16. Resah

526 117 20
                                    

Terus-terang kondisi begini  membuatku tertekan. Aku terus memikirkan sekaligus mencemaskan kondisi sahabatku Coki, juga betapa aku ingin menjelaskan tentang cek itu. Tapi tidak bisa. Sudah berhari-hari aku frustasi mencarinya. Dia bahkan sampai tidak pernah masuk kampus. Aku jadi sulit tidur, pikiranku berputar-putar tanpa henti. Hanya musik pelipur resah ku. Aku jadi sering menumpahkan segala rasa lewat nada-nada. Sayangnya, komposisi ku jadi bernuansa redup, lirik ku ambigu dan notasi ku selalu minor.

Beruntung aku bekerja patuh pada pesanan, jadi terbantu atmosfir anak-anak musisi yang rame dengan candaan candaan di atas normal, cukup untuk ku membangun ruang mood sesuai pesanan. Coba kalau tidak, bisa stres berpikir tak putus-putus begini. Kadang aku sengaja menenggelamkan diri pada tugas-tugas kuliah dan sering juga membantu Coki mengerjakan tugas-tugasnya. Jangan heran, meskipun aku dan Coki bukan satu jurusan yang sama, aku kenal teman-temannya, Aku tinggal update  lewat mereka dan kerjakan bersama mereka, beres. Setidaknya, aku sedang berusaha membantu menambal masalah yang menimpanya ini, agar tidak terlalu berantakan, lalu merusak kuliahnya.

Bagaimana pun Coki harapan ibunya. Dia sudah tak mempunyai ayah sejak SMP. Hidupnya di topang oleh seorang ibu yang bekerja sebagai PNS rendahan. Ibunya mati-matian membiayai Coki agar bisa sekolah tinggi. Lagi pula, Coki bukan tipe anak resek yang tega sia-siakan pengorbanan ibunya. Aku saksinya  bagaimana ia berusaha membiayai hidupnya di kota besar ini dengan menjadi perakit dan programer komputer. Jika saat ini, bab hidupnya sedang tidak dalam kendalinya, aku rasa bukan karena kesengajaannya. Bukan kah memang hidup begitu, kadang kesemrawutan tiba-tiba saja datang dan mengacaukan ketenangan, keteraturan  bahkan keteguhan hidup seseorang.

Aku rasa ini salah satu faktor yang membuatku klik dan bisa bersahabat dengan Coki. Aku juga anak yang dibesarkan hanya dari tangan seorang ibu. Ayahku juga meninggal saat aku masih kecil, dan ibu tak pernah menikah lagi setelahnya, hanya mau fokus pada hidupku dan adikku saja. Ibu mati-matian banting tulang demi dua orang anaknya sebagai peternak ikan — usaha peninggalan ayah. Sedari kecil aku sudah ditempa dan  dipaksa melihat kerasnya perjuangan ibu, dan itu cukup membentuk tekad ku untuk membantu meringankan bebannya, sekecil apa pun. Dari mulai membiayai diri sendiri, kadang aku mengirim sedikit uang hasil jerih payah ku untuk membantu keluargaku, selain tentu saja berusaha mewujudkan mimpi ibu, mempunyai anak yang bersekolah tinggi. Ada kesamaan nasib antara aku dan Coki. Maka dari itu aku merasa harus membantunya juga. Coki pun akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada ku. Kalau urusan salah paham, kupikir nanti juga waktu akan memberi kesempatan kami untuk membenahi. Aku percaya itu. Mudah-mudahan begitu.

Gara-gara keruwetan ini, juga tekanan emosional ini, mungkin,  jadi membawaku merasakan hal aneh-aneh lagi. Prekognisi mulai datang lagi. Meskipun tidak lagi segamblang sebelumnya. Gambarannya buram dan terpotong-potong dan sulit menghubungkannya satu sama lain menjadi satu kesatuan yang bisa kupahami. Visualnya terlalu banyak dan bergerak terlalu cepat.

Ini lebih menegangkan dari sebelumnya. Adegan peristiwa-peristiwanya selalu datang tiba-tiba, di mana pun, bahkan dengan mata terbuka. Sungguh, dengan mata terbuka. Tidak lagi seperti sedang pingsan, tidur atau terpejam. Visual jadi bertumpuk-tumpuk antara kejadian nyata dan gambaran Prekognisi yang melapisi. Bisa kualami ketika sedang naik busway, commuter bahkan ojek. Bisa dibayangkan, bagaimana aku yang sedang bengong melihat deretan gedung berlari di luar kaca busway, tahu-tahu muncul kilatan kilatan gambar buram sepotong demi sepotong dengan gerakan cepat sekali. Lebih cepat dari pemandangan di luar kaca busway. Ini mendebarkan dan menakutkan.

Menakutkan, karena aku jadi mulai meragukan kewarasanku.  Potongan potongan gambar hidup itu hanya berputar dari wajah Ciko ke wajah Ciko lagi. Pelipisnya berdarah, mimiknya juga aneh, setelah itu aku melihat tubuh ku di dorong paksa masuk ke dalam mobil. Ada juga potongan-potongan gambar bisu Om Harunza dan Sesil yang sedang bertengkar dan saling berteriak satu sama lain. Ini seperti visual yang pernah aku alami juga sebelumnya, sama, hanya kali ini datangnya acak-acakan.

Dari semua visual itu, tak satu pun menjadi kenyataan, se-nyata seperti saat Om Harunza terjun dari balkon. Makanya aku mulai deg-degan dan mengira-ngira, jangan-jangan aku hanya berhalusinasi. Semua visual itu tidak segera berubah menjadi kenyataan. Apalagi namanya kalau bukan halusinasi? Ngerinya, dari info seorang ahli kejiwaan mengatakan,  jika halusinasi muncul — bukan karena efek obat-obatan atau sejenis narkotika, berarti kita masuk dalam kategori skizofrenia atau setidaknya mengalami depresi berat dengan gejala psikosis. Yaitu, gejala gangguan mental di mana seseorang merasa terpisah dari kenyataan yang sebenarnya, ditandai dengan gangguan emosional dan pikiran. Penderita psikosis akan sulit membedakan hal yang nyata dan tidak. Aky belum sampai pada tahap sulit bedakan antara nyata dan tidak, sih, tapi membayangkan itu, aku bergidik juga. Sialan.

Kecemasanku tentu beralasan, jika sebelumnya fenomena yang kualami, kuanggap sebagai prekognisi, ya karena visualnya berubah jadi kenyataan. Dalam kasus jatuhnya Om Harunza, visual dan kenyataan hanya selisih beberapa jam saja. Sementara visual yang terjadi akhir-akhir ini, tidak kunjung berubah menjadi kenyataan. Itu sebabnya aku takut sekali sedang berhalusinasi, dibanding mengalami Prekognisi. Jika halusinasi, tamatlah riwayatku. Bagaimana pun, jauh di dasar hatiku yang paling dalam, aku sangat berharap fenomena ini tetap Prekognisi saja, bukan halusinasi.

Mendadak kepalaku berdenyut memikirkan ini. Dadaku rasanya makin merasa sempit untuk bernapas. Kamarku juga menjadi terasa sumpek.  Demi meredakan kecemasan, buru-buru aku memakai head set pada hape dan  mencari bank lagu edm di playlist ku. Kuseret langkah ke luar kamar, menjerang air, meracik kopi lalu menenteng cangkirnya ke balkon. Aku tak bisa berada di kamar berlama-lama, sumpek dan menyesakkan. Sedikit udara di luar akan membuatku lebih baik.

Kebanyakan orang jika resah memutar lagu sendu dan melankolis.  Menurutku, lagu lagu dengan tempo lambat dan cenderung melankolis, justru  tak membantu membuat mood lebih baik. Kecuali kamu sedang penat sehabis kerja, atau kuliah dan butuh relaksasi, lagu tempo lambat akan pas. Sementara pengalamanku bilang, jika sedang sumpek, naikin tempo lagu yang kita dengar, akan membantu kita lepaskan keresahan. Tempo menghentak memaksa hal yang menggelayut resah, seperti di tendang jauh-jauh oleh iramanya. Tempo cepat juga bagus untuk memacu mood, atau semangat saat pagi hari  sebelum memulai aktifitas. Tetapi bagaimana pun setiap orang bisa berbeda, tidak bisa dipukul rata. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan selera.

Bagiku, cukup sebentar saja mendengarkan, perasaanku akan merasa nyaman dan di ambil alih hentakan drum loop, yang membuat kepalaku bergoyang. Tapi, kenyamananku kali ini mendadak harus terhenti karena ada panggilan telepon masuk. Sempat ragu untuk menerima, karena nomor itu tidak maduk dalam daftar kontak ku, tapi ... bagaimana kalau itu Coki? Bisa saja hapenya mendadak hilang bla bla bla ... terus sekarang ia sedang mencoba menghubungiku, setelah berhari-hari tak ada kabar, ya kan?

"Hallo," sahutku. Beberapa detik hanya terdengar grasak grusuk seperti suara benda saling beradu.

Saya om Harunza, kamu apa kabar.

Hah! Telingaku tidak salah mendengar, kah? Om Harunza menghubungiku. Ya ampun, berarti aku sempat lupa nge save nomernya tempo hari.

"Baik Om," jawabku terdengar gugup. Aku tidak siap sama sekali.

Uhm .. saya sebetulnya ingin tanya sesuatu, tapi ragu juga, bagaimana ya bilangnya--

Nada suaranya mengambang, aku diam menunggu.

Halo, kamu masih di situ?

"Masih Om," jawabku masih gugup.

Uhm .. apa kamu akhir-akhir ini masih melihat sesuatu? Eee .. melihat ... Kamu tahu maksud saya, melihat kan?

Aku tercekat.

***
Wow wow wow

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now