24. Spotlight Stage

478 112 18
                                    

Aku bangun keesokan harinya ketika matahari sudah tinggi. Aku mengetahuinya setelah keluar dari kamar sempit ku. Matahari tidak tembus sampai ke bilikku, karena di sana tidak ada jendela, dan kamarku terletak di tengah, dihimpit dinding GRC tanpa lubang apa pun. Satu-satunya sirkulasi udara hanya dari pintu.

Semalam memang ajaib. Begitu aku merasa aman di dalam flat, tubuh ini langsung berbaring di tempat tidur, istirahat. Rasanya lelah sekali, seolah aku baru saja menempuh perjalanan selama belasan jam lamanya. Rasa penat, pening dan ngilu di sekujur tubuh, tidak menyisakan lagi ruang untuk berpikir. Pokoknya cuma mau tidur, biar yang lainnya kupikirkan besok saja, begitu keinginan termahalku tadi malam.

Aku menikmati secangkir kopi beberapa tegukan di dapur — di jam seperti ini tak nyaman duduk di balkon, matahari akan terasa terik, meski belum terlalu siang. Terdengar suara ketukan di pintu. Ketukan keras, seperti menggedor. Tak ada orang selain aku di flat ini, mereka pasti sudah beraktifitas sesuai agendanya masing-masing.

Sempat ragu, jangan-jangan Sesil yang berdiri di sana. Tapi, mustahil dia tahu nomor flatku. Bahkan andai Coki memberitahunya, tak akan tahu, sebab Coki tak pernah menghafal nomor. Dia hanya tahu letaknya. Sementara deretan pintu tiap lantai gedung ini, banyak. Jika tidak sering ke sini, pasti akan kesulitan, yang mana pintu flat ku.

Tak ada lubang intip di pintu, seperti di apartemen-apartemen mewah, jadi aku tak akan bisa tahu siapa tamu di depan, selain dengan membukanya. Sudahlah, aku yakin bukan Sesil, bisik batinku mantap, lalu melangkah ke pintu dan membukanya.

"Ya ampun, dari pagi aku hubungi kamu nggak diangkat-angkat, gimana, sih!" Dani, anak seni rupa IKJ menerobos masuk sambil menatapku lekat dan tajam. Aku kebingungan sebentar.

"Memang hari ini, ya?" tanya ku kikuk.

"Ya ampun Cong, tega banget sih lo, jam dua kita cek sound, ini jam berapa?" tuding nya masih menatap tajam.

"Jam berapa emang?"

"Jam dua belas peak!"

"Aduh, aku mandi bentar," ujarku kalang kabut.

"Nggak usah mandi, lo tahu macetnya Sentyong kan?"

"Yaaah, masa nggak mandi."

"Cuci muka aja, noh di westafel dapur."

"Dih, masak di situ sih," tawarku.

"Kalau di kamar mandi lo pasti mandi, udah cepetan."

"Iya, iya," aku menyerah.

Aku bahkan nggak diperbolehkan memakai bedak. Ia menyuruh ku melakukannya di mobil saja katanya, sompret! Begitu lah, kami terburu-buru memasukkan alat-alat ku ke tas. Dani tidak memperhatikan lagi kamar yang berantakan oleh kabel-kabel yang berserakan. Dengan telaten, Dani  menggulung satu per satu sementara aku mengganti baju di kamar Ayu.

"Lo butuh berapa kabel out?" teriaknya.

"Empat." jawab ku dari kamar Ayu.

Mendadak aku ingat amplop itu.  Buru-buru aku lari ke kamar, memindahkan amplop yang belum sempat kulihat isinya itu, ke dalam sarung bantal. Kupikir iru tempat paling aman untuk saat ini.

Terus-terang aku benar-benar lupa kalau hari ini aku harus membantu bandnya Dani manggung di acara Dies natalis anak Salemba.  Aku bahkan masih mengingat-ingat lagu apa saja sih yang bakal dibawakan nanti. Makanya, begitu kami sudah di dalam mobil, aku minta Dani memutar lagu yang bakal dibawakan.

"Jangan bilang Lo belum ngulik lagunya,"  kata Dani sambil memasukan cd demo lagu bandnya.

"Udah ih, cuma aku perlu refresh aja," jawabku.

Kalau boleh jujur, aku baru ulik dua lagu, yang ketiga belum sempat.  Makanya aku minta Dani mengulang lagu ketiga beberapa kali. Lama-lama Dani curiga.

"Lo belum ulik yang ini, kan?" Aku diam saja pura-pura konsentrasi.

"Resek Lo emang, tuh gitarnya di belakang, gue belum sempet masukin case!" teriak Dani Kesal. Aku meringis. Buru-buru kuambil gitar miliknya dan mulai mencari kord kord lagu ketiga. Baguslah, bukan kord rumit ternyata.

Hanya saja keganjilan aku rasakan selama dalam perjalanan satu jam lebih, plus macet itu. Beberapa kali aku  seperti melihat bayangan Om Harunza di mana-mana. Kadang di mobil orang, yang sama-sama melaju di jalur yang sama. Kadang aku melihat di halte, duduk termenung di antara orang-orang. Kadang di trotoar, sedang jalan sendirian. Waktu kuikuti sampai aku tengok ke belakang, matanya seolah menatapku dari kejauhan. Tatapan yang sulit sekali ditebak, karena laju mobil membuat pandanganku terhalang banyak hal lainnya, pohon, gedung, mobil.

Semakin parah, saat aku dan bandnya Dani tampil. Kami tampil  kebagian jam tujuh. Jadi begitu selesai cek sound, kami tidak pulang, melainkan menunggu di ruangan yang memang sudah disiapkan EO. Ya maklum namanya Jakarta, jeda empat jam tidak akan cukup untuk menanggung resiko apakah bisa balik lagi ke venue. Berita bagusnya, jam empat aku sempat mandi juga di venue.

Gila aja masa mau naik panggung nggak mandi dari pagi. Kalau masalah makan sih memang ada jatah, tapi nggak mandi? No way.

Nah, puncak keanehan justru terjadi saat kita main. Pas lagu ketiga pula. Lagu yang butuh konsentrasi, karena harus mengingat kord. Sudah tak sempat lagi mainin rasa. Bagiku, kordku tidak salah saja sudah untung. Anehnya, amat parah! Entahlah mungkin warna spotlight dan laser malam itu memicu prekognisiku muncul atau apa, aku tak tahu, yang jelas aku seolah melihat Om Harunza di tribun penonton. Aku yakin memang dia yang duduk di tribun paling depan walau suasana remang-remang. Sosoknya aku hafal betul.

Om Harunza duduk tenang sambil menatap, bukan ke arah panggung, tapi ke arah kerumunan  penonton di depannya. Penonton yang berdiri di area panggung. Area festival namanya. Konsentrasiku mulai pecah di situ. Aku tahu partku krusial, aku bermain nuansa dengan sound olahan syntisizer. Iramanya up beat klasik ala duran-duran. Semua terpusat lewat syntisizerku. Ketukan drum yang dimainkan Jon juga ikut ketukanku, makanya Jon pakai head set monitor, agar selaras.

Memang semua beat sudah jadi dan terkonsep, tapi bermain nuansa sound dan kord nya, tetap aku mainkan secara live. Permainanku mulai kedodoran ketika melihat Om Harunza seperti sedang mencari sesuatu di kerumunan area festival. Puncaknya, saat spotlight memberi ku kilasan cahaya, aku menangkap mata Om Harunza mendadak terpaku di tengah kerumunan. Waktu kuikuti arahnya, ternyata ...

Sesil ada di tengah kerumunan! Sedang mengayunkan botol air mineral  kosong ke kepala orang. Tak jelas siapa yang sedang dipukulnya, karena orang itu hanya melindungi kepalnya dengan kedua lengan yang di tangkupkan di atas rambutnya. Aku jadi terhipnotis melihat kejadian itu dan mendadak buyar tak tahu harus memainkan apa. Tanganku hanya mengambang di atas tuts tanpa melakukan apa pun. Doni sampai mendekat dan memberi tatapan mendakwa. Aku menggeleng bingung.

Dan ketika kilas  spotlight menyapu lagi ke bagian penonton, saat itu aku terhenyak melihat orang yang tengah dipukuli kepalanya oleh Sesil, tak lain Coki!  Wajahnya tersingkap karena satu lengannya terangkat berusaha menghalau botol kosong yang di hantam-hantam ke kepalanya. Aku juga sempat melihat segaris darah mengalir kecil dari pelipis.

Emosi ku langsung meluap, merasa tidak terima sahabat ku diperlakukan begitu. Aku bergegas ke arah depan panggung, mengambil botol air mineral yang tergeletak di depan monitor lalu menentengnya. Sebelumnya, aku masih sempat mendekat pada Dani dan berbisik,  'ambil partku Dan, tolong ... mainin aja ambience drive sama delaymu, tarik nada panjang panjang,'

Aku tidak menunggu lagi jawaban Dani, langsung melesat ke bibir panggung dan melempar sekuatnya botol yang kupegang  ke arah Sesil. Aku teriak kencang sekali, "Berenti mukulin dia, brengsek!"

Seketika suasana penonton langsung kacau. Dipikirnya aku melempar botol karena emosi ada penonton yang resek. Mereka jadi kepancing saling dorong dan saling tubruk. Aku sempat kebingungan, apakah mereka rusuh, atau sedang atraksi moshing. Yang jelas detik berikutnya tangan ku ada yang metarik paksa dari belakang. Dani yang menarikku. Selebihnya mendadak semua gelap. Lampu padam, sound panggung langsung mati.

***
Hai hai si Om come back nih!
Gimana lebarannya, seru nggak?

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now