8. Kenangan yang Tersimpan

5.6K 850 79
                                    

“Serius? Dia pacarnya Kak Arvin?”

“Kok, Kak Arvin mau-mau aja sama cewek kayak dia, ya?”

“Enggak cocok!”

“Wah ... Kak Tamara pasti patah hati banget!”

“Paling juga Kak Arvin kasihan aja sama dia.”

Kalimat-kalimat itu hanya sebagian kecil dari bisik-bisik para siswa SMA Nusa Bangsa yang membicarakan Lova secara terang-terangan. Mereka juga tidak sungkan untuk menilai penampilan Lova dari atas hingga bawah, berakhir dengan tatapan meremehkan yang sangat mampu menyayat hati. Cupu, tidak cantik sama sekali, tidak pantas bersanding dengan Arvin, masih sangat banyak komentar pedas yang keluar dari mulut mereka. Seakan mereka yang paling tahu kehidupan Lova dan Arvin. Tanpa sungkan, melontarkan penghakiman tanpa mau peduli perasaan Lova.

Dan sekarang, langkah Lova harus terhenti saat dia berpapasan dengan gadis yang beberapa hari lalu bicara dengan Arvin di tempat parkir sekolah. Dengan pakaian ketat, rok di atas lutut, rambut diikat tinggi, Tamara menatap Lova dengan tajam. Antara luka dan benci, terpancar dengan jelas dari matanya yang tak jernih, karena dia menggunakan softlens. Dan perasaan bersalah itu kembali menyiksa dada Lova. Dia merasa begitu jahat sudah mematahkan harapan Tamara untuk bisa kembali bersama dengan Arvin.

“Lov!” panggil Arvin sambil berlari ke arahnya. Dia baru saja selesai latihan basket, sementara Lova menepati janjinya untuk terus menemani. “Gue udah beres latihannya. Sebelum pulang, kita jalan dulu, yuk?” Alis Arvin berkerut saat melihat gelagat Lova yang tampak salah tingkah. Dia mengikuti ke mana arah pandang Lova, pada segerombolan anak cheerleader yang sedang memperhatikan mereka. “Lo masih enggak mau go public?”

“Eh?” Lova menengadah, mendapati Arvin sedang menatapnya dengan sedih. Dia sudah mirip bocah yang siap menangis jika tidak diberikan apa yang diinginkannya. Jadi, ada pilihan untuk Lova selain mengalah? “Enggak, kok, aku ikut maunya Kak Arvin aja. Mau go public juga enggak masalah.”

Seperti diperkirakan di awal, garis wajah Arvin langsung berubah drastis. Dia tersenyum dan matanya tampak berbinar. Bahkan tanpa sadar, dia sudah meraih tangan Lova. “Bener?! Lo enggak keberatan?” Kebahagiaan itu semakin membuncah saat Lova mengangguk. “Akhirnya, kita bisa go public juga!” teriak Arvin, menggema ke seluruh sudut lapangan indoor. “Pokoknya, lo tenang aja. Gue bakal jaga lo, gue enggak akan biarin siapa pun ngomong sembarangan tentang lo.”

Senyum Lova mengembang. Tidak salah jika Lova merasa aman setelah mendengar janji Arvin barusan, bukan? Entahlah, Lova mulai bisa menerima kehadiran Arvin dalam hidupnya. Dia mulai bisa menerima perannya sebagai pacar Arvin. Karena bagaimanapun, sejauh ini Arvin tidak pernah bersikap kurang menyenangkan padanya. Dan kalaupun ada, itu semua karena ulah delusi Arvin.

“Vin, nanti malam jadi, 'kan?” Entah muncul dari mana,  tiba-tiba saja Julian sudah menepuk bahu Arvin. Dia melirik Lova dari sudut matanya. Gadis itu secara otomatis saja menunduk. “Ingat, turnamennya tinggal 2 minggu lagi.”

Arvin melepaskan pegangan Julian di bahunya. Dia memutar bola matanya malas, menganggap Julian terlalu cerewet untuk perkara turnamen. “Iya, gue nanti datang, kok. Santai aja.” Lalu dia beralih pada Lova, menyadari ketidaknyamanan pacarnya itu dengan kehadiran Julian di dekatnya. Dia meraih tangan Lova dan mengajaknya beranjak dari sana. “Gue duluan. Sampai ketemu di lapangan nanti.”

Tentu saja, Lova mengikuti langkah kaki Arvin. Dia setia menunduk untuk menghindari tatapan tajam Tamara. Dan setelah keluar dari lapangan indoor, baru Lova mau mengangkat wajahnya sambil memperbaiki posisi kacamatanya yang turun. “Kak Arvin,” panggilnya, tanpa protes dengan pegangan Arvin di tangannya.

Erotomania [Tamat]Where stories live. Discover now