa di makan dengan nasi," jawab  Ciko waktu kutanya alasannya.

"Ya gimana ya," sahutku tetap saja merasa aneh.

"Sini, cobain deh, nih." Coki menyodorkan sesuap dari tangannya ke mulutku. Sempat ragu, tapi akhirnya ku lahap saja, namanya juga mencoba, dan ternyata enak.

Kelekar-kelekar Coki begitu atraktif malam ini. Ia kelihatan lepas. Hanya saja sorot matanya terlihat lebih membulat dan seperti berair terus. Aku memperhatikannya begitu rupa, karena ia tidak seperti biasanya begitu. Seperti sibuk melucu dan tertawa sendiri dengan leluconnya. Aku ikut tertawa bukan karena leluconnya, tapi karena melihat reaksinya yang lucu. Lebay dan sangat ekspresif.

"Semangat banget kamu malam ini, Cok?"

"Masak sih?"

"Iya, leluconmu beda, jadi sarkas gitu, sih."

"Ah, perasaanmu aja kali."
"Nggak."

"Iya."

"Kamu yang berubah kali Cong, kurang asyik. Banyak bengong sekarang."

"Mulai deh ngarang," bantahku.

"Ngapain ngarang kayak nggak ada kerjaan aja. Ada masalah, cerita aja Cong."

Dih.

"Bengong gimana sih," tanyaku penasaran.

"Sering hilang kalau lagi ngobrol akhir-akhir ini. Pikiranmu kayak nggak tahu di mana."

"Masak sih?"

Coki hanya membalas dengan anggukan. Aku diam saja. Mungkin kah aku berubah segitunya? Apa mungkin karena aku punya alat baru, jadi mengganggu "pertemanan" aku sama Coki.

"Gara-gara interface baru itu mungkin, ya, jadi asyik sendiri akunya."

"Beda Cong, aku sih senang kamu asyik di situ, bakatmu jadi berkembang, apalagi mulai dapet bayaran. Bukan, bukan itu .. kalau urusan musik kamu nggak nge-blank gitu. Malah berapi-api ngobrolinnya. Tapi ini kayak bengong yang punya dunia sendiri, aneh aja. Sorry kalau aku ikut campur, tapi andai kamu sedang ada masalah dan perlu cerita ya cerita aja, jangan di pendam."

Masak sih aku begitu. Sebelum punya alat, oke lah mungkin bisa jadi aku "bengong", seperti yang Coki bilang. Tapi setelah ada alat itu, justru aku tidak pernah dapat "visual" apa-apa lagi. Kecuali tentang dia tempo hari itu.

"Kalau belum mau cerita, ya nggak apa-apa. Tapi yang penting kamu tahu, kalau aku bakal siap mendengar kapan pun, kamu siap. Dan inget, apa pun masalahmu, aku mendukung kamu."

Kulempar ke arahnya dengan pak rokok miliknya yang tergeletak di meja, "sok iye banget sih Cok!" Coki tergelak.

"Nggak ada apa-apa, santai aja."

Kami saling membisu. Menyusuri benang-benang pikiran di kepala masing-masing. Atau, bisa saja aku dan Coki saat ini sedang saling menyembunyikan sepotong rahasia masing-masing. Karena aku juga merasakan perubahan pada dirinya. Coki memang rame orangnya, tapi tidak juga pernah serame belakangan ini. Terutama tatapan matanya, seperti berkilat-kilat dan berair, tapi tidak tampak hidup. Tatapan matanya hampa, padahal bicaranya begitu bersemangat. Ide leluconnya lebih banyak, meskipun lebih sarkas. Pokoknya, aku belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now