26. Share Location

501 120 30
                                    

Semalaman aku dibuatnya tidak bisa tidur. Gelisah berharap dan cemas menunggu Coki menelepon lagi. Sementara itu, aku putus asa terus-terusan mencoba menghubunginya, dan selalu berakhir gagal. Aku juga takut saat menelepon, ternyata dia sedang menelepon, jadi tidak bisa masuk. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu saja.

Sampai azan subuh lamat-lamat terdengar dari kejauhan, ponselku tetap bisu. Aku berdoa dini pagi itu. Berdoa sungguh-sungguh agar Coki baik-baik saja di mana pun berada. Hanya, setiap kupusatkan pada pikiran yang baik-baik, rintihan Coki meminta tolong terus mendengung di telinga. Sedih dan khawatir sudah tidak bisa dilukiskan kata-kata, selain lewat air mata yang membasahi pipi ku, sampai jatuh tertidur.

Aku mengutuk diri sendiri karena tertidur ketika bangun keesokan paginya. Merasa tidak terima lelap yang kualami. Buru-buru ku buka ponsel. Tetap nihil. Tak ada panggilan dari siapa-siapa. Aku beranjak dari tempat tidur dan langsung mandi. Sedikit merasa lebih segar untuk memikirkan  kembali segalanya. Flat sedang sepi. Tak ada yang lain selain aku dengan segala keresahan yang menghimpit. Tubuhku mendadak kelelahan. Mungkin kualitas tidur ku tidak beres. Untung  lah secangkir kopi dari air mendidih yang ku tuang, sedikit memberi suasana lebih baik.

Sekarang apa?
Harus bagaimana menolongnya?
Cari ke mana?

Tiga pertanyaaan itu terus berputar di kepala. Dari mana aku harus mulai mencari Coki, tak ada satu pun petunjuk di mana tempat tinggal barunya. Teman kos lamanya benar-benar menutup mulutnya rapat-rapat, atau, mereka memang benar-benar tidak tahu.

Hey, kenapa aku tidak ke rumah ibunya saja di Bogor!

Harusnya ada petunjuk di sana. Mustahil keluarganya tidak pernah kontak dengannya. Aku langsung semangat lagi, merasa menemukan sedikit harapan. Tidak ada celah lain. Keluarga adalah simpul yang paling memungkinkan terhubung komunikasi.

Saat itu juga aku bersiap pergi. Aku akan naik KRL ke kota, dari sana sambung  lagi KRL ke tujuan Bogor. Aku memilih menggunakan transportasi ini, karena lebih cepat dan bebas macet. Lagi pula aku tidak terlalu suka naik bis. Sumpek saja rasanya. Aku juga akan membeli sedikit oleh-oleh.  Masalah alasan apa aku datang, kalau ibunya bertanya nanti, biar kupikir saja sambil jalan.

*

Pukul tiga sore aku sampai di depan sebuah rumah sederhana. Tidak besar tapi punya halaman yang leluasa dan asri dengan aneka tanaman bunga di sisi kiri dan tanaman sayur-sayuran di sisi kanan. Ibu Sus, begitu orang memanggil wanita pertengahan lima puluh, pemilik rumah ini—ibu Coki.

Sejak turun dari kereta aku disambut turunnya hujan. Tidak deras, namun cukup alasan bagi ku untuk membeli jas hujan sekali pakai, seharga lima ribu berbahan plastik kresek, bahan sejenis yang biasa digunakan khalayak umum sebagai kantong plastik belanjaan. Soalnya, setelah naik angkot, dari jalan utama, aku masih harus berjalan kaki menembus dua gang sebelum sampai di rumah Coki. Aku tidak mungkin berbasah-basah menyusuri gang.

"Lho Mbak, kok sendirian, kirain sama Mas Cok," sambut adiknya Coki di depan pintu, seraya meraih tanganku untuk ditempelkan dikeningnya. Cowok berkaca mata seumuran anak SMA.

"Mbak cuma kebetulan sedang ada acara di sekitaran Pajajaran, eh kok, pengin mampir sini," sahutku berbohong.

"Sini masuk, pasti kedinginan kan, buatkan teh panas Mbak mu itu," suara ibu menyeruak keluar dari kamar. Buru-buru ku hampiri untuk mencium tangannya.

"Bu, senang lihat ibu berisi sekarang," kataku setelah melihatnya tampak lebih segar dengan berat badan sedikit naik. Pipinya tak lagi menyangga cekung matanya. Lebih berisi.

"Bilang saja ibu sekarang gendut, ya, kan?"

"Mana bisa ibu gendut, tulang kecil-kecil begitu," gurauku, dibalas keplakan tangan dan tawanya yang renyah.

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now