4. 20 2 2020

776 152 19
                                    

Mari mulai olah otak kita gaes
*

Aku refleks berdiri. Naluriku dengan cepat menuntun mataku mengikuti arah jatuhnya tubuh laki-laki itu sampai ke dalam kolam renang. Entah karena aku yang terkesima atau bagaimana, aku melihat air kolam membentuk gelombang semburan ke atas, akibat beban tubuhnya itu, seperti memancarkan warna keperakan. Sementara tubuhnya tertelan dan tenggelam. Tak lama kemudian, riakan bergelombang di permukaan air pun mereda. Mengherankan melihat riakan air itu, rasa-rasannya terlalu cepat kembali tenang. Bukan gerakan yang normal sebagai mana seharusnya.

"Suara apa tuh?" Ujar Coki sambil berdiri. Matanya mengarah ke kolam renang.

"Orang jatuh dari atas balkon apartemen ke dalam kolam," jawabku terbata-bata.

"Jatoh dari mana, yang bener?" Aku cuma mengangguk ketika Coki beringsut ke teralis pagar balkon dan menatap ke kolam renang.

Untuk beberapa detik aku kehilangan pikiran. Otakku beku. Waktu juga seperti mendadak berhenti berjalan. Tubuhku hanya mematung menatap kolam renang, berharap laki-laki itu muncul ke permukaan, lalu berenang ke tepi.

Satu menit ... dua menit berlalu, tak ada tanda-tanda apa pun. Air tetap beriak tenang. Mataku masih terpaku lama di situ, sampai akhirnya dua orang satpam berlari tergopoh-gopoh dari arah dalam gedung menuju kolam. Siluet tubuh Sesil tak lama menyusul muncul dari pilar koridor. Belum jelas benar, karena tata lampu di sana di desain redup. Saat itulah pikiranku kembali tersadarkan. Ada bahaya yang bisa terjadi jika aku tidak cepat bertindak. Kulirik Coki yang menatap ke arah dua orang satpam yang tengah membuka sepatu dan siap terjun ke kolam.

"Paling orang gila yang bernafsu memacu andrenalinnya, terus iseng loncat dari ketinggian untuk berenang ala ala ekstrim gitu," kataku berusaha mengalihkan mata Coki dari bawah sana.

"Lihat, desain balkon apartemen itu memang berbahaya. Teralis terlalu pendek dan terlalu dekat kolam renang," sahut Coki, menunjuk random balkon, lalu melirik lagi ke kolam renang.

"Setuju dengan teralis, tapi ada bagusnya juga letak kolam renangnya mepet begitu, jadi nggak langsung hantam lantai kan?"

"Amit-amit, jangan sampai deh." Coki mengibas bahu, membuat gerakan bergidig. Bulu romaku jadi ikut meremang membayangkan orang jatuh menghantam lantai.

"Udah abaikan tingkah orang gila, udah ada satpam juga," kataku masih berupaya mengalihkannya.

Kali ini berhasil. Coki kemudian memutar tubuhnya dan kembali duduk dengan tenang. Tangannya meraih cangkir kopi, lalu menyesapnya. Untung Sesil masih berdiri di keremangan pilar tadi, mungkin dia merasa ngeri, dan memilih menunggu di situ.

Lagi pula orang orang yang hidup di kota besar sudah terasah dan terbiasa untuk tidak peduli pada tragedi orang lain. Andai si Gadun itu mati sekali pun, orang malas berurusan dengan sesuatu yang bakal menyulitkan diri sendiri jika melibatkan diri. Selain alasan sibuk urusan diri sendiri, sering  kali kita mendengar berita; orang sampai meregang nyawa akibat ditikam karena membantu orang lain yang dicopet di bis, misalnya. Atau, cerita-cerita ironi lainnya, sebagaimana khas masyarakat urban. Bahkan, kita ditempa untuk merasa khawatir atau curiga pada niat orang lain yang berniat menolong kita, karena banyaknya modus penipuan yang canggih-canggih atas nama "menolong". Kemanusiaan di kota besar model Jakarta, adalah ironi itu sendiri.

"Tapi emang keren view di sini ya Cong, kita jadi bisa ngerasain juga enaknya punya kolam renang pribadi," celetukan Coki menendang lamunanku barusan.

"Aku pernah kok jam dua pagi masuk kolam renang mereka," kataku menyimpul senyum.

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now