21. Sebuah Keputusan

505 119 10
                                    

Maaf mungkin bab ini agak sulit dipahami. Bacalah ketika pikiran sedang asik-asiknya. Jangan pas lagi ruwet ya.. baca dengan pikiran terbuka, santai, dan nikmati tiap katanya... Pelan pelan saja
Maaf jika ada yg tidak berkenan.. saya harus jujur sama plot yang saya bangun.. kalau nggak cerita saya nanti bolong-bolong. Skali lagi maaf maaf..
***

Aku tidak bicara apa-apa lagi, yang kuinginkan hanya segelas air karena kerongkongan ku mendadak sekering kemarau panjang. Mata ku langsung tertuju pada dispenser. Tanpa minta persetujuan, aku bangkit dan bermaksud ke sana. Tapi lacur, baru dua langkah tubuhku ambruk ke lantai. Aku tidak tahu kalau  sendi-sendiku selemah ini, pikiranku merasa baik-baik saja, sehat-sehat saja. Ah paling aku cuma terantuk ujung karpet.

"Kamu mau kemana?" tanyanya ketika berusaha menolongku, tapi dengan sopan ku tepis.

"Ke situ."

"Biar saya yang tuangkan."

"Nggak Om, saya mau tuang sendiri."

Kali ini kaki ku bisa di ajak kerja sama untuk melangkah ke arah dispenser, menuang air ke dalam gelas, lalu meminumnya hingga tandas tak bersisa. Setelahnya aku terpaku di depan dispenser dengan pikiran melayang. Mencoba menganalisa apa sih yang baru saja kualami ketika pingsan? Semua penglihatan menunjukan keanehan yang sulit dicerna maksudnya.

Pertama-tama, aku seperti orang yang mengalami halusinasi. Sensasi yang mendebarkan itu seperti seseorang yang berada dalam pengaruh obat bius, padahal aku belum sempat minum teh mint di cangkir ku. Om Harunza bilang, dia baru menawari ku, tapi aku keburu pingsan sebelum meminumnya. Aku sempat lihat kok tadi, cangkir teh ku masih utuh. Lalu sensasi mabuk itu datang dari mana? Pelan-pelan aku mencoba mengulang ingatan. Sejak aku datang di apartemen ini, tak sekali pun aku merasa mengkonsumsi apa apa.

"Kamu kok, bengong?" suara Om Harunza memaksa pikiran ku berhenti.

"Prekognisi ku kali ini aneh sekali, Om," sahut ku memutar untuk kembali ke sofa.

"Aneh bagaimana?" Om Harunza bergegas menyusul balik ke sofanya juga, "apa yang kamu lihat?"

Bagaimana ini, aku ceritakan atau tidak visualku barusan? Tapi ini memalukan.

"Saya melihat Om menaruh sesuatu di teh ini, semacam obat dan  setelahnya saya mengalami halusinasi hebat."

"Gila! Saya nggak mungkin lakukan itu sama kamu, untuk apa?" Matanya membesar bulat sempurna.

"Untuk memancing visual saya barangkali?" ujarku hati-hati, "sayangnya saya tidak dapat visual yang Om inginkan itu.

"Enggak, saya tidak bisa segila itu. Untuk apa saya terjun dari balkon waktu itu, demi menjauhkan Sesil dari pil keparat itu asal kamu tahu," Nada Om Harunza meninggi.

"Jadi Om sendiri nggak pake?"

"Tidak, justru saya khawatir setelah tahu Sesil pemakai barang itu, makanya saya rebut dari dia, saya masukan ke dompet. Sesil marah besar dan kami bertengkar hebat di balkon, entah bagaimana, saya terdesak, dan memilih terjun saja ke kolam renang. Apa pun saya lakukan demi menjauhkan pil itu dari dia. Makanya saya titipkan dompet sama kamu, kan?"

Aku mengangguk, "maaf Om."

Kami membisu sekian lama.

"Tapi kenapa visual seperti itu yang muncul barusan," gumam ku lebih pada diri sendiri.

"Itu, yang sedang saya pikirkan juga, kenapa?" desah Om Harunza.

"Om masih simpan pil itu memangnya?"

Om Harunza menatapku seperti sambil berpikir, lalu tangannya merogoh saku dan mengeluarkan dompetnya dari sana. "Ada, nih, jumlahnya masih utuh lima butir," acungnya seperti keheranan sendiri. "Kesibukan saya, pasti membuat saya lupa masih menyimpan pil ini."

PRECOGNATIONWhere stories live. Discover now