24. Hilang Arah

4.8K 684 46
                                    

Bruk!

Sontak saja Julian menoleh saat mendengar suara gaduh di belakangnya. Dia membuang napas saat melihat Lova mengusap kepalanya berulang kali. Perempuan itu baru saja menabrak pintu masuk toko buku yang mereka kunjungi. Kepalanya tidak benjol saja sudah merupakan keajaiban, karena seminggu ini sudah tidak terhitung Lova membenturkan kepalanya ke benda keras.

"Terima kasih banyak, Mbak." Julian menerima keresek putih berisi sejumlah keperluan Lova untuk mengerjakan tugas Manajemen Operasional. "Kepala lo gak apa-apa?" tanya Julian dengan nada khawatir.

Lova hanya menggelengkan kepala sembari membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit melorot. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari tatapan para pengunjung. "Udah beres, 'kan? Kita pulang sekarang, yuk? Kayaknya, bentar lagi bakal hujan. Aku gak mau kalau Kak Julian sampai kehujanan di jalan."

Dengan tatapan yang sulit diartikan, Julian terus memperhatikan perempuan yang ada di hadapannya. Hanya beberapa saat, karena sekarang dia sudah membukakan pintu, mempersilakan Lova untuk melangkah lebih dulu. Namun, bukannya menuju motor Julian, Lova malah terus berjalan lurus. Jika Julian tidak menahan kerah kemejanya, sudah pasti Lova akan terus melangkah menuju jalan raya dengan pikiran kacau.

"Lo mau ke mana? Motor gue di sini." Julian menunjuk motornya dengan dagu.

Alis Lova terangkat, mengikuti arah tunjuk Julian. "Oh, maaf."

Untuk ke sekian kali, Julian membuang napas hanya dengan memperhatikan Lova. "Ikut gue," ucapnya sembari menarik tangan Lova menuju kedai yang berada tepat di samping toko buku. Mereka duduk menghadap jalan raya setelah memesan minuman. "Lo benar-benar kacau, Va. Lo udah kayak orang linglung, tahu gak? Lo udah mirip Marimar."

"Apaan, sih?" Lova mendelik tak suka. Bukan karena ia disamakan dengan Marimar, tetapi dia teringat dengan kalimat yang terucap dari bibir Julian, kalimat yang selalu dia ucapkan beberapa tahun lalu, atas nama orang lain.

"Lihat penampilan lo, deh. Muka lo bikin orang prihatin, mata lo hitam, belum lagi ... rambut lo udah lepek banget karena belum keramas 3 hari." Ini kedua kalinya Julian melihat Lova sekacau ini. Pertama, setelah kejadian malam itu, 4 tahun lalu. Alasannya sama, Arvin Zachary. "Tugas dari Pak Marzuki ketinggalan, kemarin lo salah masuk toilet, terus tadi pagi kemeja lo kebalik. Mau sampai kapan kayak gini terus, Va?"

Mata Lova tertuju pada jemarinya yang saling bertautan. Kemudian, dia menunduk. "Aku minta maaf, Kak."

"Ngapain minta maaf sama gue? Lo punya salah sama diri lo sendiri, bukan sama gue." Julian tahu, dia sudah terlalu keras pada Lova. Namun, jika tidak begini, Lova akan terus dalam keadaan yang memprihatinkan. Dan Julian tidak mau itu, karena dia menyayangi Lova.

Sebenarnya, Lova juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya. Dia seperti kehilangan arah, tidak fokus dalam mengerjakan segala hal. Selama seminggu ini, Lova terus saja diceramahi oleh orang-orang terdekatnya. Dan yang paling sering, tentu saja Julian.

Dengan sangat sadar Lova akan menyebutkan bahwa sumber dari kacaunya ia saat ini adalah Arvin. Semakin ia berusaha untuk melupakan laki-laki itu, semakin kuat bayangannya di mata Lova. Peristirahatan terakhir Snow, angka 80, bahkan parasetamol juga. Ia teringat saat Arvin tersenyum manis, saat Arvin cemberut manja, juga saat Arvin tersenyum miring pertanda mengejek. Kenangan beberapa tahun lalu selalu berputar tanpa bisa dicegah.

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang