8. Prekognition

684 149 12
                                    

Mendung ...

*


Aku ingin melihat lebih lama lagi, apa yang terjadi pada dua bayangan di balik tirai itu. Bahasa tubuh mereka menyiratkan drama pertengkaran yang panas sedang terjadi di sana. Pertengkaran sengit, karena Sesil tergambar begitu emosional, meskipun mimiknya tidak terlihat. Ia mendorong dada Om Harunza dengan keras berkali-kali, sampai Om Harunza terus terdesak mundur dan tersudut di ujung tembok. Beberapa kali tangan Om Harunza berusaha menangkap tangan Sesil dan bberusqha memeluk — mungkin untuk menenangkan, namun berkali-kali  juga Sesil membalasnya dengan dorongan keras. Entah apa yang mereka pertengkar kan, mungkin Sesil marah karena Om Harunza nyebur kolam? Sesil begitu ketakutan terjadi sesuatu padanya, lalu membuat Sesil histeris marah. Perempuan kadang histeris dqn marah jika sedang mencemaskan pasangannya. Tetapi, semuanya hanya sangkaan,  cuma itu bayanganku tentang apa yang terjadi di sana.

Hanya saja, ada situasi dengan atmosfer aneh, terjadi ketika pikiranku makin terfokus ke sana. Dari sudut mata aku menangkap warna berkelebat seperti petir dengan warna bervariasi. Mulai dari kuning emas, jingga lalu magenta. Mereka muncul bergantian. Sesuatu seperti petir  itu terjadi di langit. Hanya saja, seolah langit yang memiliki visual bertumpuk di depan balkon. Maksudku, langit dengan petir aneh yang tertangkap dari sudut kanan mataku, seperti bergeser makin ke tengah. Ke depan balkon apartemen mereka. Keanehan berikutnya; dua visual itu seperti bertumpuk transparan. Artinya, aku masih melihat bayangan Sesil dan Om Harunza, sekaligus menangkap petir warna warni berlatar langit biru kelamnya, secara bersamaan. Keringat dingin mulai berbutir-butir di tengkuk dan keningku. Sampai sampai aku harus mengusap keringat dengan butiran dingin itu  beberapa kali, tapi keringat tetap saja muncul terus.

Pemandangan di depanku seperti efek visual adegan gambar bergerak, berlapis, dan transparan. Perlahan dadaku juga mulai bergemuruh aneh. Perasaanku mengatakan, suara gemuruhnya terdengar dekat di telinga. Bunyinya seperti desis ributnya angin yang berembus. Bayangkan saja, suara di dalam dadaku jika diamati, malah seperti menambah efek audio bagi pemandangan di depan mataku itu. Seperti memberi suara latar pada adegan visual yang bertumpuk di sana. Mengerikan. Seperti kamu sedang menonton di gedung bioskop, lengkap dengan tata suara dramatisnya. Aku kebingungan dalam kepanikan yang sunyi ini, karena mulutku terkatup, saking terlalu takjub sekaligus ngeri. Begitu  keadaan ganjil ini mulai mengganggu ku dan dadaku berdebar-debar tiada henti, aku cepat-cepat pejamkan mata karena tak tahan melihat pemandangan itu lagi. Refleks karena tak tahan dengan apa yang kusaksikan dan juga apa yang ku dengar di dalam hati.

Kegilaan belum selesai. Begitu aku pejamkan mata, kilasan gambar-gambar hidup, malah tergambar jelas. Tapi gerakannya cepat sekali. Seperti sebuah video yang di playback fast speed. Dalam gambaran mata yang terpejam, aku melihat Om Harunza menerima dompet, lalu gambar berubah cepat sampai mataku tidak bisa mengejarnya, tahu-tahu saja ia naik ke sebuah mobil warna hitam, lalu berubah cepat  lagi ke adegan berikutnya, yaitu; ada aku yang sedang berjalan di sebuah trotoar. Semua kendaraan di jalan raya yang kulewati, seperti bergerak sangat cepat, sementara aku berjalan sangat lambat di trotoar. Lalu, tiba-tiba kerah bajuku seperti ditarik paksa dari belakang. Aku tersentak dan nyaris terjengkang, namun sebuah dorongan memaksa tubuhku berputar, saat berputar itulah aku meliha, ternyata Sesil yang mencengkram bajuku dari belakang dan terus mendorong  tubuh ku ke arah sebuah mobil yang terparkir dengan pintu terbuka di bagian tengah, di pinggir trotoar. Dorongan berikutnya adalah hentakan dorongan yang sangat keras, karena aku benar-benar sampai tersungkur, masuk ke dalam mobil itu.

Jantung ku berpacu capat dengan suara gemuruh yang sama. Kali ini terlalu cepat dan makin cepat lagi, sampai aku merasa jantung ku akan meledak  tak lama lagi. Nafasku seperti kehilangan saluran untuk berembus dengan normal. Tenggorokan tercekat dan  dada ku sesak. Aku tak tahan lagi. Sesak ini benar-benar mau meledakan jantungku yang berdebam keras. Kupaksakan diri membuka mataku dengan segera.  Saat itu lah aku seperti melayang keluar dari terowongan gelap. Semua visual mengerikan itu, tiba-tiba lenyap. Iya, lenyap. Tak ada lagi kilatan petir warna warni yang bertumpuk di depan balkon itu. Bahkan siluet Sesil dan Om Harunza sudah hilang. Kemudian aku merasakan angin berembus lembut,  dan keringat dingin membanjir di sekujur tubuh, dan perlahan,c9 semua pemandangan kembali seperti semula.

"Kamu kenapa Cong, sakit?" Suara Coki makin meyakinkan ku, kalau segalanya memang sudah kembali normal.

Aku diam tidak bisa menjawab.

"Sumpah, mukamu pucat banget?"

Mimiknya terlihat khawatir. Dia condong kan tubuhnya, menggeser tangannya meraba kakiku, "ya ampun, dingin banget kakimu."

Aku masih belum bisa membuka mulut. Masih belum bisa meredqkan ketegangan.

"Aduh gimana ini," Ciko berdiri dan mulai kebingungan.

"Lis, Lisnaaaa, sini cepat!" teriaknya.

Tak lama Lisna pun muncul. Kepalanya menyembul. "Apa?" 

Ciko menuding aku.

"Kenapa?"

"Nggak tahu, dia kayak orang abis lihat setan, terus pucet, kakinya dingin banget, pegang deh."

Lisna mendekat meraba keningku, "ya ampun basah begini, dingin banget lagi, kamu kenapa?"

Aku masih tak bisa bicara. Aneh sekali. Aku kehilangan minat bicara.

"Oh, aku ingat, kamu baru dapet kan? tanya Lisna, dia terus meraba-raba bagian tubuhku yang lain, kening, pipi, tangan, "apa karena haid pertamamu Cong?"

Aku mengangguk, aku harus mengangguk dari pada mereka cemas. Aku sedang berusaha memulihkan diri. Aku hanya kaget atas apa yang baru saja kulihat, dan semua akan baik-baik saja. Begitu yang ku teriakkan di dalam hati untuk menenangkan diri.

"Kamu lihat petir tidak Cok?"

"Petir apa?"

Kepalaku menggeleng, enggan menjelaskan lebih lanjut. Aku beranjak bangkit, maksudku,  mau ke dalam mengambil segelas air bening. Tapi anehnya, tubuhku terasa lemah dan kembali terhempas ke sofa.

"Hei, kamu kenapa?" Coki makin kebingungan dan berdiri melihat kondisiku.

Aku mengurungkan diri untuk menjelaskan apa pun, "bawa aku ke kamar, mungkin tidur akan membuat ku lebih baik," pintaku.

Coki memapahku sambil bilang, "apa kita nggak ke rumah sakit aja?"

"Nggak," jawabku tegas, "bawain aku air segelas saja, ke kamar, itu sudah cukup. Nanti juga baik lagi."

Lisna yang membawa air ke kamar, sesaat setelah Coki berhasil merebahkan aku ke kasur.

"Bajumu basah kuyup, harus ganti, Cong, kamu balik badan Cok!" perintah Lisna, tangannya  cekatan meraih daster dari tumpukan baju di nakas yang juga berfungsi sebagai lemari. Kami sudah hafal corak dan warna baju tidur masing-masing, itu yang memudahkan Lisna menemukan dasterku.

"Apa memang begini cewek kalau lagi haid?" tanya Coki dari balik punggungnya.

"Nggak semua, sih, tapi memang ada yang suka gini, malah ada yang sakit perut sampai melintir di hari pertama."

"Tapi yakin ngga apa apa, nggak perlu ke rumah sakit?"

"Nggak usah, ini saja sudah mendingan, kok," jawabku. Ini jawaban jujur, aku memang merasa lebih baik setelah minum dan mengganti pakaianku.

"Beneran?"

"Iya."

"Ya udah, kamu istirahat saja kalau begitu, aku balik saja ke kos,"  ujar Ciko. Ia balik badan setelah Lisna membolehkan, "denger, kalau butuh apa-apa kabarin aku ya?"

"Yakin, berani buka blokiran?" kataku sempat-sempatnya bercanda.

"Aku akqn ganti nama kontakmu nanti. Tenang saja, pasti kali ini aman," jawab Ciko sambil cengengesan.

Malam ini kepalaku dibuat sibuk. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan seperti jamur di musim hujan, tanpa bisa dibendung. Sudah kedua kalinya aku alami pengalaman menakjubkan, sekaligus membuatku ngeri. Fenomena apa ini? Begitu penasaran sampai aku    bersungguh-sungguh mencarinya di mesin pencarian. Dan dari info yang aku kumpulkan, semua gejala yang kualami mengarah pada satu istilah, PREKOGNISI atau PREKOGNITION. Istilah yang membuatku baru bisa tidur jam tiga pagi.

Katanya: Prekognisi adalah pengetahuan atau persepsi langsung tentang masa depan, yang diperoleh melalui cara ekstrasensor. Sering diakui terjadi secara spontan. Baik dalam penglihatan saat sadar, halusinasi pendengaran, kilasan informasi memasuki pikiran, dan perasaan “mengetahui”.

Ya, Tuhan.

***
Siap siap ya ... Hehe..

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now