11. New Level

626 130 19
                                    

Sesil ini gila, ia datang tak jelas juntrungannya, langsung marah-marah tidak jelas, lalu merampok cek. Dari mana ia tahu kalau di saku kemeja ku ada kertas cek? Jangan-jangan ia memang sudah menguntit sejak awal. Apalagi Om Harunza menyerahkan cek itu di pinggir jalan. Di tempat terbuka. Orang tentu mudah melihat, kalau memang niat. Bukan kah di Jakarta orang cuek sama urusan orang. Elu-elu, gue-gue. Kalau Sesil melihat, ya berarti bukan kebetulan, ia memang niat melihat, atau ... sengaja menguntit.

Cuma caranya enggak asik banget. Bisa kan dia nanya baik-baik, nggak model kampungan cengkram dan tarik kerah baju orang, macam jagoan gitu. Dan satu hal bikin aku mendidih, dia bilang cek itu bukan hak aku. Lalu jadi hak dia, dengan mengantonginya? Maksudnya apa?

"Kamu maling rupanya?" seruku sengit.

"Aku tahan cek ini, sampai dapat penjelasan dari kamu. Ada hubungan apa kamu sama Om Harunza?" kata Sesil dengan dagu naik, juga tangan kiri yang berkacak pinggang.

Aku sempat terdiam, memikirkan sesuatu yang efesien untuk menjawab. Satu, karena aku tak bisa berpanjang-panjang bertengkar di keramaian. Dua, karena jika berpanjang-panjang, aku bisa terlambat masuk kerja.

"Aku berurusan dengan Om Harunza hanya urusan biasa, tidak serumit kamu, Om Harunza dan Coki." ujarku setenang mungkin.

Mendengar ucapanku barusan, Sesil tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Posisi berdiri dia tak setangguh tadi, tubuhnya mulai bergerak canggung dan mulai kelihatan gelisah.

"Tenang saja, Om Harunza tak tahu apa-apa tentang kerumitanmu. Aku tak peduli dan tak punya kepentingan ngurusin urusan orang lain. Jadi, sini, kembalikan hak aku."

Dengan tenang, aku mengulurkan telapak tangan kananku. Dan berhasil, ia seperti tak punya pilihan lain lagi sekarang, selain merogoh saku celananya dan mengulurkan jari yang menjepit kertas cek ke arah ku. Mungkin kena embusan angin, ku lihat cek itu gemetar.

Ketika cek itu menyentuh tanganku, tangannya tiba-tiba meremas ujung jari-jariku, sambil berkata, "kok, bisa, nama kamu siapa?"

Iba juga melihat mimiknya kebingungan seperti itu, ku sebut saja nama ku. Sesil benar-benar tercengang - pasti nama ku tidak terdengar asing lagi di telinganya. Iya, ini aku, nama yang membuatmu cemburu, desisku dalqm hati. Tanpa berusaha kelihatan dalam posisi menang, aku bilang:

"Dunia ini memang sempit dan ajaib. Tapi aku orang yang bisa dipercaya. Kamu bisa pegang omongan ku ini; aku tidak peduli kerumitan yang terjadi di hidup kamu, jadi mari kita lupakan dan jalani hidup kita masing-masing seperti biasa," ujarku santai, sambil menaruh cek ke dalam tas, lalu balik badan dan berjalan cepat-cepat, pergi meninggalkannya. Aku tidak menunggu, atau peduli padanya sekarang. Aku hanya ingin perkara ini selesai dengan segera. Itu saja.

Ada sih perasaan ngeri jika mengingat, di "penglihatan"ku kejadian ini tidak berakhir semulus ini. Itu sebabnya, aku berjalan cepat-cepat. Penglihatan itu masih tergambar jelas, bagaimana aku di dorong keras masuk ke mobilnya. Aku sampai harus memastikan keadaan dengan bolak-balik menengok ke belakang. walau tidak selalu harus berputar sedemikian rupa, sampai bisa disebut menengok ke belakang. Kadang hanya melirik sejauh pundak saja - setidaknya aku akan tahu jika ada orang sedang berjalan di belakang beberapa langkah dari langkahku. Untung lah, sampai aku menaiki bis, tak ada seorang pun mengikuti.

*
Sejak peristiwa itu, tidak ada gambaran atau fenomena "penglihatan" lagi. Mungkin ada benarnya seperti Om Harunza bilang, bahwa peralatan interface yang ku beli mengalihkan indra aneh-aneh itu tidak terjadi. Aku terlena dan asyik dengan duniaku sendiri. Bergelut dengan gairah baru, meramu sound sound dari syntisizer baru, dan melahirkan rangkaian notasi dan nada musik instrumental sebagai karya.

Dengan alat ini, beberapa teman mulai mengajak ku bekerjasama untuk menggarap lagu-lagu mentah mereka. Aku mulai belajar sebagai arranger ya, karena ini. Seru. Bagaimana aku bersemangat menerjemahkan lagu sesuai keinginan mereka untuk diramu menjadi musik. Kepuasan mereka seperti kebahagiaan tersendiri buat ku.

Tidak selalu mulus, karena terkadang keinginan mereka kontradiktif dengan lagu yang mereka ciptakan. Seperti Elang misalnya, ia anak Kedokteran Trisakti. Ia membuat lagu sedih dengan nada minor, sementara ia ingin lagu sedihnya di kemas dalam nuansa musik dengan beat drum yang rancak. Bagaimana mungkin sebuah lagu sedih bisa dikemas dengan musik up beat? Secara musikal notasi mayor lah yang keren untuk up beat. Lah, ini minor. Tapi Elang bilang, justru dia ingin sembunyikan kesedihan lewat beat kencangnya. Dih, padahal liriknya segitu gamblang, gimana mau diumpetin, coba?

Tapi ini tantangan. Aku mencoba memberinya masukan agar liriknya diganti saja dengan makna yang lebih metafor, bukan terlalu gamblang begitu. Tentu saja aku melakukannya setelah aku membuat sample musik sesuai keinginannua. Tetapi, setelah dia mencoba sendiri dan ternyata ia merasakan betapa janggal lagunya itu ketika dinyanyikan. Padahal aku sudah menggali dari banyak referensi, siapa-siapa yang punya lagu up beat dengan notasi minor. Kalau dangdut koplo sih banyak (ini lah uniknya musik jaman sekarang, lagu sedih pun bisa ngoplo, padahal Elang tidak main di area genre itu. Akhirnya aku dapat referensi dari beberapa lagu rap. Aku coba main nuansa, karena Elang bukan rapper. Reaksi Elang ngakak sendiri lagu sedihnya jadi ceria. Setelah kompromi sana dan sini, mau tidak mau memang harus dilakukan akhirnya Elang mau juga ku turunkan tempo Beatnya menjadi middle, tidak maksa di up beat lagi. Baru lah, dia ngeh dan senang dengan hasilnya.

Begitulah kira-kira asyiknya dunia ku sekarang. Karena alat ini pergaulanku meluas lagi, cabangnya juga semakin banyak. Tidak terbatas pada scoring film. Aku mulai menyentuh lebih banyak lagi nuansa musik. Mulai banyak teman yang meminta bantuan ku dengan upah mulai; "terimakasih" sampai uang. Hasil garapan ku, kata mereka rapi, editan ku halus, soundku juga mendekati sound musik luar katanya. Mereka bilang begitu, buat ku sih, seneng-seneng saja, tapi yang paling penting namaku diperhitungkan. Lingkaran memang masih kecil, masih di lingkup anak-anak Indie lokal, tapi dunia anak musik itu melebar pada akhirnya. Mereka kan sering manggung bareng anak-anak kota lain. Sering di undang berbagai pertunjukan di daerah lain. Harapan ku, suatu saat, daerah lain akan mendengar namaku dan berminat melakukan kerjasama. Disamping itu, tentu saja aku gerilya sendiri sebagai scoring, masuk ke komunitas komunitas Asia, di situs-situs yang bertebaran di dunia Maya.

Dari situ, mulai lah aku punya penghasilan dari dunia musik dan berani pamit pada tanteku untuk mundur dari toko coklat miliknya. Aku ingin fokus, selain kuliah tentu saja. Biar waktu luang ku tidak habis karena terlalu banyak kegiatan, kan? Tanteku terpaksa menyetujui setelah meyakinkan dia, aku keluar kerja bukan karena mau bekerja di dunia malam lagi. Aku tahu kekhawatiran tante ku, cuma takut aku nyemplung di klub-klub malam lagi. Tapi setelah menjelaskan dunia baru ku ini, baru lag ia setuju, apalagi setelah kuajukan Lisna untuk menggantikan posisiku di toko. Tanteku senang, karena tak harus repot lagi mencari pengganti. Sempat kutawari pada Ayu, tapi mendengar gajinya, Ayu memilih di dunia "perdesahan" saja.

Dengan bergulirnya waktu ku pikir aku sudah lupa, fenomena-fenomena ganjil Prekognisi, dan beranggapan itu hanya fenomena yang datang pada ku tanpa kesengajaan, seperti layaknya kelainan kerja semesta saja. Banyak fenomena alam yang aneh terjadi yang sifatnya tidak permanen. Seperti fenomena hujan es yang terjadi di negara tropis, misalnya. Mungkin saja hal itu terjadi, tapi tidak menjadikan negara ini jadi mempunyai musim tambahan, kan? Aku pikir Prekognisi yang terjadi pada ku juga begitu. Apalagi aku sudah berani duduk duduk di balkon lagi, dan tak pernah terjadi apa-apa. Aku juga tidak pernah melihat lagi di balkon apartemen lantai sebelas itu, ada kehidupan. Tidak pernah kulihat Sesil atau Om Harunza di balkon itu lagi. Tidak mau peduli juga. Jadi, kupikir hidupku sudah senormal sebelumnya.

Ternyata tidak. Dan prekognisi sialan itu terjadi lagi. Tapi bukan ketika aku duduk di balkon, justru terjadi saat aku menggarap musik di studio, ketika aku membantu anak IKJ, namanya Tio. Waktu itu kami sedang mengerjakan backing track untuk keperluan ujian gitar elektrik dari jurusan yang Tio ambil. Terjadi di studio pribadi miliknya. Membuat aku berpikir tujuh keliling, karena visualnya menyangkut Ciko. Bangke! Begini ceritanya.

***
Woy ngomong woy 😄

PRECOGNATIONDove le storie prendono vita. Scoprilo ora