9. Perjuangan

5.4K 842 56
                                    

Mungkin, jika terus menerus digigit, bibir bawah Lova bisa berdarah. Dia dilanda cemas tidak karuan saat ini. Duduk di ruang tamu rumah Arvin sambil menunggu laki-laki itu bersiap-siap. Tidak, mereka bukan mau pergi berkencan atau latihan basket. Tujuan mereka kali ini lebih serius daripada kafe, pusat pembelanjaan, atau lapangan basket sekali pun. Mereka akan bertemu dengan Dokter Saira, psikiater yang selama ini menangani Arvin.

“Enggak perlu tegang kayak gitu, Va. Semuanya akan baik-baik aja, kok.” Untuk kesekian kalinya, Bu Indira berusaha mengurangi kecemasan Lova. Namun, semua seakan tidak berpengaruh. Lova hanya tersenyum singkat, lalu kembali memasang wajah pucat.

Tolong, katakan wajar saja pada sikap Lova kali ini. Dia tidak pernah berurusan dengan terapi kejiwaan selama hidupnya. Boro-boro sakit jiwa, dengan sakit fisik saja Lova jarang berhadapan. Terakhir kali dia berurusan dengan dokter adalah saat berkonsultasi tentang matanya, sekitar setahun yang lalu. Dan sekarang, dia harus bersedia mengantar Arvin terapi.

“Maaf lama, Mi. Tadi Arvin lupa simpan HP.” Hanya sekejap bagi Arvin perlu bertukar pandang dengan maminya. Sekarang dia sibuk mengamati Lova. Tidak ada seragam, yang ada justru pakaian sederhana, yang justru membuat Lova semakin cantik di matanya. “Gue senang lo mau antar gue terapi. Makasih, ya?”

Lova tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk kecil, lalu mengikuti tuan rumah untuk keluar. Bu Indira harus rela mengalah—duduk di samping Pak Ilham—saat Arvin merengek meminta ruang untuk berduaan dengan Lova. Beliau tidak pernah memiliki kekuatan lebih untuk menolak kemauan putra semata wayangnya. Arvin juga seakan tidak malu untuk mempertontonkan sikap romantisnya di depan orang tua. Sengaja menyelipkan jemarinya di jemari kecil Lova.

“Gimana lo minta izin sama ayah?” tanya Arvin sambil terus saja mengamati tautan tangan mereka berdua. Dia senyum-senyum sendiri, merasa begitu bahagia.

“Ya, bilang aja mau ke rumah Kak Arvin. Terus nantinya mau jalan ke luar, ditemenin Bu Indira juga.” Lova tidak bisa berbohong pada orang tuanya. Apalagi kalau di sana ada Vanka sebagai saksi. Bukannya diberi izin, dia malah akan diceramahi berjam-jam. Kemudian, dia bergerak untuk menarik tangannya dari pegangan Arvin. “Kak, lepas tangannya, dong. Aku malu sama Bu Indira, sama Pak Ilham,” bisik Lova, setengah memohon.

“Ck! Kan, gue udah bilang, panggil mami aja. Kan, mami gue mami lo juga. Sama Pppi juga, lo enggak perlu panggil Pak Wisnu terus. Kuping gue gatel dengernya.” Bukannya melakukan apa yang Lova pinta, Arvin justru semakin berulah. Dia menarik tautan itu supaya berada tepat di atas pangkuannya. “Enggak apa-apa kita mesra-mesraan depan Mami. Biarin aja Mami sirik.”

Bu Indira menoleh ke belakang. Beliau tersenyum senang saat melihat wajah putranya yang tampak begitu berseri-seri. Mungkin ini kali pertama tidak akan ada drama Arvin melompat dari mobil atau teriak-teriak minta bertemu Lova. “Iya, deh, yang masih jadi pasangan muda. Bebas mau pegangan tangan sampai pegal juga. Dunia emang terasa milik berdua.”

Baiklah, Lova menyerah. Lebih memilih untuk tidak mengatakan apa pun atau bergerak melawan Arvin setelah jawaban Bu Indira barusan. Dia setia membisu selama perjalanan, bahkan sampai masuk ruang terapi. Dia hanya menyebutkan nama saat berkenalan dengan Dokter Saira, tersenyum kaku saat beliau tampak terkejut. Dan sekarang, Arvin sudah tidak sadarkan diri, jatuh ke alam bawah sadarnya karena pengaruh hipnoterapi.

“Apa yang kamu lihat sekarang?” tanya Dokter Saira setelah hipnoterapi itu berlangsung sekitar 5 menit yang lalu.

“Lova,” jawab Arvin dengan begitu mantap. Bibirnya bahkan sudah tersenyum lebar sekarang. “Dia di sana, senyum ke arah saya. Melambaikan tangan, meminta saya mendekatinya.”

Dokter Saira tampak menengok ke arah Lova sejenak. Gadis itu terus mengamati terapi Arvin dengan seksama. Berulang kali dia menunduk, mengerutkan kening, atau sekedar membenarkan posisi kacamatanya yang merosot. “Jangan mendekat. Tetap di sana, Arvin. Sekali pun kamu sangat ingin mendekati Lova, jangan selangkah pun mendekatinya.” Dan sekarang, Dokter Saira mendapati gadis itu meliriknya bingung. “Sekarang, kamu bayangkan kalau di belakang kamu ada kedua orang tua kamu. Papi kamu sedang memegang bola basket, sesuatu yang membuat kamu merasa bersinar. Datang ke mereka, Arvin.”

Erotomania [Tamat]Where stories live. Discover now