10. What!

618 127 16
                                    

Tanganku gemetaran  memegangi kertas cek itu. Sungguh, rasanya terlalu ganjil dan merasa ada yang tidak beres. Ganjil karena aku meyakini tidak mungkin ada khayalan yang menjadi nyata selain di dunia film, novel, atau  setingan ala ala acara variaty show di telivisi. Aku tidak percaya keajaiban. Keajaiban hanya milik orang-orang level atas. Yang punya lingkaran sosial ajaib, juga kekuasaan ajaib. Level bawah sepertiku hanya kebagian menggapai-gapai saja, tidak ada lingkaran ajaib, apalagi kekuasaan — sebagai syarat mengecap keajaiban.

Tidak percaya? Khayalanmu apa? Jadi youtuber kondang? Coba tengok mereka yang sukses di situ. Rata-rata mereka orang yang punya kuasa (uang) lah yang berhasil. Kalau punya uang, kamu bisa beli follower bertahap, seolah kontenmu memang berkembang secara alami. Nitizen kita kebanyakan akan relatif tersugesti, jika melihat sesuatu, yang dilihat banyak orang. Meskipun banyaknya viewer tidak menjamin sebuah konten itu bagus. Masih tidak percaya? Cek saja latar belakang yang top top itu. Siapa mereka, anaknya siapa atau di lingkaran mana mereka bergaul.

Jalan lain yang memungkinkan sebuah keajaiban terjadi, jika kamu adalah seorang yang memang sudah populer (penyanyi, aktor, dan lain-lain). Seorang yang populer mau bikin tingkah atau konten apa pun pasti dilirik. Bagaimana caranya bisa populer? Dibeli juga! Jaman sekarang populer juga bisa diciptakan pakai duit. Hanya satu, atau dua saja dari sekian ratus orang yang benar-benar merintis popularitasnya dari nol. Itu pun tak jarang , harus dengan cara bikin hal kontroversial, atau yang mencengangkan publik. misalnya, mempermalukan diri sendiri sampai semalu-malunya. Atau bisa juga dengan mengajak "gelut" publik figur lain di media secara terbuka. Sok nyeleneh? Itu juga bisa.

Aku sedang dalam fase skeptis seperti itu memang. Sori. Tapi kenyataan sepwrti itu, sulit sekali dibantah.  Maka dari itu aku tidak menjadikan populer sebagai tujuan tunggal, karena jalannya pasti menjijikan. Sementara hobi adalah kesenangan yang jujur dan sesuatu yang rela kita lakoni. Tidak ada yang punya hobi pura-pura. Andai hobimu membawamu pada popularitas, senangmu juga jujur. Ambisi adalah mengeksplor hobi sampau jauh untuk menjadi sebuah karya, bukan popularitasnya. Kebayang nggak sih asyiknya?

Balik lagi pada urusan cek. Melihat cek ini, jelas saja aku merasa ada yang salah dan ganjil. Nilai rupiah sebesar ini sebagai upah mengembalikan dompet? C'mon .. untuk alasan itu, dengan halus aku menolak menerima.

"Saya tidak bisa terima ini Pak?"

"Kenapa?"

"Justru saya yang harus bertanya, kenapa hanya kembalikan dompet, upahnya bisa sebesar ini. Makan siang atau sekedar mengganti ongkos saya ke sini, masih masuk akal, Pak," ujarku berusaha biasa saja, tanpa penekanan intonasi apa pun.

"Lho saya senang dompet ini kembali. Resiko andai dompet ini tidak kembali, jauh lebih tinggi nilainya dari angka di cek itu, Dek," jawabnya berusaha meyakinkan.

"Tetap saja terasa berlebihan Pak," sahutku kukuh.

Om Harunza mendengus pelan, wajahnya yang bergaris senyum, tampak  kontras dengan matanya yang bergerak  gusar.

"Kamu tahu resiko yang saya ambil dengan menitipkan dompet ini pada orang asing seperti kamu? Saya hanya mengandalkan insting malam itu, dan memutuskan mempercayai kamu. Kepercayaan itu mahal banget harganya loh, Dek. Dan saya beruntung insting saya benar," katanya. Berusaha sekali dia memberi pengertian dengan hati-hati.

"Ya, beruntung banget, karena saya awalnya mau rampok uangnya loh, Pak, hanya saja saya ingat kita pernah bertemu sebelumnya."

"Nah, apalagi sampai begitu," potongnya cepat.

Aku terdiam. Kepalaku mulai goyah, sementara hati kecilku masih merasa ada sesuatu yang ganjil.

"Jumlahnya itu lho Pak, enam belas. Kenapa angka itu?" Gumamku nyaris berbisik.

Matanya bergerak gusar lagi. Kepalanya lantas menengok ke sekeliling sebelum mencondongkan badannya ke depan, ia seperti khawatir ada orang lain mendengarnya.

"Nah itu. Begini saja .. anggap saja ini sebagai kompensasi ke depan, uhm .. andai kamu "melihat" sesuatu lagi di penglihatanmu, tolong abaikan saja. Kamu tahu maksudku, kan?"

Apa kubilang! Sumpah, sekarang aku lah yang gusar. Amat jelas dia memberi tanda petik di udara ketika mengucapkan kata, m-e-l-i-h-a-t. Aku menatap langsung ke matanya, mencari sesuatu yang bisa meyakinkan ku. Sesuatu itu apa, entahlah, aku sendiri tak tahu.

"Bapak lihat apa yang saya lihat?" tanyaku sedikit berdebar.

"Tidak persis begitu. Tapi jika kamu alami yang berhubungan dengan seseorang di penglihatanmu, otomatis akan terhubung "feel-nya" pada orang yang bersangkutan, jadi berhati-hati lah," ujarnya berbisik.

"Maksud Om, eh, Bapak?

Dia terkekeh geli, "Om juga tak apa, lebih cair. Saya tidak nyaman membicarakan ini. Tapi kamu pasti paham maksud saya," imbuhnya.

"Om juga alami seperti yang saya alami?"  kejarku lagi.

"Sudah, sudah sebaiknya kita hentikan ini. Tolong berhati-hati lah. Abaikan saja, seberapa kuat pun anehnya. Sudah ya."

Aku tidak bisa kejar lagi. Sinyal Om Harunza sangat jelas, dia tidak mau lagi bicara tentang ini. Aku tahu diri dan pamit dengan rasa penasaran yang masih menggunung. Dia mengangguk lega. Kelihatan sekali.

*

Baru saja aku berjalan lima meter menyusuri trotoar — aku harus ke perempatan di ujung jalan ini untuk bisa naik angkutan menuju tempatku bekerja. Pukul 13.20  terakhir kali ku tengok jam di hape, tiba-tiba sebuah mobil berhenti.

"Kamu lupa sesuatu." Om Harunza turun dari mobil dan menyodorkan cek yang memang sengaja ku buat lupa.

"Nggak Om, saya nggak bisa terima. Saya tetap akan hati-hati seperti yang Om bilang kok," kataku, sambil mendorong halus tangannya.

"Aduh, kamu ini nggak paham juga ya. Beli sesuatu dengan uang ini, biar penglihatan mu teralihkan. Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua serba terhubung. Kita hanya berusaha mengakali situasi, terutama kamu. Percaya lah," desaknya dengan mimik wajah menuntut. Aku tak paham yang dia ucapkan.

Om Harunza kelihatan tak sabar lagi, dia langsung melipat kertas ceknya dan menyelipkan paksa di kantong depan kemeja ku, lalu cepat-cepat masuk kembali ke mobilnya, sebelum aku sempat bicara apa-apa lagi. Aku cuma berdiri termangu mengiringi mobil itu melaju dan hilang di belokan perempatan sana. Baru tersentak sadar setelah seorang pejalan kaki menyenggol bahu ku. "Minggir woy!" teriaknya. Aku diam saja, sambil perlahan berjalan lagi.

Jalanan terasa terik dan gerah. Pohon-pohon besar juga tidak membantu sama sekali dengan kerindangannya. Polusi di Jakarta memang sangar. Atau, otak ku lah penyebabnya, yang sudah terlanjur panas berfikir sedari tadi? Bisa jadi begitu. Akhirnya aku cuma bisa mendengus senewen sambil terus berjalan lebih cepat.

Ketika aku masih setengah perjalanan menuju lampu merah perempatan, tepatnya di depan Galeri resto, sebuah mobil berhenti di dekat ku dengan bunyi decitan rem yang meringkik pekak. Nyaris saja aku melompat karena kaget, kupikir aku bakal di tabrak atau apa. Tapi tidak, trotoar ini cukup tinggi untuk dilompati mobil.

Waktu kepalaku refleks menengok dengan mata melotot siap-siap menghardik pengendara itu, pintu kemudinya malag terbuka ... Sesil! Benar itu Sesil. Dadaku memang berdebar karena kaget suara decitan ban, sekaligus kaget melihat Sesil keluar dari sana. Tapi instingku langsung menghubungkannya dengan "penglihatan ku" sebelumnya tentang Sesil. Entah mengapa kakiku seperti mengajak ku berjalan cepat-cepat menjauhinya. Aku tidak mau masuk mobilnya! Aku tidak mau di dorong masuk mobilnya seperti penglihatanku waktu itu. Begitu teriakan berulang dikepalaku.

"Heh! Jangan pergi, aku mau ngomong sama kamu!" Suara Sesil disertai cengkraman kuat tangannya di kerah kemeja belakang, membuat langkahku terhenti seketika. Darahku langsung mendidih.

"Apa? Harus ya ngajak ngomong kasar gini caranya!" bentakku balik badan, dan tak terima perlakuannya.

"Kamu siapanya Om Harunza?" Pekiknya meninggi.

"Apa urusanmu?" balasku ketus.

"Jelas jadi urusan ku, ini apa?" ujarnya menarik kasar lembaran cek dari kemeja ku, "ini bukan hak mu!" gertaknya sambil memasukkan cek itu ke dalam saku celana pendeknya.

***
What???

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now