17. Jarak Jauh

500 117 29
                                    

Aku tercekat. Untuk sesaat tak ada satu kata pun mampu keluar, terlalu banyak yang ingin kukatakan. Setiap kata seperti saling berlomba ingin keluar dari mulutku dan berdesakan di tenggorokan, akibatnya tak satu pun berhasil keluar. Semua kata-kata hanya menjadi gemuruh gelombang saja di kepala.

Diammu boleh kusimpulkan benar?

Aku mengangguk.

Bagaimana?

"E e.. iya Om, benar," kata ku dengan suara serak.

Aku mendengar tarikan napasnya menimbulkan suara gemeresik di spiker hape ku. Kepalaku mulai menebak dan menduga-duga, apa sebenarnya yang mau  ia bicarakan tentang visual yang ku alami? Bagaimana dia tahu? Apakah dia seorang yang memiliki Prekognisi juga?

Sudah kuduga, ujarnya. Desah suaranya terdengar resah.

"Bagaimana Om tahu?" Akhirnya aku memberanikan diri.

Panjang ceritanya. Singkatnya, saya secara kebetulan selalu menemukan sesuatu yang terhubung dengan kamu, kalau Sesil mengalami gejala itu ...

Kalimatnya mengambang lagi, "saya nggak ngerti Om, maksudnya bagaimana ya?"

Om Harunza menarik napasnya, seberat tadi lagi.

"Sesil mengalami apa Om?" desakku mulai tak sabar. "Apa yang terhubung ke saya?"

Aduh ... bagaimana saya bilangnya ya, saya bingung mulainya dari mana.

"Om sekarang di mana?"

Di apartemen Sesil.

Aku tersentak, tanpa sadar tubuh ku beringsut dari sofa, menatap balkon apartemen di lantai sebelas di depanku itu. Otak ku  mempertimbangkan banyak hal, namun rasa penasaran, membuatku spontan berkata, "Om coba ke balkon sekarang," pinta ku dengan dada berdebar.

Balkon?

"Iya Om, balkon Sesil, katanya Om sedang di apartemen Sesil."

Untuk apa?

"Lakukan saja, Om akan tahu," kataku cepat.

Hening. Hanya dengusan napas  teratur yang kudengar kemudian. Tak lama setelahnya, baru lah terdengar seperti suara anak kunci diputar. Aku deg-degan.

Saya sudah di balkon, lantas?

"Om lihat, ke depan, agak serong ke kanan, saya sedang melambaikan tangan," sahut ku. Masih berdebar-debar.

Loh kamu ... Jadi selama ini kamu tinggal di bangunan seberang apartemen ini?

Aku mengangguk. Kami saling melihat dalam jarak puluhan meter, tak tahu persisnya, tapi kukira memang puluhan. Bangunan kami secara teknis hanya terpisah oleh area kolam renang beserta taman buatan yang tidak terlalu luas, lalu pembatasnya, hanya tembok setinggi empat meter-an. Dibalik tembok adalah gang kecil bagian belakang bangunan flat ini. Isinya hanya barang rongsokan yang mungkin sengaja ditaruh para penghuni atau mantan penghuni flat ini. Seperti sepeda anak yang berkarat, kulkas bekas, tv tabung dus dus besar, yang entah apa isinya, dan lain-lain. Di ujung tembok itulah, ada bagian bata-bata yang runtuh karena usang. Tertutup  rimbunnya pepohonan — tembok tempat ku biasa memanjat untuk berenang malam-malam.

Pantas saja, Sesil merasa diawasi seseorang. Dia sering bilang, ada seorang gadis tak dikenal, pasti tak jauh dari sini, melihat apa yang dia lihat. Saya abaikan, sampai malam itu pas saya jatuh dari balkon bertemu kamu. Dan entah bagaimana seperti ada yang mendorong saya untuk menitipkan dompet sama kamu.

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now