29. Long Day

496 109 10
                                    

Hai..
Terima kasih yang berkenan koreksi 💙
Enjoy ...
*

Ditengah kepanikan aku berusaha sekuat tenaga menenangkan diri. Ku tarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, aku melakukannya  berulang-ulang. Bagaimana pun aku harus tenang dan secepatnya meredam kepanikan agar  bisa menjalani semua kemungkinan dengan pikiran yang jernih. Mental ku harus kuat dan tegar. 

Aku meraih tisu, menyeka wajahku, dan merapikan rambut dengan mengikatnya ulang. Eh, masih berdebar juga. Perlahan aku menggali ingatan tentang film film kriminal yang pernah kutonton. Aku harus cerdas!

Ketika mobil berhenti dua orang berpakaian preman sudah menyambut kami. Rupanya Sesil tidak mau repot dengan ulahku, sampai ia harus menelepon dua orang petugas untuk menjemput. Aku keluar dengan wajah setenang yang aku bisa. Kami kemudian dibawa ke sebuah ruangan yang hanya berisi satu meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Aku dipersilakan masuk, sementara Sesil berbicara di depan pintu dengan seorang petugas. aku tidak bisa mendengar, karena pintu kemudian ditutup dari luar. Tak lama, pintu pun terbuka, saat itu lah ku lihat Sesil pergi dan sempat melirik ku dengan tatapan puas, lega, entah lah. Lalu dua petugas itu masuk dan menutup pintu. Suara dentumannya langsung menggema di jantungku.

Aku sudah mempersiapkan diri untuk terlihat tenang, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi sama sekali. Begitu dua petugas itu menghadap ke arahku; yang satu duduk, sementara lainnya berdiri bersandar pada dinding, aku langsung menangis. Kontra dengan mental kuat yang susah payah kubangun, dan ketika air mata mengalir, nyaliku terseret arusnya, langsung mengkeret ciut. Perasaan kesal, takut, dongkol, dan marah, campur aduk tak karuan.

"Jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu," ujar petugas yang duduk.

"Salah saya sebetulnya apa sih Pak, mengapa Sesil beginiin saya?"

"Perlahan saja, perkenalkan nama saya Anton dan ini rekan saya Beni," dua petugas itu bergantian mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan gemetaran.

"Apa kamu perlu minum sesuatu biar lebih santai, teh atau kopi barangkali?" tanya Pak Anton.

"Saya nggak tahu Pak, saya cuma ingin pulang," kataku terbata, sibuk menyeka air mata. Pak Anton melirik rekannya, tak lama Pak Beni keluar. Mereka masih terlihat muda, mungkin tiga puluhan.

Aku disuguhi teh, sementara mereka berdua menikmati kopi. Tak ada alat apa pun disitu yang mencerminkan sebuah ruang pemeriksaan. Tidak ada komputer atau laptop. Bahkan sekedar buku dan pulpen pun tidak ada. Mereka seperti sedang berusaha mengajak ku ngobrol biasa. Tetap saja perasaan takut berkecamuk. Tapi setidaknya sejauh ini perlakuan mereka baik, ini membantu ku sedikit merasa tenang.

Akhirnya mereka mulai banyak bertanya; kenal Sesil di mana, sudah berapa lama, dan seterusnya. Sama sekali belum menyinggung kasusnya, namun tetap berusaha membuatku merasa santai. Tak tahu lah, mungkin ini metode mereka.  Pertanyaan mereka kemudian semakin detil, bertanya juga tentang asal-usulku, aku kuliah di mana, kegiatanku apa saja dan macam-macam. Ya, ku jawab saja apa adanya.

Setelah sekitar kurang lebih satu jam, baru lah mereka menanyakan ada hubungan apa aku dengan Sesil. Aku bilang saja aku mengenalnya karena dia pacar sahabatku. Mereka sedikit tanya-tanya tentang Coki. Kujawab juga apa adanya. Aku ceritakan juga bahwa Sesil sempat cemburu denganku dan seterusnya. Nah, saat mereka mulai mengaitkan pertanyaan ke Om Harunza, di sini lah aku mulai gemetaran.

"Di sini rumitnya Pak, Om Harunza pernah ngobrol sama saya di sebuah restoran di Kemang," (Pak Beni kemudian tanya restoran apa, kejadiannya kapan dan seterusnya) "Sesil ternyata tahu, lalu menuduh saya macam-macam dengan kekasihnya itu. Semua tambah runyam setelah Coki dan Sesil putus. Makin menjadi-jadi lah tuduhan dia pada saya."

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now