18. Benar atau Salah

4.6K 732 15
                                    

Bel pertanda jam istirahat baru terdengar. Lova segera berjalan meninggalkan mejanya dan segera keluar dari kelas. Baru selangkah dia melewati ambang pintu, sebuah senyuman langsung menyambutnya. Arvin berdiri di seberang Lova, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, dan berjalan layaknya seorang model. Untuk sesaat, dunia Lova berhenti. Dia terpesona, tidak perlu ditanya lagi. Bahkan, sepertinya, air liur Lova akan menetes jika saja tangan Arvin tidak mengacak-acak rambutnya, membantu Lova mendapatkan kembali kesadaran.

“Ke kantin sekarang?”

Lova menutup kembali mulutnya yang sempat terbuka. Jangan sampai ada orang lain yang melihat, selain Arvin. Karena jika begitu, akan sia-sia perubahan yang dilakukan Lova. Mereka menemukan celah untuk kembali mengejeknya. Dan dengan pemandangan barusan, mereka semua akan tahu sesuka apa Lova pada Arvin.

“Kakak duluan aja, deh. Aku mau ke kamar mandi dulu,” jawab Lova. Kekesalannya tentang kejadian kemarin meluap tak bersisa karena tiket konser idolanya yang akan diselenggarakan sebulan lagi.

Bukannya menuruti apa yang Lova katakan, Arvin malah mendudukkan diri di kursi. “Ya udah, kalau lo mau ke kamar mandi. Gue tunggu lo di sini.” Membayangkan akan bertemu dengan Agus saat di kantin nanti, Arvin jadi malas pergi sendiri. Dia lebih baik menunggu. Atau .... “Atau mau gue antar?”

Mata Lova langsung melotot. "Enggak perlu!" tolaknya dengan cepat. Masa iya mereka harus menempel sampai ke kamar mandi segala? Yang benar saja! “Kakak tunggu aja di sini. Aku enggak bakalan lama kok, nggak perlu nyusul. Pokoknya, diam di sini. Oke?” Melihat Arvin menganggukkan kepalanya, Lova segera beranjak dari sana.

Pemandangan orang-orang yang berbisik sambil melirik, sudah tidak lagi Lova hiraukan. Apalagi semenjak Lova tidak sungkan berinteraksi dengan Arvin di depan umum, mereka semuanya tidak sungkan untuk menilai Lova dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mungkin karena sudah terlalu sering, Lova jadi tidak peduli. Selama apa yang mereka bisikan tidak sampai ke telinga Lova, pasti hati Lova juga akan baik-baik saja.

Ya, Lova baik-baik saja beberapa saat yang lalu. Keadaan langsung berbanding terbalik saat dia mendapati kehadiran Tamara di toilet, dengan temannya yang tidak kalah cantik. Lova memalingkan wajahnya, supaya Tamara tidak melihat. Dia berhasil masuk salah satu bilik toilet dan segera menyelesaikan urusannya. Sayangnya, saat Lova hendak cuci tangan, Tamara masih berdiri di dekat wastafel.

“Lo tahu siapa cewek yang paling enggak tahu malu di sekolah kita, gak, Syl?” Tamara bersuara. Dia menatap Lova dari sudut matanya. Tidak lupa dengan senyum miring yang meremehkan.

“Jelas tahu, dong, Ra.” Teman Tamara yang bernama Sesyl itu menyahut. Sama dengan Tamara, dia juga ikut menatap Lova dengan tatapan meremehkan. “Cewek yang rela jadi baby sitter buat dapat perhatian dari Arvin, 'kan? Cewek yang enggak sadar kalau dia benalu buat reputasi Arvin.”

Mereka tertawa bersama. Lalu, maju perlahan mendekati Lova yang sedang mencuci tangan. Seharusnya, mereka memberi waktu Lova 3 detik saja, dia bisa lolos dari apa yang mungkin saja mereka lakukan. Lolos dari tarikan kencang di rambutnya, ulah Tamara. Sangat kencang, sampai Lova berpikir kulit kepalanya lepas.

“Aw! Kak, lepas! Ini sakit.” Perih di kepala Lova merambat cepat ke kedua bola matanya. Dia semakin kencang menjerit bersamaan dengan tarikan rambutnya yang semakin ditambah. Lova sudah berusaha melepaskan tangan Tamara, tapi tidak bisa. “Kak, saya mohon. Ini sakit banget, Kak.”

Tamara mendengkus. Dia benar-benar senang melihat wajah putus asa Lova. Gadis itu juga sudah memohon. Namun, tentu saja, Tamara tidak akan puas jika sampai di sini saja. “Sakit, huh? Sakit?!” teriaknya telat di depan wajah Lova. “Rasa sakit yang lo rasakan ini bukan apa-apa kalau dibandingkan sama sakit hati gue! Lo enggak tahu gimana sakitnya setiap kali lihat Arvin sama lo! Lo enggak tahu gimana rasanya patah hati, bocah!”

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang