17. Posesif

5.1K 762 25
                                    

Lova duduk termenung di depan kelasnya. Tangannya sibuk menggenggam ponsel yang menampilkan room chat dengan Arvin. Matanya menatap kosong lantai koridor. Sementara kakinya bergerak naik turun. Dia sedang menunggu jawaban dari Arvin, tentang dia yang minta izin untuk pergi kerja kelompok dengan teman kelas yang lain. Dan sudah sekitar 10 menit, Arvin tak kunjung menjawab. Padahal jelas, chat dari Lova sudah dibaca. Namun perlahan, kepala Lova perlahan mendongak saat sepasang sepatu tepat berada di depannya.

“Nunggu lama, ya? Sorry, tadi gue kasih arahan dulu sama anak basket.” Napas Arvin tersenggal-senggal, tetapi dia masih bisa melempar senyum pada Lova. “Jadi, lo mau kerja kelompok di mana? Biar gue antar.”

“Di rumah Agus.”

Kepala Arvin mengangguk. Dia memeriksa arloji di tangannya. “Ya udah, yuk. Gue masih punya waktu 2 jam sebelum latihan.” Arvin mengulurkan tangannya. Dan tak membutuhkan waktu lama, Lova langsung menggandeng tangannya. Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir. “Yang lain udah duluan? Kok, lo ditinggal sendiri?”

“Aku minta mereka buat tunggu di parkiran. Kak Arvin bawa mobil, 'kan? Enggak apa-apa kalau mereka ikut kita?” Lova tahu, mungkin saja Arvin akan berpikir bahwa dia lancang. Hanya saja, tidak enak kalau yang lain harus naik angkot, sementara Lova duduk nyaman di mobil Arvin.

Anything for you, Lov. Selama lo yang duduk di samping gue, enggak ada masalah sama sekali,” jawab Arvin sambil mengayun-ayunkan genggaman tangan mereka ke depan dan ke belakang.

Sekilas, tidak ada yang berubah dari Arvin. Dia masih sangat sering melempar senyum saat bersama Lova, masih selalu tidak bisa mengatakan tidak pada Lova, masih melakukan segalanya untuk Lova. Kenyataannya, tidak seperti itu. Arvin berubah, sangat signifikan. Dan mungkin, hanya Lova yang bisa merasakan itu. Karena hanya Lova yang terkena dampaknya.

Arvin berubah menjadi sangat posesif.

Begitu sampai di parkiran, Lova segera menghampiri teman-temannya yang sedang mengobrol. Dia tersenyum kikuk, karena selama ini, mereka tidak terlalu dekat. “Kita berangkat sekarang, yuk? Kak Arvin enggak keberatan kalau kita numpang ke mobilnya.” Senyum di wajah Lova semakin kaku saat mereka berempat menoleh. Dia langsung bernapas lega saat mereka mau melangkah mendekati mobil Arvin.

Seperti tadi pagi, Arvin bergerak membukakan pintu untuk Lova. Tak lupa dengan gerakan selayaknya seorang pelayan yang mempersilahkan putrinya masuk kereta kencana. “Silakan, Tuan Putri.” Dia malah mengangkat bahu acuh saat Lova melotot. Karena bagi Arvin, dunia adalah milik mereka di manapun dan dalam situasi apapun. “Lovata cuma punya waktu 2 jam buat ikut kerja kelompok. Jadi, gue harap, pekerjaan bisa beres dalam waktu segitu. Kalau enggak beres juga, Lova tetap bakal pulang sama gue,” tegas Arvin begitu sudah duduk di kursi kemudi.

“Kak.” Lova berusaha untuk menyanggah. “Enggak bisa kayak gitu, dong. Aku tetap harus kerjakan tugasnya sampai beres, namanya juga kerja kelompok.”

“Makanya gue kasih waktu 2 jam buat beresin kerjaannya. Enggak mungkin enggak beres kalau ada 5 orang yang ngerjain, 'kan?”

Lova terdiam. Dia benar-benar tidak tahu lagi harus menjawab perkataan Arvin seperti apa. Dia hanya menoleh ke belakang, menerima tatapan heran dari semua teman sekelasnya. Terutama Agus, yang sudah melotot, meminta penjelasan akan perubahan Arvin. Jangan bertanya pada Lova, otaknya sudah tidak bisa bekerja dengan benar kalau menyangkut masalah yang satu ini.

Erotomania [Tamat]Where stories live. Discover now